Tujuh Rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan, Sebuah Upaya Meningkatkan Layanan Kesehatan di Daerah

by Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer | Sep 7, 2019 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Ada beberapa jenis layanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang tidak boleh berhenti sama sekali. Di antaranya adalah layanan kesehatan, layanan keamanan, dan layanan lalu lintas.

Layanan kesehatan disediakan oleh beberapa bentuk fasilitas kesehatan, antara lain rumah sakit umum (RSU) pemerintah/swasta, klinik, Puskesmas, bidan desa, dan praktik dokter/bidan. Dalam hal ini, layanan kesehatan baik yang dikelola pemerintah maupun swasta wajib bekerja sama dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Puskesmas dan bidan desa beroperasi di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Daerah. Sedangkan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) berdiri sendiri. Namun, kedua kelompok fasilitas kesehatan ini tetap beroperasi di bawah Pemerintah Daerah.

Meskipun secara tata kelola organisasi berada dalam hirarki pemerintah daerah, tetapi secara teknis Dinas Kesehatan dan RSUD juga berada dalam rentang koordinasi Kementerian Kesehatan.

Kementerian ini memiliki tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan perumusan kebijakan kesehatan masyarakat, koordinasi dan dukungan ke seluruh organisasi kesehatan, manajemen peralatan kesehatan, penelitian dan pengembangan, pengembangan dan pengelolaan tenaga kesehatan, supervisi dan pengawasan serta dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan.

Sayangnya, sejak dimulainya era otonomi daerah rentang kendali dan tingkat koordinasi antara Kementerin Kesehatan dengan Dinas Kesehatan serta RSUD mulai melemah. Kementerian Kesehatan tidak lagi punya struktur vertikal di daerah.

Dalam hal pembiayaan, RSUD dan Puskesmas dibiayai oleh pemerintah daerah. Meskipun, masih ada alokasi dari pemerintah pusat misalnya berupa dana alokasi khusus (DAK) yang tingkat kebutuhannya belum tentu sesuai dengan skala prioritas yang sesungguhnya dibutuhkan di lapangan.

Hal ini bisa kita lihat dengan maraknya pergerakan masyarakat untuk melakukan pengobatan ke rumah sakit di perkotaan, terutama di fasilitas kesehatan swasta, untuk menyembuhkan beberapa penyakit tertentu yang tidak dapat difasilitasi di daerahnya.

Fakta ini tentu tidak sejalan dengan semangat efektifitas dan efisiensi atas pelayanan publik karena sebagian di antara mereka adalah masyarakat tidak mampu, golongan yang seharusnya bisa menuntaskan perobatannya di layanan kesehatan terdekat di daerahnya.

Oleh karena itu, perlu dilakukan optimalisasi layanan kesehatan di daerah dengan dukungan penuh dari Kementerian Kesehatan pada beberapa sektor. Untuk agenda ini, tentu saja dibutuhkan pendanaan sebagai bentuk dukungan. Adapun rekomendasi untuk dukungan ini diuraikan sebagai berikut.

1. Pemerataan jumlah dokter spesialis dan beasiswa

Yang pertama yang harus dilakukan ialah pemerataan jumlah dokter spesialis. Sebagian besar dokter spesialis memilih berkarir di perkotaan, terutama di ibukota provinsi. Di samping daya dukung peralatan, kemudahan promosi karir juga menjadi alasan. Sehingga tidak mengherankan jika ketersediaan dokter spesialis bisa jadi sangat lengkap di perkotaan.

Kontras dengan itu, di RSUD pada berbagai daerah hanya tersedia beberapa orang dokter spesialis. Akibatnya, beberapa jenis penyakit tidak bisa ditangani di RSUD. Keterbatasan spesialisasi dokter dan peralatan yang tersedia menjadi kendala di daerah.

Tentu saja, kesenjangan ini tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi. Harus ada kebijakan dari Kementerian Kesehatan dalam menyelesaikan kesenjangan ini. Jika masalahnya adalah soal kompetensi, Kementerian Kesehatan harus membuat program Beasiswa Dokter Spesialis kepada seluruh RSUD se-Indonesia, untuk melengkapi kebutuhan akan semua jenis dokter spesialis.

Dalam program ini, perlu dilakukan pendataan guna pemerataan keberadaan setiap dokter spesialis di seluruh RSUD. Untuk menghemat biaya maka tempat belajar diupayakan ke perguruan tinggi terdekat saja dari daerah tempat dokter-dokter tersebut berpraktik atau bertugas.

Mengapa demikian? Sebab, penyakit yang diderita masyarakat tidak memandang tempat dan waktu, sehingga pembatasan ketersediaan dokter spesialis berdasarkan kelas RSUD tentu tidak relevan. Semua jenis dokter spesialis harus ada di semua RSUD.

