Ujian Hidup di Birokrasi

by | May 23, 2019 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Mengelola negara itu susah, maka tanyakan pada teman-teman, saudara, dan handai taulan, yang pergi pagi-pagi, tapi pantang pulang sampai petang.

Mengelola negara itu susah, maka saksikan pada layar kaca betapa banyak keriuhan dan gegap gempita dari para pejabat.

Mengelola negara itu susah, maka tanyakan pada ratusan kawan yang tersebar di seluruh negeri yang tidak bisa bertemu anak istri ketika idul fitri.

Mengelola negara itu lelah, tapi tak boleh patah.

 

Mengelola negara, terutama dalam hal keuangan melahirkan kelelahan-kelelahan yang mengharuskan setiap birokrat haruslah cukup sehat selain harus tetap mempunyai martabat, sehingga jauh dari maksiat.

Siklus pengelolaan keuangan negara untuk melaksanakan pembangunan dimulai dari perumusan kebijakan sebagai suatu awal proses membangun yang melelahkan.

Pembangunan merupakan tahapan yang panjang yang saling kait-mengait, terhubung, dan saling bergantung antar komponen dalam suatu pemerintahan.

Perjalanan Panjang itu Dimulai

Perumusan kebijakan dengan pendekatan yang sangat demokratis seperti yang kita alami bersama saat ini, menambah langkah-langkah birokrasi yang terkesan sulit dalam alam birokrasi yang sudah terlahir rumit.

Pembicaraan berbagai pihak yang, katanya, berkompeten dan berkepentingan dalam menentukan arah pembangunan, dilakukan seawal mungkin agar dapat menjadi panduan bagi para eksekutif untuk menjalankan pembangunan.

Selain itu perlu dicatat bahwa sebelum menentukan siapa yang berkompeten untuk mewakili yang berkepentingan, dalam hal ini mewakili rakyat, diperlukan proses panjang dan juga berbiaya dalam perhelatan nasional yang sering diberikan tajuk sebagai pesta.

Setelah itu, tidak serta merta rantai penyiapan pekerjaan terhenti dan dilanjutkan untuk mulai merealisasikan pembangunan. Tahapan itu belum selesai.

Untuk memencet tombol on pembangunan, masih diperlukan berbagai tahapan kritis yang akan menentukan kepada siapa prioritas pembangunan diarahkan, di daerah mana, dalam bentuk apa, dan berbagai kriteria kritis lainnya sebelum pembangunan secara nyata dilaksanakan.

Dengan demikian, masih diperlukan berbagai perumusan-perumusan aktual dan relevan yang bermanfaat sebagai panduan untuk melaksanakan pembangunan.

Pertemuan para pihak yang mempunyai kompetensi pribadi dan dari institusi yang memiliki kapabilitas dalam penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pengarahan pembangunan, harus dilakukan.

Serangkaian rapat untuk mendukung rapat dan menyediakan bahan untuk rapat-rapat lainnya kemudian perlu dilakukan. Rapat-rapat yang seharusnya membuat semakin dekat dan merapat, terkadang berakhir dengan keputusan yang bisa juga membuat semakin menjauh.

Beda visi, lain misi, dapat berimbas ke alokasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan (atau mungkin sebenarnya memang tidak terlalu dibutuhkan). Beda lokasi, lain proyeksi, sehingga satu upaya pembangunan tidak jadi dijalankan (atau mungkin sebenarnya memang tidak diperlukan).

Beda perhitungan, lain kepentingan, sehingga satu rancangan panjang rencana pembangunan diperdebatkan (atau mungkin seharusnya semua mengikuti pada jalur yang sama).

Bahkan, setelah kesepakatan diperoleh pun, pekerjaan melelahkan untuk memulai pembangunan tidak berhenti dengan sendirinya. Selesainya rapat-rapat tersebut menandakan dimulainya ‘genderang perang’ para pelaksana di bawahnya.

Sesegera dan sesigap mungkin mereka akan beraksi, dimulai dari mengaktualisasikan perencanaan yang telah dibuat jauh-jauh hari, mencari rekanan yang akan menyediakan barang dan jasa untuk diadakan, menyiapkan kontrak, dan seterusnya sampai benar-benar terselenggara dan terealisasikan anggarannya.

Belum lagi, mereka mesti berkutat dengan dokumen dan berkas pelaksanaan, fotokopi, dan foto sana-sini agar berkas lengkap dan akuntabel. Berkejaran dengan jadwal-jadwal penagihan, baik pekerjaan maupun pembayaran, dan koordinasi sana-sini untuk output yang sudah diperjanjikan membuat waktu berjalan serasa lebih cepat.

Sungguh kesibukan yang membuat lelah, padat, dan penat.

Ujian Sesungguhnya

Setelah melalui ujian untuk memulai pembangunan dan merealisasikan pembangunan, ujian sesungguhnya adalah ketika pada akhirnya tiba pada tahapan pertanggungjawaban.

Setelah sebelumnya melalui tahapan termonitor dan terevaluasi oleh berbagai pihak internal pemerintahan, para pelaksana pembangunan terutama para pengelola sumber daya pembangunan dihadapkan pada satu ujian yang sesungguhnya dari para pemeriksa eksternal.

Para pemeriksa yang selain memiliki kompetensi di atas rata-rata sebagai bagian dari lembaga tinggi negara yang menjalankan amanat undang-undang, juga memiliki objektivitas dan integritas yang tinggi.

