Sektor pemerintahan menjadi wilayah dengan tingkat korupsi cukup besar. Transparency International (TI) pada tahun 2017 mencatat lebih dari 60% praktik korupsi terjadi di sektor layanan publik seperti sekolah, rumah sakit, layanan kependudukan, dan layanan umum.
Pada semester I tahun 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa modus korupsi banyak dilakukan melalui penyalahgunaan anggaran, mark up, suap, pungli, laporan fiktif, pemotongan anggaran, proyek fiktif, dan mark down. Modus tersebut mayoritas terjadi di sektor pemerintahan atau eksekutif, yang banyak melibatkan kepala daerah dan aparatur sipil negara (ASN).
Ketiadaan Peran
Sebagai pengguna anggaran (user), birokrasi eksekutif didesain untuk mewujudkan program pemerintah. Program ini direncanakan secara berkesinambungan dari pusat hingga daerah, yang kemudian diikuti oleh anggaran untuk pelaksanaanya.
Meminjam pembagian peran di manajemen sektor privat, manajemen birokrasi pun terbagi dalam beberapa peran, yakni perencana, pelaksana, dan pengawas. Kepala daerah berperan sebagai direktur yang memastikan struktur dibawahnya berjalan sesuai dengan program dan mampu memenuhi harapan rakyat.
Praktik korupsi yang terjadi di sektor eksekutif beroperasi pada lingkaran manajemen birokrasi, khususnya pada asek pelaksanaan program. Praktik korupsi bisa berupa penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa, kegiatan fiktif, suap dan pungli.
Praktik kotor itu seolah meniadakan peran pengawas. Padahal, pengawasan dalam manajemen birokrasi dilakukan secara reguler dan rutin. Demikian juga saat praktik kotor itu melibatkan kepala daerah, peran pengawas seolah tak sanggup menjangkaunya.
Perhatian yang Kurang
Peran pengawas dalam manajemen birokrasi dilakukan oleh Inspektorat yang juga disebut sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Inspektorat menjalankan tugasnya sebagai pengawas pelaksanaan program yang dilakukan oleh organisasi perangkat daerah (OPD).
Inspektorat mestinya dapat memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas, memberikan peringatan dini, manajemen risiko, serta memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah (Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah).
Fungsi pengawasan oleh Inspektorat seyogyanya dapat menjadi pengaman dan jaminan dalam pelaksanaan setiap program sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Lebih jauh, Inspektorat dapat memberikan peringatan dini kepada kepala daerah atau OPD mengenai kegiatan yang mengarah pada korupsi, atau dapat diistilahkan sebagai mata dan telinga kepala daerah.
Namun, fungsi Inspektorat sepertinya belum dimaksimalkan, sang kepala daerah masih memandangnya sebagai pelengkap dalam manajemen birokrasi. Temuan dari pemeriksaan pun tidak diarahkan pada hal yang strategis. Perhatian yang kurang ini menyebabkan minimnya motivasi ASN yang berada di Inspektorat dan berdampak pada kinerja yang semakin berkurang. Bahkan, bisa juga terlibat dalam hal pembenaran atau melindungi praktik korupsi.
Peningkatan Kapabilitas
Melihat hal demikian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berupaya untuk meningkatkan kapabilitas APIP melalui penilaian dan pendampingan. Untuk meningkatkan kapabilitas APIP, ada 5 level di dalamnya yang masing-masing level menunjukan kondisi dan kualitas APIP.
Pada tahun 2019 ditargetkan 85% dari total 628 APIP mencapai level 3. Arti dari level 3 ialah APIP pada kondisi itu mampu menilai efisiensi, efektivitas, ekonomis suatu kegiatan, dan memberikan konsultasi pada tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian intern.
Peningkatan kapabilitas ini telah mengubah perilaku APIP. Jika dulu masih ada oknum yang melakukan kompromi terhadap temuan dengan tujuan mendapatkan timbal balik berupa materi, maka praktik itu sekarang mulai dapat dikikis.
Temuan tidak hanya soal administratif, tetapi dapat masuk lebih dalam lagi untuk mendeteksi fraud dan mengembalikan kerugian negara. APIP dituntut untuk berani menyampaikan masukan kepada kepala daerah tentang tata kelola pemerintahan yang bersih.
Peran APIP juga semakin luas dengan adanya perjanjian kerjasama antara APIP dan aparat penegak hukum (APH) terkait penanganan laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Inspektorat secara aktif juga terlibat dalam koordinasi, supervisi dan pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai partner, inspektorat selalu bekerjasama dengan KPK dalam hal pencegahan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan pendidikan antikorupsi.
Epilog
Peningkatan kapabilitas APIP di atas, tentunya dapat dikatakan sebagai usaha untuk merevitalisasi peran Inspektorat. Namun, hal itu tidak cukup jika tidak didukung oleh perhatian dari kepala daerah. Sementara itu, keberadaan Inspektorat sepertinya dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan penting dalam mereformasi birokrasi dan mewujudkan pemerintah yang bersih dan akuntabel. Masyarakat pun kian menanti peran APIP untuk mendeteksi dan mengikis praktik korupsi di sektor eksekutif.
0 Comments