Transfer Fiskal Berbasis Ekologi: Solusi Mengatasi Ketimpangan Antardaerah

by | Aug 27, 2021 | Birokrasi Berdaya | 2 comments

Sebuah negara yang kaya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati cenderung lebih tertinggal ekonominya daripada negara yang miskin sumber daya alamnya. Demikian kesimpulan dari berbagai pustaka yang akhir-akhir ini saya baca. Saya pun dapat dengan mudah melihat bukti ketimpangan ekonomi ini di berbagai lingkup.

Secara global, negara-negara di belahan utara seperti di Eropa dan Amerika Utara (Canada dan Amerika Serikat) terlihat lebih maju ekonominya daripada negara-negara di belahan dunia selatan seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Selatan.

Di skala regional, ASEAN misalnya, negara-negara jasa seperti Singapura dan Brunei cenderung lebih modern daripada negara agraris seperti Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Pada level nasional pembangunan di pulau Jawa dan luar Jawa sudah lama dirasa timpang. Bahkan di skala lokal, Provinsi Jawa Barat (Jabar) misalnya, wilayah utara seperti Bogor, Depok, Bekasi dan karawang terlihat lebih metropolis dibanding Jabar Selatan seperti Garut, Tasik, Ciamis, dan Pangandaran.

Ketimpangan inilah yang mungkin menjadi latar belakang lahirnya pilar ke-10 pembangunan ekonomi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals / SDGs) yaitu mengurangi kesenjangan pembangunan dan ekonomi. Adapun upaya mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah di Indonesia dilaksanakan dengan kebijakan otonomi daerah.

Otonomi Daerah dan Transfer Fiskal

Saat ini dasar hukum terbaru yang digunakan adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan kedua dasar hukum inilah dikembangkan alokasi dana transfer pusat ke daerah menggunakan berbagai formula dan mekanisme yang disepakati.

Sistem desentralisasi fiskal tersebut merupakan wujud dari money follow function, yaitu pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal belanja pemerintah dan penerimaan negara (expenditure assignment, revenue assignment).

Sistem ini melahirkan skema transfer dana perimbangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Mekanisme dana transfer juga diberikan oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Dana Bagi Hasil Pajak Daerah dan Bantuan Keuangan.

Namun demikian, karakteristik wilayah tetap menjadi pembeda percepatan pembangunan antar daerah. Daerah berkarakter ekonomi industri, perdagangan, dan jasa memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dibandingkan daerah berkarakter ekonomi agraris atau berkarakter konservasi.

Apalagi dengan dikeluarkannya kebijakan insentif ekonomi dari pemerintah pusat yang dirilis sampai 16 paket kebijakan ekonomi presiden. Stimulus ini secara langsung dinikmati oleh kawasan industri, kawasan berikat, dan kawasan perdagangan. Sementara kawasan yang berkarakter konservasi hampir tidak dapat merasakan kebijakan stimulus tersebut.

Dilema Pembangunan di Daerah Konservasi

Sebagai seorang ASN yang bekerja di sebuah pemerintahan daerah di Jabar Selatan, saya merasakan langsung dilema pembangunan di daerah konservasi.

Konon wilayah Jabar Selatan sejak zaman kolonial Belanda diproyeksikan sebagai daerah konservasi. Sangat logis bila kegiatan ekonomi, industri, perdagangan, dan jasa tidak sepesat di daerah Jabar Utara atau Tengah.

Fakta lain yang berkolerelasi adalah hampir seluruh indikator ekonomi makro daerah ini di bawah rata-rata provinsi. Sebut saja PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara historis selalu di bawah angka rata-rata provinsi dan nasional.

Ketimpangan yang langsung saya rasakan adalah tunjangan daerah/tunjangan kinerja bagi PNS yang jauh lebih rendah dibanding di kabupaten/kota lainnya.

Fakta ini secara logis (terpaksa harus) dapat dimengerti, karena kemampuan anggaran daerah yang terbatas. Kemampuan anggaran terbatas karena PADnya rendah sebagai efek dari potensi investasi yang terbatas dikarenakan lebih dari setengah wilayahnya adalah kawasan lindung.

