Menyoal Konsep Resiprokal dalam Penempatan Pejabat Militer pada Jabatan Aparatur Sipil

by | May 2, 2024 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Efektif-Efisien | 2 comments

Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN sebagai tindak lanjut UU Nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu isu krusial dalam pembahasan tersebut adalah asas resiprokal antar-aparatur negara, yakni dari kalangan sipil (ASN) dan non-sipil (TNI dan Polri). 

Konsep resiprokal terhadap pengisian jabatan aparatur negara muncul setelah UU ASN Pasal 19 ayat 2 menyebut bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri.

Selanjutnya pada ayat 3 dan 4, diperoleh konklusi bahwa pengisian ASN tertentu hanya untuk instansi pusat (kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian) sebagaimana diatur dalam UU TNI, UU Polri dan tata cara pengisiannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tak ayal, rencana penempatan pejabat militer pada jabatan sipil memantik banyak komentar dari masyarakat serta pengamat kebijakan publik. 

Menilik Status Quo

Pemenuhan jabatan ASN oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesungguhnya bukan perkara anyar. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI juga telah lama memperbolehkan pengisian jabatan dari pegawai negeri sipil.

Hal ini termaktub dalam UU TNI Pasal 46 ayat 1, ”Jabatan tertentu dalam struktur di lingkungan TNI dapat diduduki oleh pegawai negeri sipil”. Hanya saja, pada UU TNI Pasal 47 ayat 1 menyebutkan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil jika telah mengundurkan diri atau pensiun dini dari dinas aktif keprajuritan. 

Selanjutnya, pada ayat 2 di pasal yang sama, disebutkan bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil pada 10 bidang, yakni:

  • yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenpolhukam),
  • Pertahanan Negara (Kemenhan),
  • Sekretaris Militer Presiden (Sesmil),
  • Intelijen Negara (BIN),
  • Sandi Negara (BSSN),
  • Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas),
  • Dewan Pertahanan Nasional (Wantannas),
  • Search and Rescue (SAR) Nasional (Basarnas),
  • Narkotika Nasional (BNN), dan
  • Mahkamah Agung. 

Tak hanya itu, mengacu pada Permenhan 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Prajurit TNI Menduduki Jabatan ASN, disebutkan bahwa terdapat tiga badan yang dikecualikan dapat diisi oleh prajurit TNI, yakni:

  • Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan
  • Badan Keamanan Laut (Bakamla).

Pada usulan Revisi UU TNI yang tengah digodok, terdapat usulan lima kementerian dan lembaga tambahan yang jabatannya dapat diisi oleh prajurit TNI, yakni:

  • Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves),
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
  • Kejaksaan Agung (Kejagung),
  • Kantor Staf Presiden (KSP), dan
  • Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Upaya Menempatkan Lebih Banyak TNI dan Polri

Meski belum final, tambahan K/L dalam draf revisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat upaya untuk menempatkan prajurit TNI lebih banyak lagi ke tubuh instansi pemerintah sipil. Tak heran, beberapa pengamat menyampaikan bahwa PP Manajemen ASN ini akan menjadi “pintu masuk” bagi Revisi UU TNI yang kini masih dalam proses.

UU tentang Polri sendiri menyebutkan bahwa pegawai negeri pada Polri terdiri dari anggota Polri dan PNS. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 20 ayat 1, sehingga secara tersirat, posisi sipil memang telah diakomodasi pada Polri. Setidaknya terdapat Penyidik dari kalangan PNS yang terlibat dalam tupoksi Polri. 

Di sisi lain, dalam Perkap Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Polri disebutkan pada Pasal 4 dan Pasal 5 bahwa anggota Polri dapat ditugaskan di dalam negeri, meliputi berbagai lembaga seperti:

  • MPR/DPR/DPD,
  • kementerian,
  • lembaga pemerintah nonkementerian,
  • organisasi internasional/kantor perwakilan negara asing di Indonesia,
  • BUMN/BUMD, dan
  • instansi tertentu lain atas persetujuan Kapolri.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Polri memiliki akses yang sangat luas dalam menempatkan anggotanya ke berbagai lembaga. 

Menelusuri Implikasi Psikologis bagi ASN 

Kekhawatiran masuknya unsur militer jauh ke dalam institusi sipil pusat cukup beralasan. Salah satu yang santer dibahas tentu kekhawatiran tentang kembalinya konsep dwifungsi ABRI, yang membawa kekhawatiran masyarakat sipil semasa orde baru.

