Pencegahan Korupsi ala Sempritan Wasit Pertandingan Bola

by | Jan 30, 2018 | Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Tak terasa tahun 2018 sudah lewat empat minggu. Gegap gempita yang menandai kedatangan tahun baru 2018 sudah tidak berbekas lagi. Kembang api, pentas seni, dan beberapa kegiatan keagamaan yang mewarnai kedatangan tahun baru 2018 berlalu bagai angin. Harapan-harapan baru yang menyertai kedatangan tahun baru sudah mulai menepi dari pikiran, digeser oleh keras dan kejamnya kenyataan.

Aku sendiri tidak lepas dari pemilik harapan baru tersebut. Ketika jarum jam menunjuk tepat ke angka 00.00 WIB dan tibalah tanggal 1 Januari 2018, harapan itu begitu tingginya.

Malam itu aku melaju di jalanan sepi menuju rumah orang tua, pulang dari acara pengajian menyambut tahun baru 2018. Melaju santai menikmati sepinya malam ditemani angin malam. Laju kenderaan-ku sengaja hanya berkisar 40 km/jam. Waktu tempuh yang biasanya 1,5 jam kutempuh selama 2 jam. Jarang bisa menikmati sepinya malam di jalanan. Cuaca sangat sejuk. Jalanan yang kosong dari kenderaan kulalui dengan pikiran berkecamuk.

Banyak harapan yang terlintas di pikiran. Namun godaan buah durian di sepanjang jalan sepi membuat imanku runtuh juga. Kupinggirkan kenderaan, kupesan dua buah durian dan kusantap perlahan. Lupa dengan kolesterol dan hipertensi yang telah menyertai kehidupanku. Perlahan kusantap buah durian sambil menatap aspal jalan lintas tengah Sumatra yang begitu tangguh diterpa hujan dan ditimpa panas mentari.

Jalan yang dibangun pada zaman orde baru itu sudah cukup tua. Namun jauh lebih tangguh dari jalan yang dibangun pada zaman orde reformasi ini.

Selesai menyantap durian, kulanjutkan perjalanan. Sepi dan angin malam kembali menemani perjalanan. Anganku pun kembali menerawang. Harapan pada tahun 2018 itu lebih banyak dipengaruhi oleh situasi di tahun 2017.

Pemberantasan korupsi mendominasi pikiranku. Bagaimana format baru pemberantasan korupsi? Akankah tetap dengan jargon pencegahan korupsi namun masih beraroma penindakan korupsi? Akankah ada format pencegahan yang lebih realistis?

Banyak lembaga sudah bergerak dan digerakkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi ikon utama pemberantasan korupsi di samping lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

Kejaksaan memiliki program TP4 (Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan). Tim baru, yaitu tim sapu bersih pungutan liar (Saber Pungli) yang dikomandoi oleh Kementerian Koordinator Polhukam pun juga terus bekerja.

Pada bulan November 2017 silam juga telah ditandatangani nota kesepahaman antara Mendagri, Kapolri, dan Jaksa Agung tentang Koordinasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH). Nota kesepahaman ini menyepakati mekanisme pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sayangnya, nota kesepahaman yang diperintahkan paling lambat 3 bulan harus ditindaklanjuti di tingkat propinsi dan kabupaten/kota itu belum terdengar kabarnya sampai saat ini. Mestinya, agar lebih efektif penandatanganan nota kesepahaman itu dilakukan secara bersama-sama di tingkat provinsi oleh seluruh pemerintah daerah yang ada.

***

KPK sebagai ikon pemberantasan korupsi masih menjadi pusat perhatian. Selain tugas pemberantasan, KPK pun telah lama mengembangkan konsep pencegahan. Salah satunya adalah menggunakan sistem e-government atau biasa disingkat e-gov.

Sistem ini diprakarsai oleh Satgas Supervisi dan Koordinasi KPK bekerja sama dengan pemerintah daerah. Sebuah sistem pemerintahan yang dikelola secara transparan dengan fokus pada e-budgeting serta sistem pelayanan publik  berbasis elektronik. Diharapkan pada tahun 2018, seluruh provinsi sudah menggunakan sistem e-gov ini.