Selain kawasan lindung, wilayah Jabar Selatan adalah daerah rawan bencana alam. Kabupaten tempat saya bekerja adalah daerah nomor dua, setelah daerah tetangga, yang ditetapkan BNPB sebagai daerah paling rawan bencana alam.

Dengan kondisi wilayah seperti ini, Pemerintah Daerah diwajibkan untuk melindungi kawasan tersebut agar tidak beralih fungsi atau dijadikan pusat kegiatan masyarakat.

Beberapa kali saya ikut dalam rapat Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), seringkali forum menolak permohonan izin investasi, karena lokasi yang dimohonkan izinnya adalah termasuk kawasan lindung, atau kawasan yang dilindungi lainnya seperti Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Kalaupun izin investasi diberikan, perlu tambahan syarat administrasi yang lebih rigit dari berbagai instansi terkait. Tentu ini menjadikan invetor berpikir dua kali.

Hal ini yang kemudian dinilai sebagai kebijakan yang menghambat investasi: kebijakan yang tidak “pro development” atau tidak “pro economic growth”. Birokrat daerah dinilai cenderung “cari aman” daripada inovatif menciptakan kebijakan yang bisa meningkatkan perekonomian masyarakatnya.

Sebuah dilema memang. Di satu sisi pemerintah daerah dituntut untuk memberikan kemudahan investasi. Di sisi lain harus mengikuti aturan yang masih berlaku dan mengikat secara hukum. Mungkin karena kinerja pemerintah daerah yang dinilai menghambat investasi ini lah sehingga lahirnya Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja.

Aturan Bersifat Top-Down

Ketentuan hukum yang mengikat di daerah ini juga tidak semata lahir dari kehendak daerah. Seringkali aturan yang berlaku bersifat top-down, atau berasal dari instansi yang hierarkinya lebih tinggi.

Misalnya ketentuan proporsi 63% kawasan lindung dalam tata ruang di daerah saya merupakan prasyarat dari pemerintah provinsi. Setelah diamati ketentuan ini berlaku karena peraturan perundangan mensyaratkan bahwa suatu daerah harus memenuhi paling tidak 30% wilayahnya adalah kawasan hijau.

Sebagai contoh, beberapa daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah utara Jabar, mengalihfungsikan lahan hutan di daerahnya untuk kepentingan investasi. Imbasnya, harus dilakukan penghutanan di daerah lain agar ketentuan proporsi kawasan hijau menurut peraturan tetap terpenuhi. Dengan situasi seperti ini potensi ketimpangan pembangunan daerah akan semakin lebar. Proporsi PAD terhadap APBD di daerah konservasi akan tetap kecil.

Di sisi lain, aturan yang ada saat ini, PAD Kabupaten/Kota utamanya bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Dengan ketentuan ini sudah tentu harapan naiknya tunjangan daerah bagi PNS di daerah yang dominan pedesaan dan kehutanan seperti daerah saya akan tetap menjadi sebuah harapan dan mimpi.

Di tengah upaya menerima kenyataan ini, saya mendapati sebuah konsep yang menarik yaitu Transfer Fiskal Berbasis Ekologi atau Ecological Fiscal Transfer (EFT). Sebuah konsep yang konon diterapkan di berbagai negara di dunia yang menerapkan sistem desentralisasi.

Di Indonesia konsep ini diadopsi dengan landasan hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Dengan landasan inilah berbagai kalangan yang peduli terhadap lingkungan menggagas berbagai skema seperti imbal jasa lingkungan (payment for environmental services), kontekstualisasi perdagangan karbon ke dalam skala daerah, dan sebagainya.

Namun demikian, konsep yang relatif masih baru ini belum sepenuhnya dirasakan dampaknya. Selain realisasi anggaran EFT yang masih kecil, konsep ini masih terbatas diadopsi sebagai variable dalam formula perhitungan dana transfer.

Transfer Fiskal Berbasis Ekologi – Sebuah Konsep (yang masih) Hijau

Transfer anggaran berbasis ekologi (Ecological Fiscal Transfer, EFT) merupakan konsep desentralisasi fiskal untuk menyelaraskan keberlanjutan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan hidup. Konsep ini selaras dengan gagasan Green Economy yang mengharapkan pertumbuhan ekonomi kuat tetapi juga ramah lingkungan dan inklusif secara social.

