Kelas online Pergerakan Birokrat Menulis kali ini mendiskusikan topik mengenai paradigma baru dalam proses perencanaan dan penganggaran di pemerintahan. Topik ini berkaitan dengan dua artikel yang pernah tayang di laman birokratmenulis.org, yaitu “Wawancara Eksklusif dengan Jokowi: Uang Mengikuti Prioritas, Bukan Struktur Organisasi”, dan “Menuju Money Follows Program Melalui Resource Forum: Studi Kasus di Kementerian Keuangan”.
Kelas ini diikuti oleh 25 orang peserta yang berasal dari instansi pemerintah pusat (11 orang), pemerintah daerah (13 orang), dan 1 orang dari swasta. Diskusi yang berlangsung melalui grup Whatsapp ini dipandu oleh Marudut Napitupulu sebagai narasumber dan Lucky Akbar sebagai moderator. Diskusi berlangsung selama dua jam, dimulai pada jam 19.00 dan berakhir pada 21.00.
Beberapa peserta yang memberikan pertanyaan dalam kelas tersebut adalah Sri Palupi, Eko Hery Winarno, Dewi Utari, Andy Wijaya, Aditya Arya, Ivan, Fahmi, Setyo Nugroho, dan Listyono.
Beberapa pertanyaan tersebut secara sistematis dapat dipetakan dalam 3 area diskusi, yaitu: permasalahan tata kelola anggaran saat ini, tantangan money follows program, dan implementasi money follows program.
Berikut adalah ringkasan jalannya diskusi pada kelas online tersebut.
Pengantar Diskusi
Mengelola keuangan negara yang prudent dan akuntabel adalah salah satu misi Kementerian Keuangan untuk mewujudkan visi: “Menjadi Penggerak Utama Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif di abad ke 21”. Agar pengelolaan keuangan negara tersebut dapat dilakukan secara prudent dan akuntabel, tentunya sangat tergantung dari perencanaan dan penganggaran oleh masing-masing kementerian/lembaga (K/L) yang secara keseluruhan diakumulasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), APBN merupakan alat kekuasaan keuangan negara yang digunakan untuk mencapai tujuan bernegara melalui tata kelola terintegrasi manajemen pembangunan yang dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian (evaluasi dan pengawasan), dan pelaporan (pertanggungjawaban).
Saat ini masih banyak ditemui praktek tradisional dalam mengalokasikan anggaran di sektor publik, antara lain: alokasi anggaran yang menggunakan ‘pendekatan incremental (naik perlahan mengikuti inflasi)’, orientasi jangka pendek, serta orientasi ke penyerapan anggaran masa lalu yang diikuti pembengkakan belanja birokrasi. Praktek tersebut sudah tidak sesuai dengan tuntutan akuntabilitas masyarakat yang semakin meningkat.
Di satu sisi, keterbatasan anggaran adalah sebuah keniscayaaan, sementara di sisi lain permintaan kualitas layanan publik meningkat. Kondisi tersebut seharusnya mendorong pemerintah lebih memikirkan prioritas dalam pengalokasian anggaran. Prioritas pemerintah yang menjadi tuntutan publik seyogyanya tercermin dalam alokasi anggaran sebagaimana dimaksud oleh konsep Money Follows Program Priority (MFPP). Tidak cukup lagi hanya ‘membagi-bagi’ anggaran sesuai tugas dan fungsi tanpa memperhatikan strategi atau prioritas utama kepala pemerintahan yang terpilih.
Melalui konsep MFPP, diharapkan tercipta value for money atas belanja negara yang memberikan dampak signifikan kepada masyarakat dengan mengedepankan prioritas, sinergi, dan koordinasi. Sehingga, tumpang tindih anggaran dapat dihindari dan efektivitas anggaran dapat tercapai.
Konsep tersebut secara eksplisit telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam rerangka penyusunan APBN 2017. Namun, sampai saat ini konsep ini belum dapat berjalan secara efektif. Untuk merespon kondisi tersebut, sebagai sebuah komunitas profesional, Birokrat Menulis (BM) mengambil peran untuk memperkaya diskursus perencanaan anggaran yang lebih baik melalui transformasi penerapan MFPP.
