
“Ampuun!!! Trading halt lagi? Padahal pasar baru buka setengah jam!!” seru Priadi sambil mengacak-acak rambut yang eksistensinya nyaris dipertanyakan. “Gara-gara Trump ini, portofolioku menyala….”
Sambil menyeruput teh tawar hangat, Dwi menimpali, “Sabar, namanya juga ujian…, lagian, bukan murni salah Trump kok…”
“Lalu, salah siapa?” Priadi menimpali. “Jelas-jelas kebijakan tarif resiprokal yang bikin bursa Asia merah semua?”
“Ya itu dari sisi orang Asia,” jawab Dwi.
“Kalau dari sisi orang Amerika, kan ini dianggap usaha Trump untuk membangkitkan industri di Amerika yang ngos-ngosan dihantam produk impor, termasuk produk dari Indonesia. Lagian, Indonesia kan pernah memberlakukan hal serupa, pakai program P3DN.”
“Oiya, yang bikin aipon 16 susah masuk ke Indo itu ya?” tanya Priadi.
“Betul,” Dwi mengangguk. “Dan itu juga salah satu alasan kenapa Indonesia dapet tarif resiprokal lumayan tinggi dari US, 32%.”
“Waduh,” keluh Priadi. “Tapi ngomongin P3DN, sebenarnya ngefek enggak sih?”
Dwi menjelaskan, “Jadi gini, P3DN itu sebenarnya kebijakan yang mulia. Intinya, mewajibkan penggunaan komponen, bahan baku, tenaga kerja, dan jasa dalam negeri sekurang-kurangnya pada persentase tertentu untuk barang/jasa yang diproduksi atau diimpor ke Indonesia.
Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan industri lokal, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan impor. Tapiii, tahu sendiri lah ya Indonesia, sukanya jalan pintas.”
“Menurut lo, apa yang bakal kejadian jika kita tidak punya peta kekuatan industri dalam negeri, lalu tiba-tiba pemerintah diwajibkan untuk beli barang yang TKDN-nya di atas 40%?” tanya Dwi.
“Wah iya, chaos itu….” sahut Priadi.
“Betulll,” lanjut Dwi. “Itu yang kejadian di Indonesia. Karena industri belum siap, akibatnya pada kreatif sudah….”
- “Pertama, inget enggak dulu banyak pengusaha protes karena antri bikin sertifikasi TKDN? Ini rawan penyelewengan bro, tahu sendiri rent-seeking behaviour di Indonesia seperti apa,” kata Dwi.
“Iya juga ya,” Priadi mengangguk. “Bisa mungut upeti itu, yang mau disertifikasi duluan, bayar lebih gede…” - “Kedua, rawan pemalsuan bro,” Dwi melanjutkan. “Ditemukan kasus di mana barang impor diperlakukan seolah-olah ‘buatan dalam negeri’ hanya karena supplier-nya berlokasi di Indonesia. Akibatnya, anggaran pengadaan pemerintah yang seharusnya mengalir ke industri lokal justru ‘bocor’ ke produk impor.”
“Ha? Kok bisa?” Priadi terkejut.
“Sekarang gini,” Dwi menunjuk layar laptopnya. “Coba lihat website katalog PBJ punya pemerintah, nyadar enggak harganya – terutama buat barang elektronik – jauh lebih mahal daripada toko oren atau toko ijo?”
“Iya, notice juga gw,” sahut Priadi. “Kalau enggak salah ter-blow up sama istrinya Kuya yang ada di DPRD DKI. Laptop spek yang sama di toko sebelah 10 jutaan, begitu masuk katalog jadi 25 juta, mana mereknya abal-abal lagi… kayak cuma ganti stiker saja…”
“Ya itulah,” kata Dwi.
“Cara paling gampang naikin TKDN ke angka 40% adalah dengan mem-bundling local content.
Jadi tadi laptop, beli lah 10 juta, dikasih software-software pendidikan
dengan bahasa Indonesia, kasih garansi 5 tahun dengan iming-iming ada service center yang teknisinya asli Indo semua, harga barang naik ke 20 juta,
dapet deh sertifikat TKDN.”
“Iya juga ya,” gumam Priadi. “Sementara, laptop asli rakitan dalam negeri malah terpinggirkan karena diragukan kualitasnya, tetap saja enggak laku…”
“Tepat sekali,” Dwi menambahkan. “Belum lagi ternyata supplier dan vendor bisa nego loh sama pejabat pengadaan, mau masukin harga berapa di katalog. Makanya harganya naik deh ke 25 juta untuk laptop impor spek 10 juta.”
“Ngeri juga ya,” Priadi menghela napas. “Kayak maju perang tapi enggak nyadar senapannya butut…, terus disabotase sama pasukan sendiri…”
“Yup,” kata Dwi. “Makanya ketika Trump bikin kebijakan resiprokal tarif – yang sebenarnya jauh lebih sederhana daripada TKDN – pasar saham kita langsung kolaps, seiring ambruknya rupiah sama sentimen negatif pasar. Logika saja ya, mana ada orang yang mau investasi di negara kalau nanti harga barangnya jelas-jelas 32% lebih mahal?”
“Repot juga ya,” Priadi menggaruk kepala. “Sudah terlanjur merah gini, pemerintah baiknya ngapain bro?”
“Yang jelas nego sih ke pemerintah US,” jawab Dwi. “Kalau bisa turunin lah itu jangan 32%.”
“Yang kedua, mulai mapping, industri kita mana yang kuat dan TKDN-nya bisa mencapai target yang diinginkan. Sementara yang jelas-jelas belum mampu bisa direlaksasi dulu aturannya. Misal mebel Jepara kan kuat itu, main di situ. Jangan main di prosesor komputer, mati kita….”