Berbagai kalangan dari perguruan tinggi seperti Research Center for Climate Change University of Indonesia/RCCCUI, The Biodiversity Finance Initiative yang digagas oleh UNDP, dan The Asia Foundation (TAF) bersama jaringan masyarakat sipil menggagas EFT supaya diadopsi dalam sistem penganggaran pembangunan di Indonesia. Mereka menyelenggarakan studi, diskusi dan advokasi kebijakan dalam upaya menyepakati indikator kinerja ekologi yang akan diadopsi dalam regulasi.

Meskipun demikian, saya mendapati bahwa penentuan indikator EFT masih menggunakan prespektif yang sempit. Indikator kinerja ekologi yang dikonsepsikan oleh penggas EFT masih terbatas pada sektor lingkungan hidup dan kehutanan seperti Indeks Luas Tutupan Hutan (ILTH), Indeks Tata Kelola Hutan (ITKH) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Pada alokasi Dana Insentif Daerah (DID) hanya satu indikator kinerja ekologi yang telah diadopsi yaitu kinerja pengelolaan sampah.

Pengelolaan sektor kehutanan merupakan kewenangan pemerintah provinsi sehingga menurut saya prespektif perumusan indikator kinerjanya berpotensi bias (province minded).  Misalnya Indeks tutupan lahan memiliki resolusi peta yang kurang detail mengakibatkan gambaran kinerja ekologi kabupaten/kota dalam satu provinsi tidak dapat dibedakan.

Secara personal saya menilai bahwa konsep EFT di Indonesia masih hijau. Artinya masih membutuhkan penyempurnaan, pembaruan dan modifikasi agar lebih aspiratif dan akomodatif terhadap isu-isu lingkungan yang ada di daerah. Diantaranya adalah perlu juga mengintegrasikan kawasan lindung setempat dan kawasan LP2B yang merupakan domain pemerintah kabupaten/kota ke dalam variable EFT.

Secara spesifik saya sudah menuangkan gagasan saya tentang pembaruan EFT dalam makalah kebijakan (policy paper). Salah satunya ditulis untuk gelaran inovasi perencanaan yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional Persatuan Perencana Pembangunan Indonesia (PN PPPI). Dalam makalah tersebut saya menggagas integrasi EFT dalam pengalolasian Dana Insentif Daerah (DID).

Selain itu tema yang sama dengan fokus berbeda ditulis pula makalah untuk Call for Paper yang diselenggarakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dalam acara tersebut, makalah saya mengusulkan agar ada penambahan kriteria kinerja lingkungan dalam pengalokasian DAK, baik DAK fisik maupun DAK non-fisik. Saya berharap upaya kecil ini dapat mendorong pembangunan yang lebih berkeadilan.

Menurut saya sudah saatnya kebijakan transfer fiskal lebih adil dan lebih ramah lingkungan.

Epilog

Tulisan ini untuk mengungkapkan motif sebenarnya yang menjadi latar belakang penulisan kedua makalah kebijakan tersebut yang tidak mungkin dituliskan. Selain itu untuk menyampaikan opini subjektif yang menggambarkan kegundahan.

Kegundahan atas fenomena pandangan umum yang melihat bahwa pembangunan ekonomi di atas segala-galanya. Bahkan kepentingan ekonomi seolah di atas kesehatan masyarakat di masa pandemi ini.

Menurut saya pembangunan harus tetap berprinsip: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Bukan dari investor, oleh investor, untuk investor.

5
0
Satya Laksana ◆ Active Writer

Satya Laksana ◆ Active Writer

Author

Fungsional Perencana Muda di Pemerintah Daerah. Berlatar pendidikan Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Publik.

2 Comments

  1. Avatar

    False Dichotomy,…the environment and development….how to build sinergy?

    Reply
    • Avatar

      generally speaking: Sustainable Development Goals (SDGs). the concepts and enthusiasts believe development and environment can be harmonized.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post