Kisah Fiksi tentang e-Gov di Sebuah Instansi Antah Berantah*

by | Oct 21, 2019 | Birokrasi Berdaya | 3 comments

Kali ini, Redaksi Birokrat Menulis menerima kiriman tulisan dari seorang penulis yang tidak mau disebutkan namanya. Katanya, cerita dalam tulisan ini hanya sebuah kisah fiksi semata. Sebuah fiksi berisi dialog antara dua orang ASN yang membicarakan tentang belum berjalannya penerapan e-Government (e-Gov) di tempat mereka bekerja. Dalam hal ini kita semua tahu, E-Gov merupakan bagian dari target Reformasi Birokrasi yang seharusnya dilaksanakan sepenuhnya oleh instansi pemerintah.

Saat ini, mulai dari Presiden, menteri, kepala lembaga, hingga pejabat di pemerintah daerah sedang semangat-semangatnya berbicara tentang revolusi industri 4.0 untuk menghadapi persaingan global. Seberapa siap birokrasi pemerintah menyiapkan dirinya? Dialog kedua ASN dalam tulisan kali ini cukup bisa menggambarkan secara umum ketidaksiapan instansi pemerintah menghadapi revolusi industri 4.0 tersebut.


 

Adegan ini terjadi pada suatu pagi di sebuah ruangan kerja kantor pemerintah. Dua orang aparat sipil negara (ASN) sedang mendiskusikan sesuatu di sela-sela waktu mengerjakan tugas mereka. Mereka itu adalah aku, dan Mbak Wina temanku.

“Ternyata, birokrasi kita masih begini-begini aja ya?”

Komentar Mbak Wina memecah konsentrasiku. Mbak Wina adalah seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Masa kerjanya baru hitungan bulan. Sebelumnya, dia sudah pernah bekerja di perusahaan swasta meski bukan skala nasional. Aku yang sedang khusyuk membuat notulen rapat menoleh.

“Begini-begini aja bagaimana, Mbak?”, Aku mencoba memancingnya.

“Ya begini ini. Kalau aku lihat kaya serba nanggung. Contoh, sudah ada aplikasi cuti, tapi kenapa saat pengajuan form cutinya masih harus dicetak?”

Mataku kembali menatap ke monitor sembari jemariku menari-nari di atas keyboard. Aku menimbang sebentar komentar Mbak Wina. Sepertinya Mbak Wina cukup asyik untuk diajak diskusi.

“Katanya sih Mbak. Kalau ada pemeriksaan, Inspektorat masih perlu bukti fisik,” jawabku sekenanya. “Selain itu juga karena orang-orang kita itu nggak percayaan.”

Aku melanjutkan jawaban dengan sedikit berhati-hati.

“Maksudnya nggak percayaan?”

“Jadi ada kekuatiran, kalau persetujuan cuti lewat aplikasi, yang menyetujui itu sekretarisnya, bukan atasan langsungnya.”

Kali ini aku menjelaskan padanya sambil berbisik, kuatir terdengar oleh si pembuat aplikasi yang duduk tidak jauh dari meja kami.

“Memangnya kalau dicetak, pengajuan cutinya bakalan dibaca?”

Mbak Wina juga ikut-ikutan berbisik.

“Belum tentu juga sih.”

Aku nyengir, teringat kejadian kasus persetujuan cuti tempo hari. Konon ada seorang pejabat yang marah-marah karena anak buahnya mengajukan cuti sementara masih ada tugas yang harus segera diselesaikan. Ketika ditunjukkan padanya bukti persetujuan cuti, pejabat tersebut mengelak dan mengatakan bahwa dia tidak membaca nama yang mengajukan cuti.

“Jadi percuma dong ada aplikasi. Teknologi kan diciptakan biar mudah. Paperless. Kalau tetap harus nyetak mah sama aja boong.”

Aku tidak berkomentar, tetapi mengamini dalam hati.

“Aku sebetulnya males kerja di birokrasi,” Mbak Wina melanjutkan. “Dulu iseng ngelamar karena katanya sekarang birokrasi udah beda. Yang gembar-gembor reformasi birokrasi itu.”

Aku bergumam entah apa, hanya untuk menunjukan bahwa aku mendengarkannya. Lantas aku jadi teringat pada percakapan dengan suamiku sembilan tahun lalu. Saat itu suamiku yang baru saja diterima CPNS pernah bercerita:

“…PNS sekarang beda dengan yang dulu. Sekarang kami harus membuat kontrak kerja dan kalau target kerja tidak tercapai, akan dapat sanksi hukuman disiplin.”

Belakangan aku tahu bahwa kontrak kerja yang dia maksud adalah Standar Kinerja Pegawai (SKP). Pernyataannya memang tidak sepenuhnya salah, tetapi kontrak kerja yang kutemui ternyata juga bisa direvisi, tergantung situasi. Barangkali di instansinya tidak dibolehkan merevisi SKP sesuka hati sehingga hukuman disiplin betul-betul diberikan kepada pegawai yang tidak mencapai target kinerja.