Permasalahan Tata Kelola Anggaran Saat Ini
Beberapa permasalahan tata kelola anggaran saat ini, antara lain:
- Perlunya menghapus incrementalism;
- Adanya anggaran rutin yang disusun secara copy paste;
- Anggaran tidak berorientasi output atau outcome;
- Implikasi belanja membesar ke pembiayaan anggaran;
- Tingginya belanja operasional sehingga mendesak fiscal space yang seharusnya untuk kegiatan prioritas;
- Adanya proyek-proyek pesanan, misalnya yang mendukung illegal logging via proyek irigasi;
- Keberadaan organisasi yang menuntut hak atas anggaran;
- APBN Perubahan sebagai tambahan anggaran berarti program follows money; dan
- Masih terjadinya pemotongan anggaran yang berlangsung secara rutin.
Pembahasan:
Dalam praktiknya memang masih ditemukan tata kelola anggaran terutama perencanaan seperti yang telah disebutkan di atas. Ke-9 poin tersebut saling terkait satu sama lain. Saya yakin Bapak Ibu sudah paham tentang incrementalism dan anggaran yang sifatnya berulang-ulang. Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kita sudah mencoba menerapkan penganggaran berbasis kinerja yang berorientasi kepada output dan outcome. Meskipun upaya tersebut masih berproses dengan tingkatan yang berbeda di setiap K/L.
Tingginya belanja operasional pemerintah membuat ruang fiskal untuk program baru sangat terbatas. Belanja gaji, tunjangan, pemeliharaan, dan lain-lain yang sifatnya internal memang sudah sangat tinggi. Dan ini membuat ruang untuk prioritas baru terbatas.
Mengenai proyek pesanan terselebung, ya itu memang memprihatinkan. Telah terjadi sinergi tapi tujuannya memperkaya diri, padahal seharusnya sinergi dilakukan untuk kemajuan daerah. Hal itu sebenarnya tidak boleh terjadi, dan sebaiknya kita bahas lebih lanjut pada diskusi dengan tema lain, misalnya tentang penyimpangan anggaran.
Keberadaan organisasi secara otomatis memerlukan anggaran. Pertanyaannya, anggaran yang mana? Jika sekedar untuk anggaran operasional, maka seharusnya anggaran tersebut dapat dipenuhi selama organisasinya dirasa perlu dan dimandatkan oleh ketentuan peraturan.
Mengenai APBN tambahan, di mana terjadi uang dulu baru program. Tentunya ini mengandung muatan politis dan praktik yang tidak tepat. Tetapi benar-benar terjadi dalam realita.
Pemotongan anggaran apakah bagian dari money follows program priority? Jawabannya adalah tergantung cara memotongnya. Kalau sama rata saya juga tidak setuju. Memotong (cut management) seharusnya dilakukan sama seperti cara mengalokasikan berdasarkan pada prioritas juga.
Sepertinya mulai terbuka pemahaman kita bahwa kebutuhan utamanya adalah ruang fiskal yang terbatas sehingga kita perlu merumuskan perencanaan dan penganggaran yang efektif, namun di satu sisi penyakit birokrasi membayangi.
Tanggapan Sri Palupi: Mengenai latar belakang munculnya pendekatan baru dalam penganggaran yaitu money follows program, tampaknya juga cenderung pragmatis. Kalau tentang kegalauan bapak presiden tentang penggunaan anggaran pemerintah yang dianggap tidak/kurang fokus pada prioritas itu sebenarnya juga sudah menjadi keprihatinan berbagai pihak sejak lama, demikian pula kami yang di daerah.
Jadi sebenarnya yang lebih penting adalah meningkatkan kualitas eksekusi program prioritas ke dalam pengalokasian anggaran. Untuk pemerintah pusat kemungkinan besar seharusnya tidak terlalu menjadi masalah, karena kalau mau pemerintah pusat dapat membentuk kelembagaan yang sesuai dengan prioritas pembangunannya, tidak harus semua dibentuk dalam menjadi kementerian.
