Tumpang Tindih Pengelolaan dan Pelayanan Perbatasan Negara

by Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer | Mar 22, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien, Birokrasi Melayani | 0 comments

Dalam birokrasi, seolah-olah sudah lumrah jika terdapat tumpang tindih kewenangan dan urusan pelayanan. Bahkan, seringkali terjadi konflik kepentingan antarlembaga. Untuk satu urusan pelayanan masyarakat saja, bisa berlapis-lapis pemegang kewenangannya.

Tak heran jika kemudian muncul pernyataan yang dimaklumi tentang pelayanan publik oleh birokrasi, “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah”. Pemakluman inilah yang menjadi salah satu dari (mungkin) ribuan tantangan lainnya agar birokrasi di negara kita menghasilkan output yang lebih efektif dan efesien.

Dalam tulisan ini, penulis mengulas secara singkat tentang yang terjadi pada pengelolaan perbatasan, khususnya perbatasan ‘khayal’ internasional.

Definisi Perbatasan Negara

Perbatasan di sini dapat diartikan garis batas suatu negara yang berdaulat terhadap negara lain yang menunjukkan wilayah tersebut merupakan ujung dari kekuasaan dari pemerintah dari negara yang berdaulat tersebut.

Perbatasan sebuah negara bisa dibagi menjadi dua yaitu: perbatasan nyata dan perbatasan khayal. Perbatasan nyata meliputi batas terakhir dari daratan, laut, dan udara sebuah negara yang langsung berhadapan dengan wilayah negara lain.

Pengaturan terhadap perbatasan ini bisa diatur oleh kesepakatan bilateral dari negara yang mempunyai kepentingan terhadap wilayah tersebut maupun diatur oleh hukum internasional yang mengikat pihak pihak yang memiliki kepentingan ini.

Selanjutnya, ada perbatasan yang dinamakan perbatasan khayal (imaginary border). Tentu bukan khayal dalam artian mengkhayal seperti yang dilakukan orang pada umumnya, melainkan perbatasan tersebut merupakan sebuah tempat atau lokasi yang disepakati menjadi perbatasan (border) walau masih berada di wilayah negara yang bersangkutan dan masih jauh dari perbatasan wilayah negara yang sebenarnya.

Perbatasan seperti ini biasa kita sebut sebagai Pelabuhan Internasional. Jika sarana yang berlabuh dengan membawa orang atau barang dari dan ke luar negeri merupakan pesawat terbang, maka pelabuhan ini disebut pelabuhan udara (bandara), bandara internasional.

Menjaga Perbatasan, Mewujudkan Kedaulatan

Negara yang berdaulat memiliki kepentingan dan bahkan keharusan untuk menjaga setiap wilayahnya hingga batas dengan wilayah negara lain sebagai wujud dari sebuah kedaulatan itu sendiri.

Menjaga perbatasan ini bisa berupa menempatkan petugas, monumen, atau bangunan lain yang bisa merepresentasikan wilayah tersebut merupakan bagian dari kekuasaan negara yang berdaulat. Bisa juga jika dalam kondisi tertentu mengerahkan militer untuk menjaga dan mempertahankan wilayah tersebut.

Kita seringkali melihat berita beberapa negara berkonflik mengenai perbatasan mereka dengan negara lain yang tidak jarang sampai mengerahkan operasi militer untuk “sekadar” mempertahankan wilayah. Namun, saya disini tidak sedang ingin membahas tentang konflik tersebut.

Di era globalisasi sekarang, mobilitas manusia maupun barang menjadi tidak relevan lagi untuk dibatasi. Seseorang yang memiliki mobilitas tinggi sering kali mengunjungi beberapa tempat di beberapa negara yang berbeda karena kecanggihan alat mobilitas yaitu transportasi saat ini.

Mobilitas orang dan barang inilah yang membuat semua negara sepakat pergerakan dan perpindahan manusia dan barang dari satu negara ke negara lain perlu diatur. Seringkali mobilitas yang tinggi membawa risiko yang tinggi juga terhadap suatu negara, seperti penyebaran penyakit, tindakan kriminal, dan lain sebagainya.

Hal ini yang memicu semua negara sepakat untuk mengatur perpindahan tersebut melalui perbatasannya. Pergerakan orang dan barang ini bisa diartikan dengan migrasi atau imigrasi. Imigrasi adalah “hal Ikhwal lalu lintas orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia  serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara” (UU No. 6 Tahun 2011).

Tumpang Tindih pada Pengelolaan Perbatasan

Tumpang tindih dalam pengelolaan perbatasan sudah berlangsung lama di Indonesia. Bayangkan, untuk hanya mengelola perbatasan udara (Bandar Udara) saja setidaknya ada 5 Lembaga yang ‘bekerja’ dengan aturan internal masing-masing.

