Whistleblower Dari Dimensi Etika Dan Budaya Organisasi

by | Jan 16, 2017 | Birokrasi Bersih | 3 comments

Do I stand up or stand down about this corrupt behavior?

Whistleblower atau peniup peluit identik dengan orang-orang yang membocorkan penyimpangan di dalam sebuah organisasi, baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam organisasi atau instansi pemerintah dapat berupa penyimpangan dari nilai-nilai etika hingga berupa perbuatan korupsi. Whistleblower juga dapat merupakan justice collaborator yaitu individu yang terlibat dalam perbuatan menyimpang dan perbuatan korupsi.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan barang siapa melihat kemunkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya (whistleblowing) dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya. Hadis ini menjelaskan bahwa seseorang sebaiknya mengungkapkan kepada pihak-pihak lain apabila dirinya mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan.

Kasus-kasus korupsi tidak akan dapat terungkap seluruhnya tanpa bantuan whistleblower dan justice collaborator. Berdasarkan 2016 Global Fraud Study yang dikeluarkan oleh ACFE tahun 2016, diketahui bahwa para whistleblower memiliki peranan terbesar dalam pengungkapan kasus fraud dan korupsi.

Pada dasarnya whistleblower sangat penting dalam pengungkapan kasus korupsi karena posisi mereka di dalam organisasi memungkinkan mereka untuk mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi dan memiliki akses terhadap informasi-informasi di dalam organisasi. Peranan justice collaborator lebih penting lagi karena dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi.

Seorang whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah. Di sisi lain, sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah pengkhianat karena telah berani mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.

Berdasarkan kepada pihak mana whistleblower mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya, whistleblower dikategorikan menjadi whistleblower internal dan whistleblower eksternal. Kedua kategori whistleblower ini memiliki berbagai manfaat dan risiko yang berbeda.

Whistleblower internal adalah pegawai yang mengungkapkan penyimpangan kepada pihak internal organisasi (melalui saluran-saluran yang ada dalam organisasi). Dengan mengungkapkan penyimpangan secara internal, maka risiko yang dihadapi whistleblower internal lebih rendah namun ada kemungkinan tindakannya mengungkapkan penyimpangan yang terjadi tidak akan memperoleh tanggapan dari pihak-pihak internal organisasi sebagaimana seharusnya.

Whistleblower eksternal adalah pegawai yang memilih untuk mengungkapkan penyimpangan yang terjadi kepada pihak-pihak di luar organisasi. Dengan menjadi whistleblower eksternal, maka tindakannya mengungkapkan penyimpangan akan lebih cepat ditangani dengan risiko dirinya akan dimusuhi oleh pihak-pihak di dalam organisasi. Risiko-risiko yang dapat dihadapi oleh sang whistleblower antara lain:

  1. Dimusuhi, diintimidasi dan dikucilkan oleh pelaku korupsi atau oleh rekan-rekan kerjanya karena dianggap tidak memiliki kesetiakawanan dengan rekan kerja dalam satu organisasi.
  2. Dimutasi ke fungsi atau organisasi lain.
  3. Dipersulit dan dihambat karirnya.
  4. Memperoleh teror dari pihak-pihak yang dilaporkan hingga mendapatkan penyerangan secara fisik.

Whistleblower memilliki banyak dimensi, salah satunya adalah dimensi etika. Bagaimana etika memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan perilaku beretika atau justru merupakan perilaku yang buruk dan tidak beretika?

Bagi aparat sipil negara, etika publik adalah pedoman dan panduan seorang aparat sipil negara dalam berperilaku dan melaksanakan ketugasannya. Etika yang dipedomani seorang aparat sipil negara harus meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Dari segi etika, seorang aparat sipil negara diwajibkan untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi sangat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam situasi yang dihadapi seorang whistleblower, terdapat dua teori utama etika yaitu teori deontologi dan teori teleologi. Bagaimana kedua teori ini memandang whistleblower?

Teori deontologi memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai baik karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang. Kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap masyarakat.

Dengan demikian, seorang whistleblower memiliki dilema apakah dia akan mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban terhadap masyarakat.   Dilema dan konflik etika seorang whistleblower menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan adalah atasan atau rekan dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah orang yang tidak dikenalnya dengan baik.