Dari hal tersebut kemudian eksekusi program prioritas menjadi lebih fokus karena diawali dengan penyesuaian lembaga yang disesuaikan dengan prioritas. Hal ini yang sedikit berbeda dengan daerah, karena pemerintah daerah tidak dapat membentuk sendiri lembaganya sesuai prioritas pembangunannya, karena memang ada tuntunan bagi daerah dalam membentuk lembaganya.
Pembahasan: Ada beberapa keywords yang saya tangkap, yaitu: pragmatism, fokus memasukkan MFPP dalam teknik alokasi, dan fleksibilitas organisasi di Pemda.
Kalau dibilang pragmatis tidak juga, tergantung perspektif sebenarnya. Saya menyebutnya masalah mendasar yang mau disasar, selain ke-9 yang permasalah di atas, juga lemahnya keterlibatan pimpinan dalam proses perencanaan anggaran yang cenderung mendelegasikan sampai tingkat middle to lower manajerial.
Dengan ‘sentilan’ presiden, para pimpinan lembaga seharusnya melakukan perubahan yang signifikan dalam proses perencanaan dan penganggaran, bukan lagi pragmatism. Namun, memang pada akhirnya pragmatism justru menjadi solusinya.
Saya sepakat latar belakang transformasi ini dapat dipahami dengan baik . Why dan needs sudah dapat kita sepakati. Tinggal how to embed MFPP ke dalam teknik perencanaan anggaran. Biasanya kalau kita sudah sepakat masalah dan needs–nya, maka how to-nya lebih mudah kita sepakati.
Terakhir, mengenai anggapan fleksibilitas organisasi di pusat lebih mudah, mungkin jawabannya adalah relatif. Namun, sebenarnya konsep MFPP tidak serta merta memerlukan adanya organisasi baru. Yang sangat diperlukan adalah cara pandang baru terhadap anggaran yang sangat terbatas.
Cara pandang yang akan memperjelas strateginya, project leadernya, kontribusi stakeholders, dan bagaimana sebaran alokasi anggarannya sehingga tidak duplikasi. Bahkan, beberapa program lebih tepat dikerjakan secara ad hoc (temporer) sampai berakhirnya prioritas. Jadi, tidak melembaga seumur hidup.
Tantangan Money Follows Program Priority
Pembahasan menarik seputar tantangan tersebut adalah: “Tepatkah mengambinghitamkan money follows function?” dan “Skeptisme bahwa follows priority sama dengan follows functions”
Pembahasan:
Ini adalah dua hal yang menurut saya sangat menarik. Beberapa peserta menanyakan dalam bahasa yang skeptik dan pesimis. Mengambinghitamkan money folows function tentunya adalah tidak tepat. Karena konsep money follows function adalah konsep yang berlaku secara international practices.
Melalui government financial statistics, dalam arti luas, memang alokasi anggaran itu harus dilakukan berdasarkan fungsi sehingga bisa dikomparasi antara satu negara dengan yang lain. Misalnya fungsi pendidikan yang disyaratkan 20% dari APBN itu bisa dikomparasi dengan negara lain. Bahkan, komitmen pemerintah ditagih oleh DPR. Tentu hal tersebut sulit dilakukan jika tanpa function based.
Namun demikian, dalam arti sempit ada yang memaknai alokasi anggaran itu berdasarkan tugas dan fungsi. Kalau anggaran yang sifatnya rutin seharusnya diperoleh untuk memenuhi standar pelayanan minimum atau running cost. Tetapi kalau yang sifatnya project tentu harus dilihat dulu sinerginya dengan prioritas yang ada selain cost and benefits dari proposalnya.
Adapun tentang adanya anggapan skeptis terhadap MFPP ini, saya sepakat. Pada tahun 2017 presiden sudah memandatkan, tetapi di lapangan belum terlaksana, terutama di pemda secara umum. Mudah-mudahan skeptis untuk implementasi berbeda dengan skeptis dalam memahami perbedaan konsep follows function vs follows priority.
“Getting the basic rights”, kata Allen Schick, ahli budget US. Artinya, teknik-teknik dasar lah yang harus dipenuhi lebih dulu. Saya sepakat dengan beliau. Tetapi itu kalau berbicara secara nasional. Kalau per K/L dan per daerah, saya melihat ada peluang untuk bisa melakukan lompatan.