Objektivitas yang muncul dari kedudukan dan sumber dayanya tidak terpengaruh dan dipengaruhi oleh kedudukan pemerintahan.
Para pemeriksa yang menjalankan tugasnya dalam tiga dimensi jenis pemeriksaan -pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu- yang dalam lingkup objektivitasnya tidak dapat dibatasi kapan waktunya bekerja.

Semua orang harus siap dan bersiap dalam pemeriksaan yang secara alamiah melelahkan bagi semua pihak, terutama bagi yang terperiksa tentunya. Pemeriksaan ini tidak hanya mensyaratkan kelengkapan bukti dokumentasi formal, tetapi juga mengevaluasi output dan dampak pembangunan yang dihasilkan.

Bukti dokumentasi menjadi keharusan meski tidak lagi cukup. Teknik pemeriksaan terus berkembang jauh, tidak hanya memeriksa yang tertulis, tetapi juga yang mengkonfirmasi silang ke sana sini dalam analisis-analisis kritis, dengan pendekatan tradisional sampai dengan digitalisasi.

Bagi para pengelola anggaran dan bagian-bagian yang terkait dengan pencatatan dan pelaporan keuangan, khususnya bagi yang memiliki alokasi anggaran yang melimpah ruah, ini menjadi tantangan yang sesungguhnya.

Untuk kepentingan pertanggungjawaban yang mahapenting bagi seluruh masyarakat, awal pemeriksaan sering berhimpit dengan waktu mulainya tahapan realisasi pembangunan.

Para pelaksana yang biasanya tidak terganti dengan demikian akan menghadapi dua ‘ujian’ sekaligus – pelaksanan anggaran tahun berjalan dan pemeriksaan atas pelaksanaan anggaran tahun lalu- dalam satu waktu!

Bila sudah seperti ini, mereka, para pahlawan keluarga itu, selain bagian dari motor pembangunan, biasanya sudah sering susah beristirahat.

Ini adalah dua ujian yang harus dilakukan dengan sama baiknya, sama konsentrasinya, karena tidak hanya berpengaruh pada kinerja organisasinya, tetapi dapat pula menjangkau pada kinerja individu.

Irama siklus ini terbentuk dari peraturan-peraturan yang mereka juga mungkin belum tentu mengerti, tetapi harus diikuti.

Rangkaian kerumitan ini ialah suatu rangkaian pekerjaan yang datang silih berganti yang membutuhkan energi dan konsentrasi.

Demikian rapatnya ‘jadwal ujian’ tersebut memunculkan satu hipotesa bahwa rendahnya realisasi penyerapan anggaran pada awal-awal tahun anggaran, sebagai salah satu indikator mulai berjalannya pembangunan, sedikit banyak disebabkan karena terkonsentrasinya energi dan pikiran para pelaksana kegiatan untuk mempersiapkan diri menghadapi ‘ujian’ dari para pemeriksa.

Bagaimana mungkin berkonsentrasi untuk memulai pekerjaan bila harus dihadapkan untuk berkonsentrasi mempertanggungjawabkan pekerjaan yang lalu. Kira-kira begitu.

Penutup

Mengelola negara itu lelah dan itu mungkin tak terbantah. Mengelola negara itu susah namun tidak harus membuat lemah. Perbaikan pengelolaan harus terus dilakukan karena manusia sebagai bagian dari birokrasi sebagai pelaksana pembangunan tetaplah mempunyai batasan-batasan.

Karakteristik bangsa secara umum, kondisi dan potensi yang ada tentunya dapat dijadikan pertimbangan bahwa ada batas-batas pelaksanaan tugas dari sisi waktu dan bagaimana mengelolanya.

Berita meninggalnya seorang karyawati di Jepang beberapa waktu lalu karena terlalu keras bekerja dan banyak kisah tragis tidak berhasil terbangunnya keluarga yang harmonis dari warung-warung kopi cukuplah menjadi pengingat.

Bahkan, beberapa waktu belakangan ini kembali mengemuka berita gugurnya para pahlawan pesta tertinggi di negeri ini karena ditengarai terlalu lelah bekerja, menjadi pengingat yang nyata bahwa ada batas-batas kemampuan fisik manusia.

Meskipun birokrasi kita masih diliputi stigma bermalas-malasan, tidak optimal dan maksimal dalam bekerja, tetapi tidak menutupi fakta bahwa sebagian birokrat lainnya berada dalam tekanan tinggi saat menunaikan kewajibannya. Inilah sebuah ironi pengelolaan sumber daya manusia dalam birokrasi yang perlu kita renungkan.

Mengelola pembangunan itu memang melelahkan. Namun, bukankah tiada tantangan yang tak terkalahkan, kecuali memang atas kehendak Tuhan?

Paling tidak masih ada yang namanya harapan untuk disandangkan, untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Pada akhirnya, hidup adalah ujian, dan bukankah ujian itu harus kita kerjakan?

 

Jakarta, di akhir penantian perjuangan si merah yang masih belum berujung, Mei 2019
Y.N.W.A (red: You’ll Never Walk Alone)

Terima kasih buat mas Yudis yang menginspirasi!

 

 

 

4
0
HW ◆ Professional Writer

HW ◆ Professional Writer

Author

1 Comment

  1. Avatar

    Panutan qu…

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post