Meskipun demikian, teori deontologi menjelaskan bahwa mengungkapkan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah perbuatan yang beretika. Oleh karena itu, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya bekerja maka berdasarkan teori deontologi dirinya wajib mengungkapkan penyimpangan tersebut.

Teori yang kedua yaitu teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan tersebut. Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang beretika.

Tujuan dari whistleblowing adalah untuk menghentikan penyimpangan yang terjadi. Dalam kasus whistleblower, satu hal yang paling ditakuti oleh para whistleblower internal adalah kekhawatiran tindakan mereka melaporkan penyimpangan yang terjadi tidak memperoleh respon yang baik dari pihak-pihak lain seperti atasannya.

Dengan demikian, perbuatan sang whistleblower yang mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi pemerintah secara internal kepada atasannya tidak dapat mencapai tujuannya. Hal inilah yang kemudian mendorong para whistleblower untuk mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya ke masyarakat umum.

Dimensi lain dalam fenomena whistleblower adalah dimensi budaya. Budaya yang berkembang dalam sebuah organisasi dapat berupa budaya etis (ethical culture) atau sebaliknya berupa budaya yang tidak etis (unethical culture). Budaya etis di dalam organisasi dibangun dalam rangka menciptakan perilaku beretika dalam organisasi tersebut. Implementasi budaya etis dalam organisasi lebih mendorong munculnya whistleblower dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur formal sebuah organisasi  mengenai whistleblowing.

Budaya yang tidak etis mengakibatkan banyak individu yang melihat adanya penyimpangan namun memilih untuk tidak melaporkannya karena nilai-nilai etika, budaya dan perilaku kerja yang berkembang di dalam organisasi tidak mendukung. Pimpinan instansi pemerintah yang seharusnya menjadi pionir dalam pelaksanaan nilai-nilai etika justru tidak mendukung implementasi budaya etis juga turut menghambat munculnya para whistleblower.

Di samping itu, budaya yang umum berlaku di Indonesia biasanya menekankan pada kebersamaan dan persaudaraan. Hal ini menjadikan hubungan kerja antar individu-individu dalam sebuah organisasi di Indonesia cenderung menjauhi konflik antar sesama. Sebagai akibatnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya dengan risiko menghadapi konflik dengan pihak-pihak lain akan jarang muncul.

Whistleblower sendiri diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 3 Ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa salah satu kewajiban PNS adalah melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.

Apabila dalam organisasi pemerintahan terdapat kode etik yang dilaksanakan oleh semua orang, mulai dari pimpinan hingga bawahan, serta adanya dukungan pimpinan terhadap semua individu di dalam organisasi untuk selalu mengimplementasikan perilaku etis dan nilai-nilai etika maka seseorang akan lebih memilih untuk menjadi whistleblower internal. Sebaliknya ketika pimpinan tidak mendukung perilaku etis bahkan cenderung berperilaku tidak etis maka seseorang akan lebih condong mendiamkan penyimpangan yang terjadi atau menjadi whistleblower eksternal.

Kesimpulannya, whistleblower adalah sosok yang memiliki peranan sangat penting dalam pemberantasan korupsi dan keberadaannya harus didukung oleh semua pihak. Dalam mendorong munculnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang ada dalam organisasi dan instansi pemerintah, maka pimpinan instansi pemerintah harus menetapkan kode etik yang berlaku dalam instansi tersebut. Pimpinan instansi pemerintah juga harus dapat memberikan keteladanan kepada seluruh pegawai mengenai bagaimana berperilaku etis serta memberikan sanksi tegas bagi semua pegawai di organisasinya yang melanggar kode etik.

 

 

1
0
Ardeno Kurniawan ◆ Professional Writer

Ardeno Kurniawan ◆ Professional Writer

Author

Auditor pada Inspektorat Kabupaten Sleman. Kecintaannya pada menulis diwujudkannya dengan menulis buku-buku yang sudah banyak dia terbitkan.

3 Comments

  1. Avatar

    Silahkan, bapak

    Reply
  2. Avatar

    bang ijin kutip ya

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post