Program ini memang membutuhkan waktu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Setidaknya dibutuhkan 4 sampai 5 tahun. Jika telah terlaksana, maka dalam kurun waktu 5 tahun lagi, semua RSUD akan memiliki semua jenis dokter spesialis.

Masyarakat umum tidak perlu lagi meminta rujukan untuk berobat ke rumah sakit di ibukota provinsi, kecuali pada beberapa penyakit tertentu yang memang harus dilakukan pengobatan di rumah sakit tertentu karena tingkat keparahannya.

Bagaimana dengan kebutuhan dokter spesialis selama menunggu selesai 5 tahun pendidikan? Sambil menunggu, Kementerian Kesehatan sebaiknya menugaskan para dokter spesialis yang telah lebih dahulu menempuh pendidikan dan baru lulus, untuk sementara bertugas di RSUD yang belum memiliki jenis dokter spesialis tertentu.

2. Melengkapi peralatan kesehatan yang dibutuhkan

Hal kedua yang harus dilakukan yaitu melengkapi peralatan kesehatan yang dibutuhkan. Setiap dokter spesialis membutuhkan peralatan tertentu dalam mendukung tugas praktiknya. Untuk itu, Kementerian Kesehatan harus terlebih dahulu melakukan pendataan seluruh alat kesehatan yang ada di seluruh RSUD, melakukan pengecekan tentang kondisi alat kesehatan tersebut, melakukan pemeliharaan apabila masih bisa dipakai dan mensuplai peralatan baru apabila peralatan lama sudah tidak bisa dipakai lagi.

Kita yakin bahwa selama ini telah banyak dilakukan pengadan alat kesehatan di RSUD. Namun, karena kurang pemeliharaan dan kurangnya manajemen asset, banyak alat kesehatan yang tidak berfungsi lagi.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan di samping memberikan bantuan peralatan kesehatan juga harus menyediakan bantuan pemeliharaan alat kesehatan dan manajemen aset. Dalam hal standar, peralatan kesehatan ini juga setidaknya harus bisa memfasilitasi general chek up.

3. Pengembangan Puskesmas menjadi Klinik 24 jam

Hal ketiga yang harus dilakukan ialah pengembangan puskesmas menjadi klinik 24 jam. Sebagai bentuk pelayanan kesehatan yang mulai dibangun di tahun 1969, Puskesmas memang telah didirikan di setiap kecamatan secara bertahap di seluruh Indonesia. Akan tetapi, Puskesmas hanya beroperasi pada jam kerja. Sedangkan kebutuhan akan layanan kesehatan masyarakat tidak mengenal waktu-waktu tertentu setiap harinya.

Padahal, layanan kesehatan mendasar dalam setiap kecamatan sangat tergantung pada puskesmas, terutama yang jauh lokasinya dari ibukota kabupaten. Yang ironis ialah beberapa di antara tenaga medis justru tidak tinggal di kecamatan tersebut. Hal ini sangat membatasi ketersediaan layanan kesehatan masyarakat.

Sedangkan pihak swasta tidak berminat untuk membuka jasa layanan kesehatan di daerah mengingat sulitnya untuk berorientasi profit di daerah. Kini, sudah 50 tahun berlalu sejak pendirian Puskesmas pertama di negeri ini. Sudah waktunya dilakukan pengkajian dan reorientasi layanan kesehatan masyarakat daerah dari orientasi jam kerja menjadi orientasi 24 jam.

Sudah waktunya puskesmas ditingkatkan layanannya menjadi Klinik 24 jam. Sebagai klinik maka pelayanan bisa 24 jam dan melayani rawat inap. Tentu peningkatan Puskesmas menjadi klinik 24 jam ini akan sangat membantu masyarakat yang sakit tidak memandang tempat dan waktu.

Di samping itu, soal pendanaan juga punya cerita. Saat ini dana operasional puskesmas ditopang oleh dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang merupakan bagian dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Sementara, gaji tenaga medis bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

Berdasarkan kondisi yang penulis amati, alokasi BOK harus ditingkatkan jumlahnya. Sebab, ternyata dukungan program BPJS kesehatan masih belum mampu mencukupi kebutuhan puskesmas untuk menyediakan layanan kesehatan yang semakin prima.

4. Penambahan jumlah RSUD

Hal keempat yang harus dilaksanakan adalah penambahan RSUD. Beberapa kabupaten memiliki kondisi geografis yang sangat tidak mendukung adanya RSUD tunggal. Alasannya ialah tentang kondisi geografis daerah tertentu membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai RSUD di ibukota kabupaten dari pedesaan.

Sedangkan, pasien yang dirujuk dari puskesmas ke RSUD bisa saja tidak bisa bertahan apabila waktu tempuh menuju RSUD tidak bisa cepat sampai. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan harus melakukan pemetaan terhadap kondisi geografis menuju RSUD dan keterjangkauannya oleh penduduk. Dari sini dapat diputuskan apakah perlu dibangun RSUD lagi demi meningkatkan pelayanan.

