Lama saya menunggu ulasan film “Tilik” yang, di antaranya, mengangkat peran birokrasi di dalamnya. Mungkin sudah ada tapi saya belum menjangkaunya. Jadinya, butuh sebuah keberanian tersendiri untuk sedikit mengulas film ini, tentu bukan dari teknis perfilmannya.
Sederhana masalahnya, film Tilik mungkin tidak akan pernah ada tanpa peran dan ide dasar dari Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain berperan dalam ide, kontribusi Pemda DIY mengabarkan keberadaan film ini terasa menjadi penting.
Keberanian dan Kesederhanaan
Tilik menjadi istimewa, bagi saya, terutama sekali adalah karena keberanian dan kesederhanaannya. Film ini berani karena menyodorkan hal yang, disadari atau tidak, pada akhirnya berhasil memicu kontroversi dalam berbagai tafsir dan rasa penasaran pemirsanya.
Bagi Wahyu Agung Prasetyo, sutradara film ini, sebagaimana yang dituturkannya pada medcom.id (21/8/20), poin penting dari film Tilik adalah mengenai ironi yang dihumorkan.
Ibu-ibu yang berkerudung disatukan dalam sebuah perjalanan di atas truk. Pembicaraan yang terjadi di antara mereka di sepanjang perjalanan kemudian mengerucut dan “memanas” mengenai sosok Dian.
Beruntung, ritme dialog yang kerap kocak dan sinematografi yang ditampilkan menghindarkan film ini dari banalitas pembicaraan rerumpian.
Potongan-potongan lanskap pedesaan Jogja menghadirkan rasa adem tersendiri, mampu menjadi rem atas dialog Bu Tejo dan Yu Ning yang cenderung menuju rusuh dan gelut.
Padahal, yakinlah, dialog-dialog itu hanya jebakan emosional yang dipasang Wahyu. Jika berhasil terperangkap, kita akan mengasumsikan “Tilik” tak lebih dari film pendek tentang gerundelan dan majelis gosip ibu-ibu.
Film ini adalah sebuah kesederhanaan karena mengangkat hal-hal yang sepele saja sebenarnya: perjalanan para ibu di desa menuju RS untuk mengunjungi bu Lurah yang tengah sakit.
Memang, di belahan kampung lain di pedesaan Pulau Jawa, dan sangat mungkin terjadi juga di kawasan lain, biasa ditemui para Ibu yang berjejalan di bak pick up menuju pengajian, kondangan, menengok orang sakit dan kerabat, bahkan wisata.
Menumpang truk, meski sama-sama tidak beratap, terasa masih lebih “aman” ketimbang menumpang pick up yang tidak bisa memuat banyak orang. Keduanya memang bukan kendaraan untuk penumpang, namun bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah keduanya merupakan moda transportasi yang memiliki “kewajaran” dan pemakluman tersendiri di kampung dan pedesaan.
Maka, menampilkan kewajaran tersebut dalam sebuah film sebenarnya bukan sebuah hal yang unik, apalagi dengan suasana yang penuh kesederhanaan dalam sepanjang film berlangsung. Tapi, keberanian mengangkat yang sederhana dan kemudian menjadi perbincangan luas inilah salah satu capaian “Tilik”.
Didanai oleh Pemda DIY
Namun demikian, di atas semua kualifikasi positif dari produksi film ini, bagi saya, yang paling menarik adalah bahwa film ini didanai oleh Dinas Kebudayaan Pemda DIY. Dalam rilisnya, program pembuatan film pendek yang dijalankan Disbud DIY telah berjalan beberapa waktu. Tilik hanyalah satu dari sekian film lain yang telah lolos seleksi dan mendapatkan pembiayaan dari Pemda DIY.
Film dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karenanya perlu didukung dan didanai oleh negara. Lebih spesifik, di Yogyakarta, pemerintah daerah setempat mendapat kekhususan dengan menerima Dana Istimewa yang bisa diperuntukkan untuk kepentingan tertentu sesuai kebutuhan.
Oke, tapi apa yang menarik dan unsur “tidak biasa”nya dari kenyataan tersebut?
Dalam lingkup yang lebih luas, toh entitas kebudayaan telah sedemikian rupa mendapat rekognisi pemerintah dalam struktur kementerian. Dari sini, nilai perhatian terhadap budaya, di mana film berada di dalamnya, mendapat posisi kewajarannya.