Konsep yang awalnya digagas Jenderal A. H. Nasution di era Presiden Sukarno dan dilegalkan di masa Presiden Soeharto ini menjadikan ABRI (sekarang TNI dan Polri) sebagai kekuatan militer negara sekaligus pengatur pemerintahan negara. 

Hal ini berimplikasi pada eksisnya anggota ABRI melalui Fraksi ABRI dan mendapatkan kursi di MPR dan DPR tanpa perlu mengikuti pemilu.

Tak hanya itu, hegemoni tersebut membuat kita mudah menemukan anggota ABRI yang menempati jabatan strategis dalam pemerintahan, seperti wakil presiden, menteri, hingga bupati.

Hal ini tentu berimplikasi pada kian mengecilnya peran sipil dalam pemerintahan. Besarnya pengaruh militer dalam politik dan pemerintahan juga dikhawatirkan akan mengikis praktik demokrasi yang dapat berujung pada pelanggaran HAM di negeri ini. 

Ketua BP Centra Initiative, Al Arof pun menyampaikan bahwa praktik ini jika dibiarkan akan berdampak buruk bagi demokrasi di negeri ini. Ia dengan tegas menolak praktik monopoli militer terhadap lembaga kewenangan yang ada

Di sisi lain, dalam pengisian jabatan ASN, idealnya dipenuhi melalui sistem manajemen talenta. Hal ini sebagaimana diatur dalam PermenPANRB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta ASN, bahwasanya proses akuisisi, pengembangan, retensi, hingga penempatan talenta pada jabatan ASN dilakukan dengan sistem merit/meritokrasi yang bersumber dari talenta yang dimiliki. 

Praktik ini juga tengah diupayakan untuk dapat dilakukan di seluruh instansi di kementerian, lembaga negara nonkementerian, dan pemda. Jika praktik pengisian jabatan di kementerian, lembaga, dan instansi daerah kian permisif, tentu akan menghambat pengarusutamaan praktik manajemen talenta bahkan menimbulkan demotivasi bagi talenta di kalangan ASN itu sendiri.

Kesenjangan yang Menganga

Konsep resiprokal dalam pengisian jabatan militer oleh ASN sendiri dinilai kelak akan jauh panggang dari api. Dengan kata lain, secara kuantitas akan sulit menemukan titik keseimbangan antara pengisian jabatan aparatur negara dari militer ke sipil dan sebaliknya.

Secara kualitas pun, saat ini belum ada resiprokal pada jabatan yang setara antara aparatur sipil dan aparatur militer. Sebagai contoh, saat ini cukup banyak ASN Kemenhan di Mabes TNI AD yang bertugas sebagai staf/pelaksana di bidang keuangan, sumber daya manusia, dan kehumasan.

Sedangkan untuk jabatan manajerial, penulis belum menemukan adanya ASN yang menempati jabatan manajerial di militer. Hal ini bertolak belakang dengan banyaknya pejabat dari kalangan militer yang mengemban tugas di jabatan manajerial di ASN.

Meskipun pada satu kesempatan, Menteri PANRB, Abdullah Azwar Anas, telah menyampaikan bahwa nanti dimungkinkan adanya Direktur Digital di Mabes Polri dan Wakapolri (dari kalangan ASN) yang membidangi pelayanan masyarakat. 

Salah satu penyebab adanya fenomena tersebut disinyalir karena adanya sejumlah perwira yang belum mendapatkan jabatan.

Imparsial, lembaga yang fokus dalam meneliti sepak terjang militer di Indonesia tersebut, mengingatkan bahwa jika permasalahan adanya penumpukan perwira non-job diselesaikan dengan perbaikan proses rekrutmen, pendidikan, kenaikan karier dan kepangkatan, bukan dengan menempatkan mereka di jabatan-jabatan sipil. 

Perlunya Pembatasan dan KASN yang Berperan

Selain kuantitas dan kualitas, aspek kesetaraan dalam resiprokal pengisian jabatan juga diprediksi sulit untuk diwujudkan. Hal ini dapat ditelisik dari perbandingan struktur kepangkatan antara aparatur sipil dengan nonsipil yang memiliki perbedaan cukup signifikan.