Namun jangan senang dulu, kawan. Efektivitas e-gov ini masih akan mengalami ujian yang tidak ringan. Banyak pihak sepakat bahwa kegiatan penyimpangan di pemerintah daerah berasal dari mahalnya biaya demokrasi pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di beberapa sektor akan menjadi komoditi untuk pengembalian biaya politik dalam meraih kursi kekuasaan di eksekutif maupun legislatif. Apakah strategi e-gov ini akan efektif?

Ilustrasinya dapat digambarkan seperti ini. Dua tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan akan didominasi oleh pengembalian modal politik pilkada yang lalu. Karena dua tahun sudah dirasa cukup, maka kondisi penyelenggaraan pemerintahan pada tahun ketiga kemungkinan akan cukup stabil. Baru kemudian, masuk dua tahun terakhir kondisinya akan kembali didominasi oleh pengumpulan biaya politik untuk periode kedua dalam rangka ‘menggolkan’ putra mahkota. Putra mahkota lalu merasa perlu untuk menjaga kepentingan masa lalunya. Begitu seterusnya.

Saat program pencegahan korupsi dengan strategi e-gov dilakukan di sisi penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka akan terjadi tarik-menarik dan sandiwara tak berkesudahan yang cukup melelahkan. Politik petak umpet pun sangat mungkin terjadi. Di satu sisi, seolah-olah mendukung e-gov, tetapi di sisi lain juga mencari celah baru untuk sebuah ‘permainan’.

Ibarat ikan busuk didahului dari kepalanya, maka pencegahan korupsi juga harus mulai dari atas. Pencegahan korupsi harus bergerak dari hulu pemerintahan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan pejabat utama daerah harus menjadi fokus utama gerakan pencegahan korupsi.

Pilkada kini dilakukan dengan pola pilkada serentak. Tahun 2018 ini, sebanyak 171 pemerintah daerah, persisnya 17 propinsi, 39 kota dan 115 kabupaten akan melaksanakan pilkada.

Kepala daerah terpilih nantinya akan memimpin e-gov yang bertujuan baik. Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya agar kepala daerah terpilih dapat menjalankan e-gov secara konsisten?

Tidak ada pilihan lain, yang terbaiklah yang harus terpilih dalam pilkada. Salah satu kriteria terbaik yang wajib diterapkan adalah tidak memakai politik uang. Tidak bisa dipungkiri bahwa selain sudah menjadi rahasia umum kabar mahar politik untuk parpol, pilkada juga sangat rawan terjadi politik uang.

Dalam hal isu politik uang, momen pilkada merupakan momen bagi rakyat untuk ‘memeras’ para calon kepala daerah. Semua ‘sogokan’ ala pilkada akan diterima dan tak jarang untuk menjaga konsistensinya rakyat dengan senang hati akan ‘menusuk’ semua kontestan yang memberikan uang kepadanya.

Segala macam edukasi anti politik uang sepertinya tidak mempan bagi rakyat. Kondisi ekonomi rakyat saat ini sangat tidak mendukung untuk meminta rakyat menolak politik uang. Satu-satunya jalan adalah dengan memotong mata rantai distribusi politik uang tersebut. Kunci utama distribusi adalah pengangkutan uang dan distribusinya.

Uang puluhan hingga ratusan milyar takkan bisa dibawa dengan kenderaan roda dua, tetapi menggunakan kenderaan roda empat, bahkan roda enam. Uang tersebut akan didistribusikan ke para pemilih lewat struktur tim sukses paling bawah, yaitu tim sukses tingkat desa bahkan tingkat RT dan RW.

Menurut saya, pencegahan korupsi paling hulu seharusnya di tingkat distribusi politik uang pilkada ini. KPK dalam menjalankan fungsi koordinasi dan supervisinya terhadap lembaga penegak hukum sebaiknya bergerak dalam pencegahan korupsi pilkada pada distribusi politik uang.

Kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap truk pengangkut uang dan penghapusan struktur tim sukses kampanye tingkat desa dan RT/RW sudah mendesak untuk dilakukan.

Pilkada biaya tinggi sudah waktunya diberantas. Gerakan ini harus didukung oleh operasi senyap terintegrasi. Rasanya tidak sulit bagi KPK dan lembaga penegak hukum untuk menangkap truk pembawa ‘duit’ ini.