Birokrasi yang Adaptif dan Menginspirasi
Karena diproduksi lembaga pemerintah dan berhasil menjadi perhatian luas, saya tidak ingin menemukan asumsi dalam apa yang biasa kita kenal dengan 8 (Delapan) Area Perubahan, sebagai, katakanlah kompas perubahan amanah Reformasi Birokrasi yang menjadi salah satu pesan dalam film ini. Biarlah itu menjadi ranah pembahasan lain.
Namun, dalam film Tilik saya melihat sebuah keberanian dan kesediaan untuk beradaptasi dengan perkembangan. Dengan memberi ruang kreatifitas pada insan film untuk berkembang sesuai kapasitas dan ide kreatifnya, Pemda DIY sesungguhnya tengah menjadikan film sebagai medium komunikasi budaya antara pemerintah dan warga dengan cerdas, adaptif, inspiratif, dan tentu saja berani.
Tema yang dipilih adalah keriuhan emak-emak dalam budaya menengok (tilik) pasien di rumah sakit menggunakan sarana kendaraan niaga (truk). Ini adalah tema yang sangat dekat dengan keseharian, dan bernuansa “di sini”.
Dalam seluruh alurnya, Tilik tidak menampilkan pesan yang kaku dan minim “estetika”, stereotype yang kerap dilabelkan ke, katakanlah, konsep desain komunikasi visual produksi lembaga pemerintah kebanyakan.
Mau bukti? Belum lama di salah satu sudut di ibukota, di dekat salah satu stasiun besarnya, terdapat visual billboard raksasa yang menghadirkan salah satu pejabat kementerian dengan janggal. Kejanggalan terlihat dari seriusnya figur bersangkutan dalam berbicara, tapi tanpa suara yang bisa didengar publik, juga tanpa visual data dukung.
Billboard pinggir jalan memang bukan sarana yang tepat untuk diberi perlengkapan audio penunjang visual iklan layanan masyarakat. Di samping akan berebut suara dengan derum knalpot dan klakson kendaraan, suara yang dikeluarkan bisa mengalihkan perhatian pengguna jalan raya dari fokus berkendara.
Menghadirkan visual bicara tanpa terdengar suaranya, karena salah placement dan ambience, tentu sebuah keanehan serius, mengingat bayangan biaya besar dan kesia-siaan yang dihadirkannya.
Ini hanya salah satu contoh kecil. Memang, bukan head to head yang tepat dengan menghadapkan produksi film pendek yang lebih fleksibel rentang produksi dan media penayangannya dengan sebuah wahana billboard di pinggir jalan. Namun, kaku dan tidak adaptifnya desain komunikasi visual lembaga pemerintah, harus diakui, mudah ditemukan. Untuk satu hal ini, “Tilik” berhasil melampuainya.
Epilog
Dengan kontroversi yang terjadi terkait pesan yang terdapat dalam Tilik, Pemda DIY sesungguhnya menempatkan masyarakat sebagai pihak yang telah “dewasa” dalam bersikap, setidaknya mengajak ke arah itu.
Pemda DIY pasti menghimbau agar warga dan penonton film menghindari perbincangan yang tidak perlu, tapi mereka tidak menempuhnya dengan menghadirkan ceramah agama dan visual yang kaku. Di titik ini, “Tilik” melepaskan diri dari kemungkinan kebosanan dan kekakuan desain visual dan pesan yang ingin disampaikan di dalamnya.
Konteks produksi “Tilik” adalah upaya Pemda DIY dalam membina dan mengembangkan potensi insan perfilman setempat. Mestinya, inisiatif seperti ini bukanlah inisiatif yang hanya mampu dipahami dan dibiayai dengan instrumen keistimewaan: bahwa hanya Pemda DIY yang mampu dan memungkinkan, sementara yang lainnya tidak.
Tilik pastinya bukan produk dan karya satu-satunya dari ajang kompetisi pembuatan film pendek yang dibuat Pemda DIY, bahkan sangat mungkin pemda lainnya juga memiliki.
Film dan ekspresi budaya lainnya, tentu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan mewarnai panggung kebudayaan republik tercinta ini. Pemerintah, di sisi lain, perlu memberikan dukungan dan kolaborasi yang lebih intens untuk menjamin keberlangsungannya.
Birokrasi, jika Bu Tejo bisa menggarisbawahi, memang harus solutip…
Sungguh tepat ubah mindset terkait sosialisasi tak sekedar membuat sesuai patron yang biasa. Memang pemuda DIY ternampak kreativitas warganya dan akomodir pemda tuk bisa berkewajiban, selain itu didukung karena sebagai kota seni.