Zohran Mamdani dan Sadiq Khan: Pemimpin Muslim di Tengah Pusaran Kebencian

by | Jul 26, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Di tengah sikap saling curiga, multipolarisme, dan kompleksitas politik global, kehadiran para pemimpin dan calon pemimpin muslim menghadapi tantangan tersendiri, khususnya dalam konteks menghadapi kebencian berlandaskan sentimen agama.  

Untuk saat ini, Sadiq Khan di London dan Zohran Mamdani di New York dapat dirujuk sebagai cermin harapan sekaligus tantangan. 

Menjadi muslim dan kerap bersuara membela Palestina, keduanya dianggap mengganggu khazanah keragaman agama London dan New York, hingga identitas muslim mereka kerap memicu tindakan islamophobic. 

Menjadi Walikota London untuk ketiga kalinya, Sadiq Khan menghadapi tuduhan islamofasisme dari berbagai pihak, terutama dari partai sayap kanan. 

Ia menghadapi kenyataan
bahwa banyak pihak menudingnya sebagai fasilitator
terhadap realitas London yang kerap menjadi basis gerakan pro-Palestina dan dorongan terhadap gerakan anti Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender,
Queer, Intersexual (LGBTQI).
 

Selain itu, respons kolektif kebencian dan serangan terhadap Sadiq Khan cukup mudah ditemukan, di antaranya dari aktivitas media sosial yang berkenaan dengannya langsung maupun tidak langsung.

Gelombang dan penanda baru

London tumbuh dan berkembang sebagai simbol multikulturalisme. Namun demikian, kemenangan Sadiq Khan menjadi dorongan bagi berbagai kalangan untuk membangkitkan prasangka kebencian terhadap Islam. 

Sebagai muslim putra imigran Pakistan, ia harus menerima tuduhan rasial yang mempertanyakan kesetiaannya sebagai warga Inggris, selain tudingan pada semangatnya untuk mengubah London sebagai basis Islam.     

Sementara itu, Zohran Mamdani menandai gelombang baru di New York. Di bulan Juni, ia memenangkan pemilihan pendahuluan di New York. 

Jika menang di pemilihan pada bulan November 2025, Mamdani akan menjadi walikota muslim di kota terbesar di Amerika, New York. Kemenangan pada pemilihan pendahuluan tersebut sontak mengagetkan banyak pihak. 

Donald Trump langsung menyerangnya sebagai komunis gila dan mengatakan akan memulangkan paksa Mamdani karena statusnya yang imigran. 

Sementara itu, anggota Kongres dari Partai Republik Marjorie Taylor Greene, secara terang-terangan menormalisasi Islamofobia di ranah publik dengan menyebut profil Zohran Mamdani sebagai figur yang “lupa akan 9/11”.  

Peristiwa 9/11 seolah menjadi simbol kebencian Amerika pada Islam dan menjadi tuduhan ekstremitas terhadap siapapun yang dianggap berasal dari kalangan Islam.  

Tudingan Greene seolah menjadi pemicu tindakan negatif lainnya. Tercatat, Mamdani menerima tuduhan sebagai pelopor ekstremis dan pendukung terorisme. 

Dalam 24 jam setelah kemenangan pendahuluannya dimumkan,
ia menghadapi 127 ungkapan antimuslim. Intinya, dia merupakan ancaman nyata bagi New York khususnya dan Amerika pada umumnya
dengan identitas Islamnya. 

Zohran Mamdani adalah gelombang baru di New York, namun kehadirannya memicu tindakan antipasti berbasis agama. Ia lantang menyuarakan dukungan terhadap Palestina tepat di basis pendukung Israel, meski untuk itu ia harus menerima tudingan anti-semitisme.  

Lagu Lama

Tekanan terhadap Sadiq Khan dan Zohran Mamdani menyiratkan tingkat kedangkalan keberagamaan. 