5. Peninjauan ulang otonomi daerah di bidang kesehatan

Hal kelima yang harus dilaksanakan adalah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah di bidang kesehatan. Kita sama-sama menyaksikan betapa seluruh instansi pemerintah daerah larut dalam politisasi termasuk Puskesmas dan RSUD.

Politisasi ini mengorbankan banyak energi, waktu, pikiran, dan anggaran. RSUD dan Puskesmas ternyata ikut-ikutan terkontaminasi oleh kesemrawutan perpolitikan daerah. Belum lagi rotasi dan mutasi jabatan yang seringkali terjadi mendadak pada jabatan puskesmas dan RSUD yang tentunya akan sangat mengganggu pelayanan dan kenyamanan dalam menjalankan roda organisasi RSUD dan puskesmas.

Semakin ironis lagi adanya masalah dengan tingkat kepuasan dalam bekerja dan jenjang karir yang tidak jelas membuat para tenaga medis tidak betah bekerja di puskesmas dan RSUD. Banyak di antara mereka yang berusaha pindah ke perkotaan yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan jenjang karir serta kepuasan dalam bekerja.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan harus melakukan penelitian terpadu tentang baik buruknya otonomi daerah di bidang kesehatan. Saya pribadi menilai lebih baik layanan kesehatan dijadikan terpusat kembali di bawah Kementerian Kesehatan dan membuka struktur vertikal di tingkat provinsi dan kabupaten.

Sedangkan RSUD dan Puskesmas menjadi unit pelaksana teknis (UPT) langsung di bawah Kementerian Kesehatan. Dengan demikian RSUD dan puskesmas bisa dilepaskan dari jeratan politisasi otonomi daerah.

Di samping itu, juga bisa disusun jenjang karir dan pola promosi jabatan yang jelas mulai dari struktur terbawah meniti karir sampai ke pusat. Saya yakin, kepuasan para tenaga medis akan berdampak positif bagi kinerjanya sebagai pelayan masyarakat.

6. Pembentukan layanan kesehatan berorientasi bisnis

Hal keenam yang harus dilaksanakan adalah membentuk layanan kesehatan yang business oriented pada beberapa RSU milik pemerintah yang sudah sangat mapan. Mengapa harus begitu? Sebab tidak semua pasien memakai layanan BPJS.

Sebagian di antara warga negara kita merupakan pasien dari kelas masyarakat yang berkecukupan. RSU milik pemerintah yang sudah mapan ini harus didesain menjadi sebuah instansi yang profit oriented dan kelembagaannya bisa menjadi perseroan terbuka (PT) dengan saham yang dijual ke publik.

RSU jenis ini didesain untuk bisa bersaing dengan RSU swasta yang profit oriented. Bahkan bisa saja RSU jenis ini menanam saham di berbagai bidang usaha kesehatan, termasuk menanam saham di RSU Swasta. Dalam jangka panjang, RSU ini bisa dirubah kelembagaannya menjadi BUMN berkelas nasional dan regional.

7. Modernisasi layanan BPJS

Hal ketujuh yang harus dilaksanakan adalah modernisasi layanan BPJS. Teknologi perbankan sudah sedemikian maju. Di sisi lain, salah satu penyebab terjadinya defisit anggaran BPJS kesehatan adalah banyaknya tunggakan iuran anggota. Tunggakan tersebut bukan semata-mata terjadi karena ketidakpedulian anggota untuk membayar iuran, tetapi sebagian di antaranya karena ketidakpraktisan dalam soal pembayaran.

Mengatasi persoalan ini perlu dibuat sistem autodebet terhadap pembayaran iuran BPJS langsung dari rekening atau kartu kredit yang dimiliki masyarakat non-PNS. Sebagian besar masyarakat sudah memiliki rekening bank dan memakai fasilitas ATM, kartu kredit dan mobile banking.

Sudah saatnya tagihan iuran BPJS dilakukan secara autodebet saja sehingga kendala tunggakan iuran tidak menjadi masalah lagi. Di samping itu perlu dikembangkan layanan transaksi non-tunai dalam transaksi keuangan BPJS, sehingga bisa meminimalisasi penyimpangan keuangan BPJS.

Epilog

Demikian beberapa upaya yang dapat penulis usulkan dalam memaksimalkan layanan kesehatan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Keberhasilan semuanya sangat tergantung dari daya dukung Kementerian Kesehatan dalam membuat program kegiatan berbasis layanan kesehatan daerah.

Sekali lagi yang perlu ditekankan ialah tentang layanan kesehatan yang terjangkau secara jarak dan biaya oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Saya yakin bahwa Negara harus hadir di semua tempat dan waktu. Negara harus hadir dalam menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab atas kesehatan bagi seluruh warganya, tak terkecuali bagi masyarakat daerah.

Rakyat sehat negara kuat.

Salam reformasi.

1
0
Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Rahmad Daulay ★ Distinguished Writer

Author

Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post