“Yang ketiga, evaluasi ulang kebijakan TKDN,” lanjutnya. “Kalau bisa pakai kriteria yang jelas untuk local content. Jangan sampai produk yang masuk katalog itu cuma tipu-tipu TKDN-nya.”
“Yang keempat, perkuat pengawasan dan beri sanksi tegas bagi pelanggar, mungkin itu kali ya” tambahnya.
Priadi menghela nafas panjang. “Tapi dampaknya enggak cuma di saham doang, kan?”
“Jelas,” kata Dwi sambil melirik berita di layar ponselnya. “Udah mulai ada berita PHK massal di beberapa sektor. Industri yang bergantung pada bahan impor, tapi kena tarif tinggi, pasti kelimpungan. Kalau mereka enggak bisa naikin harga jual, pilihan terakhir ya potong biaya produksi, alias PHK.”
Priadi menggeleng.
“Berarti daya beli masyarakat turun, konsumsi turun,
pertumbuhan ekonomi juga bisa kena dong?”
“Persis,” Dwi mengangguk. “Makanya ini bukan cuma urusan bursa saham. Ini efek domino. Pengusaha pusing, pekerja kena dampak, harga barang naik, daya beli turun… Kalau enggak diatasi cepat, bisa jadi krisis kecil.”
“Serius?” Priadi membelalakkan mata.
“Iya. Tekstil, misalnya. Beberapa pabrik sudah mulai mengurangi produksi karena order dari AS turun drastis. Kalau enggak ada solusi, gelombang PHK bisa makin besar.”
“Lah, bukannya kebijakan proteksi kayak gini justru bagus buat industri dalam negeri?” tanya Priadi.
“Secara teori iya,” jawab Dwi. “Tapi di dunia nyata enggak sesederhana itu. Tarif tinggi enggak selalu bikin industri lokal berkembang. Amerika aja belum tentu sukses dengan tarif resiprokalnya.”
“Kenapa bisa gagal?” tanya Priadi penasaran.
“Banyak faktor,” kata Dwi. “Pertama, biaya produksi di AS tetap jauh lebih mahal daripada di negara lain. Kedua, negara lain bisa balas dendam dengan tarif yang sama. Ketiga, rantai pasok global udah terlalu dalam. Enggak mungkin semua produksi balik ke AS begitu saja.”
“Terus kalau industri mereka enggak tumbuh,
ngapain repot-repot bikin tarif segala?”
Priadi mengernyit.
“Karena politis,” Dwi tersenyum miring. “Kebijakan proteksi kayak gini kelihatan bagus di mata pemilih. ‘Kita lindungi pekerja lokal!’ Padahal efeknya bisa lebih kompleks.”
Priadi menghela nafas panjang. “Terus, kalau buat investor kecil macam gue, harus gimana? Jual rugi aja? Pasar begini bikin sport jantung..”
Dwi tersenyum tipis. “Enggak harus panik juga, bro. Situasi kayak gini memang bikin stres, tapi bukan berarti enggak ada jalan keluar.”
“Jadi?” Priadi menatap penuh harap.
“Pertama, jangan buru-buru jual rugi. Evaluasi dulu, apakah ini efek jangka pendek atau fundamental ekonomi kita benar-benar melemah. Kedua, diversifikasi. Jangan taruh semua di saham yang rentan kena dampak kebijakan ini. Ketiga, perhatiin sentimen global. Kalau ada negosiasi Indonesia-AS yang membaik, bisa jadi peluang buat masuk lagi di harga bawah.”
“Jadi intinya tetap sabar ya?”
“Makanya, lihat sektor yang masih tahan banting,” Dwi menjelaskan. “Biasanya, waktu gejolak begini, saham consumer goods, energi, atau bahkan tambang masih bisa bertahan. Jangan cuma lihat merahnya, lihat juga peluangnya.”
Priadi menghela nafas. “Jadi, bukannya kabur, tapi cari strategi lain?”
“Yup, di pasar saham, yang sabar dan cerdas yang bertahan.”,” angguk Dwi. “Lihat jangka panjang. Kalau cuma fokus ke hari ini, semua bakal kelihatan kacau. Tapi kalau lihat beberapa tahun ke depan, siapa tahu ini justru jadi kesempatan.”
Priadi menatap cangkir kopinya yang tinggal separuh. “Oke deh. Kali ini, gue belok ke teh tawar juga ah, irit sedikit.”
Dwi tertawa. “Santai, bro. Gue yang traktir.”
—
Pada akhirnya, baik TKDN maupun tarif resiprokal bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, tanpa perencanaan dan eksekusi yang matang, kebijakan ini bisa menjadi bumerang.
Alih-alih memperkuat daya saing, justru bisa menciptakan ketergantungan baru dan distorsi pasar yang merugikan. Pilihannya ada di tangan pemerintah: sekadar menciptakan ilusi perlindungan, atau benar-benar menata fondasi industri yang mandiri dan kompetitif?
Bagi para birokrat, tugas kalian bukan sekadar menggugurkan kewajiban atau sekadar mengikuti aturan tanpa melihat dampaknya. Kebijakan seperti TKDN seharusnya tidak berhenti di angka dan sertifikasi, tapi benar-benar diarahkan untuk membangun industri yang mandiri dan kompetitif.
Tanpa eksekusi yang benar, kebijakan ini hanya akan jadi formalitas. Sekarang bukan saatnya sekadar terlihat melindungi— tapi saatnya benar-benar membangun industri dalam negeri.
ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi
0 Comments