Jadi, tidak berurutan dari line item, ke proses oriented, ke output oriented, ke outcome oriented, ke lalu ke priority oriented. Masing-masing organisasi publik berbeda skema kapasitas dan insentifnya, juga lead-nya. Yang mau saya garis bawahi adalah pemahaman atas konsepnya dulu. Bahwa priority driven itu adalah sesuatu yang mungkin untuk diimplementasikan.
Tanggapan Dewi Utari: Menurut saya, tantangan MFPP di daerah sangat kompleks. Justru seringkali program prioritas terdesak oleh belanja rutin dan janji kontrak politik. Di mana-mana organisasi perangkat daerah (OPD) mengajukan tambahan tenaga harian lepas (THL), juga belanja hibah yang membengkak akibat dari konsekuensi janji politik yang harus dipenuhi. Kami dalam pembahasan anggaran sering merasa putus asa akan hal ini.
Pembahasan: Kalau kita jeli dan jernih melihat apa yang Ibu Dewi jelaskan dan terjadi di daerah Ibu justru MFPP itu sudah jalan. Baik secara konsep maupun praktek!
Sayangnya, “project” yang dilakukan itu bukanlah dalam konteks tata kelola anggaran yang baik, yang sustain, yang memenuhi rasa keadilan, apalagi yang efektif, efisien, dan sebagainya.
Janji kampanye pimpinan daerah mencerminkan prioritas. Misalnya memberikan bantuan sosial atau menaikkannya. Semudah itulah konsep MFPP. Coba dibayangkan kalau janji kampanyenya adalah mendukung sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur daerah, lalu itu benar-benar dilakukan, perencanaan dan penganggarannya akan sangat membingungkan. Jadi, konsep MFPP itu sangat tergantung pada definisi “priority“. Siapa yang membuat dan siapa yang memutuskan.
Tanggapan Setyo Nugroho: Ternyata hulunya adalah komitmen pimpinan, baik menteri, pimpinan lembaga dan kepala daerah. Tinggal apakah nawaitu-nya memang ingin memprioritas program yang mendukung skala program prioritas nasional atau tidak.
Menurut saya, untuk mengatasi keputusasaan teman-teman di daerah bisa diantisipasi dengan proses quality assurance penetapan anggaran. Nah ini ‘pekerjaan rumha’-nya. Apakah internal auditor independen sekaligus kompeten?
Pembahasan: Konsep utama dari priority driven budget itu sendiri adalah kekuatannya di aspek leadership. Secara Undang-Undang, elected leader punya hak menyusun strategi, plan, dan budget. Itu adalah privelege pimpinan terpilih.
Lalu tentang Nawacita, itu adalah program presiden terpilih. Namun, jangan berasumsi bahwa itu disusun oleh presiden seorang diri. Kalau saja kita tahu, masing-masing kandidat sudah punya think thank dalam tim masing-masing.
Namun, itu adalah kebijakan untuk level nasional dan membuat beberapa daerah terdampak langsung. Ambil contoh tentang destinasi wisata, pasti daerah terdampak yang merasakan manfaatnya. Pertanyaannya, apakah itu prioritas daerah? Harusnya di forum musrenbang itu disinkronkan.
Selanjutnya tentang quality assurance, saya sepakat. Mungkin di sini terdapat irisan dengan pendekatan energi positifnya Simmons (merujuk pada materi kelas online sebelumnya tentang keseimbangan pengendalian strategis).
APIP bersama Bappeda dituntut bisa berperan dalam memberikan arah dan masukan ke pimpinan terpilih. Sebenarnya, checks balance yang paling kuat adalah di DPRD dan para lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sebagai bahan pembelajaran, dalam proses perencanaan, di kementerian keuangan terdapat sebuah forum yang dinamakan resource forum. Forum ini juga dapat berfungsi sebagai quality assurance.
Tanggapan Ardeno Kurniawan: Bagaimana sebaiknya peranan APIP dalam mengawal anggaran agar ideal?
Pembahasan: Peran APIP dalam penyusunan anggaran tentunya sudah diatur dalam petunjuk penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Pembahasannya hampir sama dengan pembahsan sebelumnya, tentang peran BPKP dalam penentuan rencana kerja pemerintah. Saya sepakat APIP bisa memberikan peran yang sangat komprehensif.
