
Di tengah perkembangan budaya hingga politik dunia yang serba cepat, penuh distraksi, kerap manipulatif, dan riuh dengan kejutan, orang bisa jadi butuh jeda untuk introspeksi sekaligus mengenali diri sendiri.
Di antaranya lewat Wimbledon, turnamen tenis berkategori Grand Slam yang tengah digelar di Inggris ini, kesempatan seperti itu terbuka untuk diraih.
Bagi para pemain top dunia, Wimbledon bukan sekadar ajang pertandingan. Turnamen ini merupakan seri tertinggi dari empat grand slam.
Wimbledon bersanding dengan Australia Open, French Open, dan US Open—dengan Jannik Sinner dan Carlos Alcaraz sudah lebih dulu merebut gelar di dua seri sebelumnya (sementara US Open belum digelar).
Lebih dari sekadar perebutan gelar, Wimbledon juga menjadi simbol disiplin, tradisi, dan penghargaan terhadap nilai-nilai klasik yang tetap relevan hingga hari ini.
Dalam ungkapan sederhana, Wimbledon kerap dipandang sebagai mercusuar dalam lanskap sosial, budaya, bahkan politik. Pengaruh budayanya melampaui batas geografis Inggris, menjadikannya simbol keunggulan dan ketahanan global.
Turnamen ini telah bertahan melewati dua perang dunia,
berbagai perubahan sosial, dan kemajuan teknologi—namun tetap relevan sebagai penanda tradisi di tengah arus modernitas. Tak heran jika banyak yang meyakini bahwa Wimbledon adalah tempat kembali untuk mengenali jati diri.
Bagi penonton, datang ke Wimbledon serupa menikmati sajian tradisi yang tetap terjaga hingga kini lewat sebuah turnamen tenis tertua yang berusia 148 tahun. Mendapatkan tiket Wimbledon merupakan satu keberuntungan tersendiri karena tingkat kesulitan dan cara unik mendapatkannya.
The Queu, Bukan War Ticket Biasa
Upaya mendapatkan tiket ini memerlukan kesabaran tingkat tinggi karena bisa jadi harus antre berjam-berjam atau mendapatkan cara lain, melalui book lewat hotel rekomendasi penyelenggara Wimbledon satu atau dua tahun sebelumnya.
Cara mengantre ini lazim dikenal sebagai The Queue yang menguji kesabaran penonton. Tidak ada war ticket sebagaimana yang lazim dikenal di tanah air.
Tradisi yang berlaku dan dijaga selama ratusan tahun ini selintas terasa kaku, tapi di situlah bisa jadi terletak cermin kesederhanaan dan kesetaraan. Dalam konteks ini, dress code warna putih, misalnya, wajib dipakai setiap pemain tanpa terkecuali.
Tidak ada ruang bagi pemain sekaliber Rafael Nadal, yang suka nyentrik memakai apparel, untuk memakai kostum warna-warni seperti yang biasa dia kenakan. Semua harus seragam dan bersih.
Di arena Wimbledon, tidak ada yang diperlakukan atau mendapat privelese untuk menonjol lebih dari pemain lain. Yang terpenting adalah kemampuan dan dedikasi mereka.
Di samping itu, tidak ada warna mencolok, hanya kaos putih, pun logo-logo besar iklan yang terpampang. Seluruh perhatian yang hadir di arena pertandingan diarahkan hanya ke permainan yang dipanggungkan.
Wimbledon juga mengajarkan bahwa sebuah pertandingan dinilai berharga bukan hanya dari sisi menjadi pemenang atas pertandingan, tapi juga dalam hal cara meraihnya.
Itulah kenapa setiap pemain wajib memberi penghormatan dengan membungkukkan badan ke Royal Box sesaat mereka masuk dan meninggalkan gelanggang All England Lawn Tennis and Croquet Club.
Pada momen ini, pemain “dipaksa” mengingat bahwa olahraga tidak hanya cerminan sportivitas, tapi terutama sekali adalah mengenai penghormatan institusional dan respek terhadap sejarah dan penonton.
Wimbledon Effect
Berbeda dengan kebanyakan momen turnamen lainnya, Wimbledon tidak memanfaatkan iklan di sekitar lapangan. Wimbledon bukan tidak memiliki animo pengiklan yang sejatinya mengantri.