Lagu lama tentang islamophobia nyaring dibunyikan di tengah upaya keduanya mengekspresikan kerja dan kreativitas individu dalam konteks politik, sosial, dan budaya. Lain hal, keduanya juga memiliki perbedaan esensial dalam mengaktualisasikan gagasan. 

Dalam menjalankan Langkah politiknya, Khan memilih jalur moderat, menekankan integrasi dan kerja sama lintas komunitas, bahkan dengan mengunjungi kuil Hindu untuk menunjukkan solidaritas. 

Di lain pihak, Mamdani lebih bersuara vokal. Ia secara terbuka menampilkan identitas Muslimnya melalui kehadiran di masjid dan kampanye dalam bahasa Urdu. 

Dalam langkah yang dijalaninya, ia mengimbanginya  sembari memperjuangkan agenda progresif seperti perumahan terjangkau, transportasi gratis, dan pajak tambahan bagi orang kaya untuk mensubsidi perumahan warga miskin dan terpinggirkan di New York.

Refleksi Teori Identitas Sosial

Respons negatif yang diterima Sadiq Khan dan Zohran Mamdani merefleksikan pandangan Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory) yang dikembangkan Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1970-an. 

Dalam perspektif teori ini, terdapat bias kelompok dalam (in-group favouritism) yang ditunjukkan dengan adanya individu yang cenderung memihak anggota in-group mereka dan memberikan perlakuan yang lebih baik kepada mereka dibandingkan dengan out-group

Dalam kasus Khan dan Mamdani, Presiden Trump, Greene, dan para politisi Inggris berupaya memperkuat solidaritas basis politik pendukung mereka dengan pilihan sadar untuk menyerang Mamdani dan Khan pada konteks masing-masing. 

Pada dasarnya Mamdani dan Khan yang dianggap sebagai representasi out-group yang riskan dan berbahaya. 

Dalam konteks meningkatkan daya tawar, nilai jual, dan kampanye kelompok, aktor politik sering kali memakai cara mendiskreditkan atau menstereotipkan out-group

Serangan Trump yang menyebut Mamdani “komunis gila” dan ancaman simbolik Greene mencerminkan stereotipisasi negatif terhadap Mamdani berdasarkan identitas agama, etnis, dan ideologinya.

Namun demikian, di titik ini, kemenangan Mamdani dan Khan pada dasarnya menunjukkan bahwa identitas agama dan latar belakang imigran bukan lagi penghalang, melainkan kekuatan dalam politik Amerika dan Inggris. 

Lebih lagi bila langkah politik mereka dapat digabungkan dengan platform yang relevan bagi kebutuhan warga New York dan London. 

Meski demikian, untuk mewujudkan visi politik yang benar-benar inklusif, diperlukan upaya tiada lelah dan kolektif untuk melawan narasi kebencian dan membangun dialog dan kerja kreatif lintas-komunitas dan lintas-iman.

Representasi Perjuangan di Tengah Multipolarisme

Langkah Sadiq Khan dan Zohran Mamdani adalah representasi perjuangan yang lebih luas, yakni bagaimana menjaga identitas politik tanpa terjebak dalam multipolarisme. 

Kemenangan mereka menunjukkan bahwa para pemilih, terutama generasi muda dan komunitas kosmopolit, semakin menghargai kepemimpinan yang otentik dan berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. 

Meski demikian, gelombang Islamofobia yang mereka hadapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan prasangka masih jauh dari kata usai.

Perjuangan mereka juga masih berjarak dari kondisi ideal. Di tengah ketegangan identitas, Sadiq Khan dan Zohran Mamdani adalah simbol harapan bahwa kepemimpinan muslim dapat mengubah wajah politik global dengan segala drama politik dan tantangan yang menyertai. 

Mereka dapat menempuhnya bukan dengan menghapus identitas, tetapi dengan menjadikannya bagian dari perjuangan untuk keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama. 

Pada akhirnya, perjuangan untuk menegakkan inklusivitas dan keadilan dalam ranah politik menjadi ujian resiliensi dalam diri mereka.

1
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post