Lembaga-lembaga tersebut menangani CIQS (custom, immigration, quarantine, security) atau bisa diartikan sebagai kepabeanan, keimigrasian, karantina pelabuhan, dan keamanan pelabuhan.

Kelima stakeholder ini dibawahi oleh 5 lembaga setingkat kementerian yang berbeda-beda, di mana masing-masing memiliki aturan perundang-undangan sendiri dan turunannya. Seringkali, terjadi tumpang tindih aturan yang kerap menjadi celah pelanggaran dalam penegakan hukum.

Mari ambil contoh dalam operasional sebuah Bandar Udara (bandara) internasional. Bandara itu sendiri dioperasikan oleh Angkasa Pura yang dibawahi langsung oleh Kementerian Perhubungan. Seluruh kendali kegiatan penerbangan pastinya langsung di bawah komando Kementerian Perhubungan.

Selanjutnya, kegiatan pelayanan perlintasan orang masuk dan keluar wilayah Indonesia dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, yang notabene dibawah Kementerian Hukum dan HAM. Di sisi lain, kegiatan pengawasan barang masuk dan keluar dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan.

Adapun urusan Karantina Pelabuhan ada di bawah Kementerian Pertanian dan Kantor Kesehatan Pelabuhan Bandara di bawah operasional dari Kementerian Kesehatan. Kelima lembaga ini belum termasuk kepolisian bandara dan otoritas kemananan lain (termasuk militer) dalam rangka penjagaan objek vital.

Anehnya, keseluruhan stakeholder ini memiliki kewenanangan masing-masing sesuai tugas dan fungsinya yang seringkali bersinggungan dengan yang lain. Kewenanangan ini sering kali berakhir dengan benturan kewenangan yang kerap merugikan proses pelayanan itu sendiri.

Benturan Kepentingan dan Lemahnya Sinergi

Adu otot sering terjadi karena masing-masing lembaga merasa memiliki kewenangan yang dijamin oleh undang-undang. Ini bisa merugikan banyak pihak termasuk masyarakat yang menjadi  objek pelayanan dan penegakkan hukum.

Sebuah contoh, Bea dan Cukai di Bandar Udara hampir memiliki wewenang yang sama dengan Imigrasi. Batas kewenangannya sedemikian tipis, hanya dengan perbedaan jika Bea dan Cukai itu mengurusi permasalahan terkait perlintasan barang dan sedangkan Imigrasi mengurusi segala hal terkait perlintasan orang.

Sekilas kewenangan tersebut terlihat jelas, namun praktiknya seringkali terjadi benturan kewenangan dan kepentingan yang bisa menyebabkan ambiguitas dalam melakukan tindakan hukum. Masing-masing instansi menunjukkan kuasanya yang berakibat proses pelayanan dan penegakan hukum tersebut menjadi terhambat.

Benturan kepentingan seharusnya sudah mulai menjadi perhatian serius bagi para pemangku kepentingan dan kebijakan. Khususnya bagi stakeholder pelayan perbatasan, saatnya mulai mengurangi ego sektoral dan mulai meningkatkan sinergitas.

Epilog: Saatnya Mulai, Membangkitkan Kepercayaan Publik

Walaupun sulit dan akan menyita banyak waktu, sebaiknya instansi yang mengurusi masalah perbatasan ini harus mulai berbenah meskipun tidak memungkinkan berada dalam satu payung hukum dan dikendalikan oleh satu instansi.

Hal ini penting agar perlahan-lahan ego yang dapat melunturkan sikap profesionalitas para petugas ini terkikis. Lebih lanjut, menghapus benturan kepentingan ini dapat berdampak langsung kepada masyarakat yang menerima manfaat dari pelayanan perbatasan yang tampak sudah mulai jenuh pada inkompetensi dan inefesiensi pelayanan publik pada semua bidang.

Menumbuhkan sikap public oriented pada segala macam pelayanan publik maupun penegakan hukum dapat perlahan membangkitkan kepercayaan publik yang berdampak langsung kepada kepatuhan membayar pajak.

Tak terkecuali pada pelayanan di Bandar Udara, menghilangkan ego sektoral ini sebaiknya perlahan ditumbuhkan demi penegakan kedaulatan negara, sebagaimana sering digaungkan pada jargon masing-masing instansi tersebut.

Pertanyaanya adalah, dari sebanyak itu stakeholder bandar udara, adakah yang bersedia memulai menghilangkan ego yang menjadi darah daging dan sarat dengan feodal tersebut demi publik?

Hmhm.

0
0
Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post