Seperti contoh, di kementerain keuangan kita melibatkan APIP dalam tahap pembahasan alokasi anggaran di resource forum, selain tentu saja para pemilik resources yang lainnya.
Implementasi Money Follows Program Priority
Beberapa pertanyaan terkait implementasi MFPP adalah:
- Bagaimana dengan anggaran program rutin?
- Apakah hanya stressing saja ke priority?
- Apakah hanya untuk lintas sektoral?
- Bagaimana dengan MFPP untuk pemda?
- MFP hanya mendorong koordinasi dan sinkronisasi saja, namun masih ada tumpang tindih tugas dan fungsi?
- Apakah MFPP hanya untuk program nasional saja?
- Pemotongan anggaran itu apakah MFPP juga?
- Bagaimana dengan struktur yang menganggur karena tidak prioritas (usulan menghapus struktur eselon IV)?
Adapun pertanyaan mengenai peran dan mindset dalam MFPP adalah:
- Siapa koordinator dan bagaimana prioritas ditetapkan?
- Siapa yang menilai prioritas dan bagaimana ditetapkan?
- Adakah monitoring dan evaluasi dari Bappenas?
- Bagaimana peran dari Kementerian Keuangan?
- Bagaimana kendali Kemenkeu dan Bappenas?
- Apakah fungsi menteri koordinator perlu diefektifkan?
- Bagaimana peran Bappeda?
- Bagaimana komitmen atasan untuk konsisten MFPP?
- Bagaimana mengubah mindset dari fungsi ke priority?
Pembahasan:
Masuk ke pembahasan area ini saya harus memberikan disclaimer bahwa ini murni pendapat saya pribadi, sebagai praktisi dan akademis yang mendalami strategic driven budget. Pendapat saya bukan mewakili institusi. Karenanya sangat terbuka untuk didebat. Mudah-mudahan menambah referensi para peserta saja. Sesi ini intinya adalah so what is it and who is doing what.
Pertama, kita eksplor yang ‘what’. Apakah MFPP ini hanya sekedar untuk lintas sektoral saja atau di kementerian saja? Bagaimana dengan di daerah? Menurut saya MFPP tidak hanya untuk lintas sektoral saja.
Bahkan bisa diterapkan di pemda atau organisasi Bapak Ibu sendiri. Mulai dari level antardinas, antarbagian, sampai antarpelaksana. Jadi menghilangkan sekat organisasi dalam mengalokasikan anggarannya serta eksekusinya. Misalnya pemda-pemda sekawasan dapat membuat project bersama yang tentunya dengan kemampuan anggaran masing-masing.
Hanya stressing ke priority saja? Pada kenyataannya tidak ada priority yang hanya merujuk pada kegiatan satu bidang. Jika demikian yang terjadi, maka justru diragukan priority-nya. Mesti ada yang lebih priority dari sekedar project yang dipimpin satu kepala bidang, jadi sifatnya lebih komprehensif. Dalam teori akademis dan praktek di negara maju disebut Whole-Of-Government Approach.
Apakah akan ada struktur yang menganggur? Jawabannya adalah bisa ya bisa tidak. Jika sudah tidak diperlukan atau sudah dianggap off-track dengan strategy, harusnya bisa dikurangi jumlah pegawainya, kemudian diarahkan ke fokus prioritas. Jangan hanya melihat anggaran sebagai sumber daya, SDM juga sumber daya yang luar biasa.
Menghapus struktur? saya tanya ke teman yang menangani organisasi bahwa pembentukan organisasi sampail level eselon IV di K/L memerlukan persetujuan (clearance) dari MenPAN/RB. Masalah ini sungguh menyita waktu, harusnya bisa didelegasikan ke kementerian masing-masing.
Organisasi dan SDM adalah sumber daya yang perlu agilitas kelincahan dalam bentuknya untuk menjawab tantangan dan dinamika tuntutan publik. Bagaimana nasib pegawainya? Nah ini yang harus dipikirkan. Dalam reform budget, keuangan perlu sinergi dengan reform tata kelola yang lain.