Dalam keyakinan mereka yang sudah mentradisi,
Wimbledon harus memberi kesempatan para pemain untuk fokus sepenuhnya pada pertandingan dan itu artinya tidak dengan keberadaan kerlap-kerlip logo iklan di sisi lapangan.
Roger Federer, pemegang rekor kemenangan terbanyak Wimbledon (9 kali juara) sejauh ini, dalam biografinya, Roger Federer: The Biography karya Chris Bowers (2016), yang juga menulis biografi Novak Djokovic, mengisahkan pandangan mendalamnya tentang Wimbledon yang ia anggap sebagai turnamen tertinggi dalam dunia tenis.
Wimbledon, dalam pandangan Federer, adalah turnamen yang paling sakral dan prestisius dalam tenis dan menyebutnya sebagai “katedral” olahraga, tempat di mana sejarah, tradisi, dan suasananya menciptakan pengalaman yang tidak dapat ditandingi.
Roger Federer mengungkapkan ikatan emosional yang kuat dengan Wimbledon. Ia merasa turnamen ini memiliki energi khusus yang membuatnya merasa di rumah sendiri.
Melengkapi kisahnya, ia bercerita tentang bagaimana ia sering berjalan-jalan di sekitar All England Club untuk menyerap suasana dan menemukan aura kemenangan.
Federer yang superstar kejuaraan mampu berada di sekitar lokasi kejuaraan tanpa suasana hiruk-pikuk yang menyambutnya.
Pengalaman Budaya yang Tiada Duanya
Bisa jadi, Federer dengan semua kekagumannya pada Wimbledon mengalami secara langsung Wimbledon Effect. Dalam buku Wimbledon: The Official History (2014) John Barrett menegaskan bahwa Wimbledon adalah bagian dari konteks sosial budaya Inggris.
Ia menggambarkan Wimbledon sebagai perayaan musim panas Inggris yang menggabungkan tradisi, elegansi, dan kepekaan sosial yang khas.
Tradisi seperti menyantap stroberi dan krim, antrian panjang penggemar (The Queue), dan suasana lapangan rumput hijau di All England Club menciptakan pengalaman budaya yang tidak ada duanya.
Wimbledon, dalam pandangannya, adalah juga perangkat budaya Inggris yang positif, seperti ketertiban, sopan santun, dan penghormatan terhadap tradisi.
Lambang Prestise yang Mengubah Stigma
Barrett mencatat bahwa turnamen ini sering dilihat sebagai cerminan nilai-nilai gentlemanly dan ladylike yang masih dihargai dalam masyarakat Inggris. Wimbledon telah menjadi bagian dari budaya pop global yang muncul dalam literatur, film, dan media.
Meski kerap dikatakan kolot dengan nilai-nilai dan praktik yang dijalankan, turnamen ini sering digambarkan sebagai lambang prestise dan keanggunan dalam budaya populer.
Wimbledon juga menjadi acara sosial tahunan yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat. Turnamen ini dihadiri keluarga kerajaan, konglomerat, selebritas, influencer, hingga penonton biasa. Mereka bersatu, guyub, diikat oleh satu semangat untuk memperkuat peran turnamen sebagai perekat sosial.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga memang menjadi salah satu kondisi kunci yang diperjuangkan Wimbledon. Sejak 1884, Wimbledon turut berperan mengubah peran stigmatif masyarakat tentang kemampuan atletik perempuan dalam olahraga kompetitif.
Langkah progresif ini pada akhirnya membuka kesempatan bagi perempuan untuk memiliki pengaruh kuat dalam perspektif olahraga secara global.
Tidak Sempurna, namun Tetap Luar Biasa
Pada akhirnya, turnamen tenis Wimbledon lebih dari sekadar turnamen olahraga meski ia bukan tidak punya cacat.
Beberapa laporan mengungkap adanya sindikat kejahatan yang mengintai pengunjung Wimbledon. Beberapa pemain juga mengeluhkan aturan kaku yang diterapkan, sebagaimana yang disampaikan Coco Gauff.
Namun demikian, Wimbledon tetaplah turnamen dengan daya tarik luar biasa. Dengan itu, ia memiliki dampak sosial dan budaya yang terletak pada kemampuannya untuk menyeimbangkan tradisi dengan kemajuan, menjaga nilai-nilai seperti sportivitas, kesetaraan, dan kedisiplinan.
Nilai-nilai tersebut terasa sering samar di zaman sekarang. Wimbledon, dengan tradisinya, menjadi jalan kembali mengasah kepekaan diri.
0 Comments