Entahlah. Sepertinya memang tidak pernah ada yang benar-benar tahu seperti apa kinerja birokrasi kita. Atau, apakah benar birokrasi kita sedang mengalami reformasi? Karena nyatanya, kinerja birokrasi masih saja tiarap. Masih jauh jika dibandingkan dengan kinerja perusahaan swasta nasional.

“Bu, surat-suratnya sudah disebar, ya. Ini tanda terimanya,” kata seorang siswa magang membuyarkan lamunanku.

Aku mengambil buku tanda terima yang disodorkannya dan mengucapkan rasa terima kasih yang sungguh-sungguh kepadanya. Bagaimana tidak? Aku tak bisa membayangkan apabila tidak ada para siswa magang itu. Setiap ada surat yang harus disebar ke setiap unit, mereka masih disuruh melakukannya dengan cara purba: berjalan kaki ke unit-unit, menyerahkan salinan surat, dan menyodorkan buku tanda terima surat.

Kadang ketika kebetulan sedang tidak ada siswa magang, aku mengutuk para petinggi yang selalu berkoar-koar soal revolusi industri 4.0 di setiap langkah kaki yang menyeretku mengantar surat-surat itu ke unit-unit.

“Tau nggak mbak,” giliran aku memulai curhat,”unit-unit tuh sebetulnya punya alamat email juga.”

“Oh ya? Terus kenapa kalau kirim surat gak scan terus kirim lewat email aja? Apa jangan-jangan emailnya gak pernah dibuka?” tanyanya curiga.

“Ya, begitulah Mbak. Lebih susahnya lagi,” lanjutku,“kalau kita butuh konfirmasi atau jawaban atas surat yang telah kita kirim, kita harus nelponin mereka satu per satu.”

Mbak Wina diam, fokus mendengarkanku.

“Dua puluh sembilan unit, Mbak,” Lanjutku dengan suara agak didramatisir.“Satu hari juga belum tentu kelar.”

“Pasti teleponnya pada gak diangkat ya?”

Tebakannya benar. Aku mendengus sebal.

“Yang gak diangkatlah. Yang katanya masih tunggu disposisilah. Yang ngakunya belum terima suratlah. Padahal tanda terimanya jelas ada.”

“Ya ampun,” komentar Mbak Wina. Matanya membesar.“Gimana kita mau menuju birokrasi kelas dunia ya, kalau urusan kirim surat aja masih pakai cara purba.”

“Jangankan kelas dunia mbak, kelas nasional aja tiarap.”

Mbak Wina tersenyum kecut mendengar jawabanku. Aku jadi bertanya-tanya perasaan Mbak Wina saat ini. Masihkah dia bangga dengan statusnya sebagai seorang CPNS? Apakah dia menyesal dan berencana mundur karena birokrasi saat ini belum berjalan sesuai harapannya? Atau, barangkali terpaksa bertahan demi bisa membayar cicilan?

Entahlah. Hanya dia yang tahu perasaannya saat ini. Aku sendiri sedang menimbang-nimbang, sudah sebanyak apa idealisme yang terkikis sejak pertama kali gabung di birokrasi. Jika berat idealisme bisa diukur dengan timbangan, aku yakin beratnya sudah jauh berkurang. Aku hanya berharap idealisme itu tidak sampai hilang karena dialah temanku satu-satunya di birokrasi.

“Jadi, bener ya, birokrasi kita masih gini-gini aja?” tanyanya lagi, mengulang pertanyaannya sendiri di awal percakapan kami. Sebuah pertanyaan retoris.

Aku menatapnya sebentar, menimbang, dan melanjutkan mengetik notulen rapat yang hampir selesai.

“Tenang Mbak, itu masih belum seberapa kok. Masih banyak kejutan lain,” jawabku sambil mengabaikan wajah pucat Mbak Wina.

***

*) Jika ada nama tokoh atau adegan yang mirip dengan dialog tersebut di instansi Anda, mungkin itu hanya perasaan Anda saja.

 

 

 

 

1
0
Redaksi

Redaksi

Author

3 Comments

  1. Avatar

    Birokrasi masih gini2 saja, semua pegawai berharap organisasi akan lebih baik namun sedikit yg mau memikirkan organisasi. Yang berharap banyak tapi yang mau bekerja dan peduli ke organisasi sedikit.

    Reply
  2. Avatar

    non fiksi ini mah..idem soalnyah 😀

    Reply
  3. Avatar

    Ringan dan nyata. Kirim surat via WA sudah sampai, tp tetap saja minta fisiknya buat arsip. Nah looo!!!

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post