Peran regulator (Bappenas dan Kemenkeu) tentunya sangat sentral. Karena dua K/L ini menerjemahkan Nawacita ke dalam dokumen rencana kerja dan anggaran pemerintah.
Selain melakukan allignment di tingkat nasional (rakorbangpus dan musrenbangnas), mereka juga melakukan monitoring dan evaluasi (monev) baik online maupun on site. Peran monitoring juga dilakukan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, BPKP, dan juga MenPAN/RB.
Namun demikian, masih terdapat perbedaan interpretasi atas apa itu kinerja. Juga apa yang menjadi prioritas. Indikasinya, yang di-monev terlalu banyak. Priority by definition adalah fokus dan diskriminatif. Kalau semua VIP, it means no VIP.
Lastly, pertanyaan tersulit dan memang butuh perenungan. Siapa yang menjadi koordinatornya? Siapa Project Management Unit suatu prioritas? Apakah pemilik tugas dan fungsi utama, atau sesuka hati pimpinan tertinggi untuk memilih? Yang terakhir ini tidak saya jawab. Working ideas buat peserta!
Tanggapan Andy Wijaya: Sejauh mana fungsi Bappenas sebagai resource allocator? Apakah dengan adanya MFPP ini, ada proses/urutan perencanaan penganggaran (yang sudah berlaku saat ini) yang diubah?
Pembahasan: Melalui PP 17/2017 telah dimandatkan sinergi antara Bappenas dan Kemenkeu. Bappenas sebagai resources allocator belum mendapat “peran utama” karena tidak sesuai mandat UU 17/2003. Meskipun secara organisasi dibawah langsung presiden, tetapi peran Bappenas belum seperti Office of Management dan Budget (OMB).
Dalam OMB tersebut, di Amerika, melekat di kantor presiden dan very powerful untuk level federal, membagi uang serta menderegulasi (memotong anggaran). Tapi, tools-tools-nya juga very powerful. Apakah ada probis yang berubah? sepengamatan dan pengalaman saya ada.
Sekarang prioritas mulai dibahas lintas K/L, juga spasial artinya fokus ke lokasi. Namun demikian penentuan prioritasnya masih belum tajam. Kadang terlalu luas dan menjauh dari sifat projects. Jadi, kalau ditanya ada perubahan, jawabnya memang ada. Perubahan tersebut terus berproses.
Tanggapan Bergman Siahaan: Topik ini sungguh luas dan kompleks menurut saya, tetapi coba saya persempit dan dari sisi OPD pemda.
Kalau melihat prioritas nasional yang disepakati dalam RKP 2018, terlihat sudah mencakup semua urusan. Jadi tidak perlu dipusingkan lagi oleh OPD (semua bidang bisa dikaitkan).
Banyak fungsi (setidaknya di daerah) yang tidak melulu kegiatan rutin untuk pelayanan publik. Jika hanya harus based on priority maka akan ada seksi atau bidang yang tidak perlu diberi anggaran (project). Bagaimana dengan sasaran kinerja pegawainya? Oleh karena itu, struktur pun harus dikaji ulang berdasarkan prioritas dan ini berat. Berat, karena menyangkut DPRD bahkan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan struktur.
Mengenai penganggaran yang cenderung “suka-suka” oleh OPD, menurut saya memang harus dikendalikan oleh Bappeda melalui musrenbang. Nah, hal ini lagi-lagi tentang subyektif dan lobby karena tidak ada garis-garis baku untuk mencoret atau mengurangi anggaran yang diusulkan.
Pembahasan: Kadang kala kita fokus mengevaluasi belanja project, padahal di belanja rutin juga bisa jadi banyak ‘lemak’ untuk mendapatkan ruang fiscal. Jadi pendekatan priority driven budget perlu dilihat secara komprehensif. Sebagai contoh, implementasi teknologi IT besar-besaran harusnya bisa membuat organisasi lebih slim. Karena beberapa fungsi layanan publik dan back office bisa diotomasi.