Dengan demikian, OTT ini bisa dikembangkan dengan menelusuri siapa pemodalnya. Proses dapat dilanjutkan dengan pemberian sangsi diskualifikasi dan proses hukum serta dilakukan pendaftaran ulang calon kepala daerah.

Pendaftaran ulang ini penting untuk memancing kembali calon kepala daerah terbaik namun kurang modal. Dengan adanya OTT ini maka calon kepala daerah yang mengandalkan uang akan berpikir seribu kali untuk ikut pilkada dan diharapkan optimisme masyarakat akan munculnya para calon kepala daerah berkualitas (meski kurang modal) semakin meningkat.

***

Pencegahan korupsi tingkat tinggi pada pilkada tentu hanya akan terjadi di level elit. Sedangkan di level terendah pergerakan korupsi masih terus terjadi baik dalam bentuk subsidi antar kegiatan maupun untuk memperkaya diri.

Diperlukan strategi kombinasi pencegahan dan penindakan pada gaya korupsi akar rumput ini. Saat ini baik KPK maupun penegak hukum seperti Saber Pungli masih terfokus pada gaya lama, yaitu perlunya barang bukti materil.

Sementara itu, korupsi tingkat akar rumput bergerak nyaris tanpa meninggalkan barang bukti dan bergerak secara senyap. Penyebabnya pun terus muncul dan berkembang dengan berbagai variasi. Saatnya KPK dan lembaga penegak hukum mengembangkan pola baru yaitu pola tanpa barang bukti, yang saya sebut ‘pola semprit’.

Pola Semprit ini meniru sempritan (peluit) wasit pada sebuah permainan sepak bola. Wasit memakai semprit dengan tingkatan peringatan, kartu kuning, dan kartu merah. Pencegahan korupsi tingkat akar rumput ini dilakukan dengan cara merekrut secara rahasia para pelakunya untuk menjadi informan.

Informan akan menyampaikan informasi secara senyap. Pelaku akan dipanggil menghadap lembaga penegak hukum teritorial terendah untuk mendapat peringatan tingkat pertama. Apabila tidak diindahkan dan masih terus diulangi, maka semprit kedua akan diberikan dalam bentuk peringatan kedua oleh penegak hukum teritorial setingkat lebih tinggi.

Jika masih juga tidak diindahkan, maka peringatan terakhir disampaikan oleh KPK. Apabila masih tetap tidak diindahkan dan masih diulangi lagi, maka jalan terakhir mesti ditempuh, yaitu penindakan. Pola semprit ini tidak perlu fokus pada barang bukti namun lebih fokus pada rekrutmen para pelaku, informan, informasi, dan kesaksian.

***

Begitulah angan saya berkata. Meskipun perlu dilakukan uji kelayakan secara mendalam, tetapi pola semprit ini sepertinya menarik untuk dicoba.

Perjalanan malam dan angin malam berujung pada sampainya aku ke tempat tujuan yaitu rumah orang tua. Anganpun berakhir. Harapan tetap akan menjadi harapan.

Tak banyak yang diharapkan. Cukup pencegahan korupsi melalui OTT politik uang ala pilkada dan pencegahan korupsi pola semprit. Kedua pola ini sepertinya akan menggeser para koruptor ke pinggiran dan menggiring para PNS bersih ke pusat pemerintahan daerah.

Kenderaan kuparkirkan dengan baik. Kutatap jam dinding sudah menunjukkan kira-kira pukul 02.00 WIB. Kepala agak sakit karena efek makan durian. Aku baru teringat pada kolesterol dan hipertensi-ku.

Kubaringkan raga ini dan kututup mata. Berlanjut dengan mimpi indah tentang pencegahan korupsi yang lebih realistis. Selamat malam Indonesiaku.

Salam reformasi, dari Madina untuk Indonesia!

0
0
Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Author

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.

1 Comment

  1. Avatar

    Pak Daulay, senang dan salut saya mengetahui ada sosok seperti bapak yg datang dr salah satu kabupaten di Sumut di tengah2 pesimis saya 🙂 mungkin berlebihan ya? Yang penting salam kenal dari Medan. Keep the spirit…

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post