Para pemangku kebijakan juga perlu mencermati persyaratan bagi aparatur yang akan ditugaskan, meliputi kompetensi, kesetaraan, batas usia pensiun, jangka waktu menjabat, dan sebagainya.

Meskipun demikian, Wakil Presiden RI, KH. Maruf Amin menyatakan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran tentang dwifungsi ABRI, karena jabatan yang dibutuhkan tersebut tetap diberikan berbagai batasan. Peran ganda pejabat militer di jabatan sipil memang harus dihilangkan seraya hanya menjadikan legal formal ASN/sipil sebagai landasan. 

Senada dengan Wapres, Plt. Deputi Bidang SDM Aparatur KemenPANRB, Aba Subagja juga menyebut bahwa pejabat militer di jabatan sipil tidak akan memiliki jabatan ganda, alias hanya diakui sebagai pejabat sipil. 

Para pemangku kepentingan, dalam hal ini BKN atau Kementerian PANRB, diharapkan memiliki pencatatan khusus terkait penempatan prajurit TNI dan anggota Polri yang menduduki jabatan sipil, begitupun kelak sebaliknya ASN yang menduduki jabatan di TNI dan Polri.

Betapa tidak, terdapat beberapa jabatan di kalangan sipil yang khas dengan nuansa militer seperti bidang penindakan di BNN, pun di ranah militer terdapat jabatan dengan nuansa sipil seperti bidang kesehatan, keuangan, dan sebagainya. Sinergi antara keduanya tentu patut mendapat atensi khusus.

Pengawasan yang ketat terhadap praktik ini juga harus dilakukan oleh lembaga pemerintah yang saat ini diampu oleh KASN. Hal ini penting untuk dilakukan evaluasi berkala terhadap jalannya instansi pemerintahan. Namun ironis, KASN yang dianggap independen dalam mengawal kiprah ASN menghadapi kenyataan akan segera dibubarkan. 

Epilog: Mengembalikan pada Khittah-nya

Dikotomi antara sipil dan militer dengan berbagai karakteristiknya merupakan suatu keniscayaan. Sinergi antara keduanya diharapkan bisa mengakselerasi instansi dalam mencapai tujuan. Pun demikian, masuknya prajurit TNI dan anggota Polri pada instansi pemerintahan sipil perlu mendapat atensi bersama dari para pemangku kepentingan. 

Nuansa yang terbangun di instansi sipil maupun militer berpotensi akan berubah seiring dengan perbedaan paradigma antara militer yang kental dengan nuansa komando dibanding birokrasi/non-militer yang cenderung partisipatif.

Dampak psikologis yang ditimbulkan bagi aparatur sipil (maupun militer) dapat dijadikan pertimbangan awal sebelum praktik tersebut lazim dilakukan. Pembagian peran antara TNI, Polri, dan ASN sejatinya sudah jelas.

  • TNI pada hakikatnya dipersiapkan untuk berperang/mempertahankan kedaulatan negara,
  • Polisi untuk penegakan dan ketertiban hukum bagi masyarakat,
  • sedangkan ASN melayani kepentingan masyarakat.

Oleh karenanya, pewajaran terhadap penempatan pejabat militer di jabatan ASN harus dicermati kembali. Jika tidak ada urgensi, sudah sepatutnya aparatur berkarir pada ranahnya sendiri tanpa ada intervensi. 

0
0
Yoga Suganda Sukanto ♥ Associate Writer

Yoga Suganda Sukanto ♥ Associate Writer

Author

Seorang Analis Kebijakan Ahli Pertama di Pusat Kajian Manajemen ASN, Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jakarta dan berdomisili di Bekasi. Bisa dihubungi melalui surel [email protected].

2 Comments

  1. Avatar

    Kalau resiprokal bisa membawa saya menjadi pejabat di TNI atau POLRI tentu itu yg dinanti…tapi apa ya mungkin. nantinya yg ada adalah hampir semua posisi strategis di sipil diisi oleh polisi

    Reply
  2. Avatar

    Kalau resiprokal bisa membawa saya menjadi pejabat di TNI atau POLRI tentu itu yg dinanti…tapi apa ya mungkin. nantinya yg ada adalah hampir semua posisi strategis di sipil diisi oleh polisi

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post