Penutup
Secara konsep MFPP adalah ide yang terbuka untuk dikontestasi, dikritisi, dan dikembangkan. Berbagai tantangan dalam implementasinya perlu menjadi bahan antisipasi sekaligus pembelajaran menuju tercapainya pelayanan publik yang memang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bagaimana dengan keberadaan base line anggaran kementerian lembaga? Dugaan saya, masalah sebenarnya adalah keberadaan base line anggaran K/L yang tidak dievaluasi. Semestinya apabila ada pergantian RPJMN, base line anggaran K/L harusnya juga diubah menyesuaikan dengan prioritas2 baru yg ada dalam RPJMN baru. Dengan demikian money follow program prioritas di pemerintah pusat khususnya dapat berjalan. Base line anggaran K/L itu bisa menjadi ganjalan MFPP kalau tidak ada evaluasi, terutama utk program2 prioritas yg eksekusinya harus terpadu antara beberapa kementerian.
Kalau tentang kecenderungan pelimpahan tanggungjawab penyusunan rencana program dan kegiatan dari pimpinan ke staf saya kira itu bukan masalah mendasar dari penerapan MFPP, akan bisa lebih cepat diperbaiki dengan diklat atau bintek ataupun penegasan penugasan saja. Sepanjang masalah intinya yaitu kebijakan makro penerapan MFPP itu sudah diperbaiki ttg yg lainnya lebih mudah disesuaikan.
Berikut kami sampaikan jawaban dari narasumber diskusi (Marudut Napitupulu):
Hi Mbak Palupi
Great questions
Banyak key konsep yang Mbak highlights.
Terkait baseline, review-base line alignment dgn priority, keterlibatan pimpinan serta aspek makro penerapan Money Follows Program.
Pertama, terkait baseline anggaran tentunya masih ada ruang perbaikan. Misalnya masih ada kesalahan persepsi bahwa baseline atau angka dasar merupakan belanja operasional atau biaya rutin menjalankan aktivitas suatu kantor. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, memang operasional adalah elemen dari angka dasar. Tetapi, proyeksi baseline juga mencakup perkiraan anggaran tiga tahun mendatang jika kebijakan pada tahun anggaran disetujui tetap berlanjut. Contohnya, pada suatu dinas kesehatan selain anggaran operasional, dinas bersangkutan juga perlu menghitung proyeksi jika program bantuan alat-alat kesehatan dan sosialisasi kesehatan dilakukan bertahap sampai dengan periode 5 tahun misalnya. (Biasanya periode adalah kesepakatan eksekutif dan legislatif) dengan demikian terlihat berapa proyeksi belanja secara utuh untuk 3 periode yang akan datang tanpa adanya inisiatif kebijakan baru.
Kedua, apakah otomotis baseline ini disetujui? Di area inilah kekuatan Money Follows Program Priority. Ketidakhadiran Priority and Strategic Forum yang dihadiri Pimpinan organisasi mengakibatkan baseline bergulir tanpa intervensi, tanpa evaluasi, tanpa redefinisi. Ruang fiskal yang seharusnya bisa diperoleh dari evaluasi baseline menjadi nol. Evaluasi atas efektivitas program/kegiatan/project yang berjalan dilakukan secara autopilot, diserahkan ke level eselon terendah sehingga menjadi ewuh pakeuh, formality dan aksesoris. Akhirnya setiap organisasi mendapat “olesan selai” dengan memperhitungkan realisasi anggaran sebelumnya, bukan sinergy dengan prioritas organisasi. Oleh karenanya Jokowi mengulang-ulang perlunya keterlibatan langsung Pimpinan K/L dalam membedah/mengeksplore/mereview/memutuskan setiap rupiah anggaran organisasi masing-masing, terutama area strategis.
Ketiga, saya sepakat perlunya Makro-aspek MFPP dibenahi terlebih dahulu. Selain penetapan Prioritas Nasional, disiplin fiskal juga perlu dibenahi terutama kredibilitas proyeksi anggaran. Kemenkeu dan Bappenas (serta Kemendagri untuk Pemda) sebagai budget guardian harus lebih berani memotong/merealokasi/menghentikan anggaran-anggaran baik K/L yang tidak in-line dengan strategy Pemerintah.
Dengan menjaga tata kelola keuangan publik dengan efisien, efektif dan akuntabel -lah akan tercipta kepercayaan publik kepada Pemerintah, khususnya kepercayaan dari pada pembayar Pajak.
Demikian mudah2an penjelasan saya bermanfaat.