Pandemi Covid-19 menyampaikan pesan yang sangat jelas tentang pentingnya peran dari pemimpin yang unggul di segala sektor kehidupan, baik di level negara maupun daerah.
Tulisan ini lebih banyak menyoroti kondisi di daerah, khususnya di daerah saya tinggal, Kalimantan Selatan (Kalsel). Kondisi sulitnya melawan Covid-19 di daerah diperparah dengan tidak seiring sejalannya daerah dalam mengimplementasikan semangat keberlanjutan dalam setiap sektornya.
Covid-19 di Kalsel: Melaju dengan cepat
Ada daerah yang benar-benar concern, tetapi ada juga yang karyanya seperti ragu dalam mengubah perilaku dan pola kehidupan di era normal baru. Akibatnya, ada daerah yang siap siaga menghadapi pandemi dan ada juga daerah yang terkesan tetap tidak berubah dalam pola kehidupan normal.
Yaitu, pola kehidupan yang seakan tidak siap berdampingan dengan Covid-19. Last but not least, hal ini terjadi bukan karena daerah kekurangan stok orang pintar atau cerdik cendikia. Daerah tersebut sebenarnya punya stok ilmuwan yang cukup terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Persoalannya adalah pada belenggu birokrasi dan hirarki yang tidak memberi kesempatan pada pemimpin untuk tampil di panggung dalam menolong sesama. Akibatnya dapat dipastikan, sendi-sendi kehidupan menjadi tidak seimbang (pincang?) karena SDM unggul di daerah tidak dilibatkan atau sulit terlibat untuk membantu upaya pemerintah dalam mengantisipasi dan menanggulangi kebencanaan termasuk Covid-19.
Berbicara tentang Kalimantan Selatan (Kalsel), angka *infected covid-19-*nya cukup tinggi saat ini. Tercatat pada tanggal 4 Mei 2021, infected covid di Kalsel Mencapai 33.148 Orang. Padahal, pada Agustus 2020 angkanya baru mencapai 6.411 orang. Sementara pada tanggal 31 Desember 2020, tercatat 15.234 orang. Itu berarti terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam 4 (empat) bulan terakhir ini.
Satgas Covid Kalsel bukan tanpa upaya untuk menanganinya. Banyak sekali upaya yang dilakukan. Perjuangan dalam tugas terkait penanganan covid tergambar dalam berbagai dokumentasi dan rekaman digital yang lengkap.
Namun, mengapa hal ini belum juga tertangani? Bila kita rangkum secara garis besar ada tiga hal yang melatarbelakangi mengapa covid di Kalsel melaju dengan cepat dan sulit diantisipasi.
Satu: kelelahan menghadapi pandemi
Sebab pertama adalah kelelahan warga di tahun kedua pandemi. Hal ini yang disampaikan dengan sangat jelas oleh Prof. Dr. Husaini, S.KM, M.Kes, seorang pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Lambung Mangkurat.
”Masyarakat mengalami Pandemic Fatigue Syndrom: yaitu sindrom kelelahan warga akibat dari pandemi yang belum terlihat ujung pangkalnya kapan hal ini berakhir.”
Hal tersebut secara otomatis menyebabkan gejolak psikologis seakan ingin adu kekuatan antara imun dengan covid, sehingga banyak di antara kita yang mulai berkumpul dan mulai tidak menggunakan masker. Bahkan, masih ada pandangan yang kontroversi dan menganggap bahwa virus ini hanyalah komoditas politik bukan virus yang nyata.
Gaya hidup dan pola pikir masyarakat belum terbentuk taat protokol kesehatan (prokes). Masih ada kebimbangan di masyarakat untuk melakukannya karena mereka melihat kebanyakan yang meninggal akibat covid lebih disebabkan oleh penyakit penyertanya bukan karena covidnya. Inilah salah satu sebab utama dari terus meningkatnya jumlah kasus di Kalimantan Selatan.
Dua: Kurangnya kedekatan pemerintah dan warga
Sebab kedua adalah kurang terbangunnya hubungan yang dekat antara warga dengan pemerintah daerahnya. Mungkin tidak untuk semuanya, tapi masih terjadi. Masih ada gap antara pejabat publik dengan warganya. Ada rantai komunikasi yang terputus di saat warga diposisikan hanya sebagai warga dan pejabat publik diposisikan hanya sebagai pemimpin.
Mungkin kita bisa melihat contoh keteladan pemimpin dari Jawa Tengah, yang berwibawa dengan kejelasan kedudukan antara beliau dan warga, tetapi tetap ada sense of humanity yang melekat padanya. Sehingga, warga merasa dekat secara hati dan pemikiran dengan pemimpinnya. Ini sangat bagus, sebuah simbiosis dalam komunikasi memang sangat penting.
Bila warga merasa dekat dengan pemimpinnya, maka petuah pemimpin pasti dilaksanakan dengan suka rela. Ini yang belum terbentuk di Kalsel. Pola kepemimpinan dari hati sangat penting di saat kondisi sulit seperti ini.
Kita harus bisa melihat kondisi masyarakat secara keseluruhan dan mencoba memahami kesulitannya. Mencoba membantu dengan langkah-langkah kebijakan yang berpihak pada kaum lemah adalah sangat berarti dan menjadi jembatan untuk suksesnya program pemerintah termasuk program penanganan Covid-19 di daerah.
Tiga: Kurang terlibatnya pemimpin setiap level
Sebab ketiga adalah kurang dilibatkannya para super leader (pemimpin sejati) dari setiap level untuk berkontribusi secara aktif dan positif dalam penanganan Covid-19. Satgas hanya terdiri dari pimpinan puncak yang sudah pasti penuh dengan jadwal dan tugas rutin.
Hal ini membuat sulit untuk membagi waktu dengan tugas tambahan tentang pengendalian dan pencegahan Covid-19. Bilapun bisa, konsentrasinya pasti terbelah dengan tugas pokoknya. Hal ini membuat pengambilan keputusan menjadi bias atau lambat. Terhadap kondisi demikian, sebaiknya pemimpin puncak memainkan peran sebagai pengawas saja agar fungsi controllingnya bisa jalan.
Sedangkan untuk Satgas, tugas bisa dikoordinasikan dengan mereka yang memang capable dan siap untuk menjadi relawan penanganan wabah. Tidak mesti dari Dinas Kesehatan, bisa dilibatkan lintas sektor dan pastinya bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat sebagai penyeimbang kebijakan.
Penanganan covid tidak sama dengan penangan penyakit menular lainnya. Covid ini kompleks karena kehadirannya secara langsung mengakibatkan gangguan pada sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Perlu ditekankan bahwa penanganan covid bukan tugas tambahan melainkan tugas utama.
Jadi, sebaiknya Tim Satgas penanganan Covid adalah tim baru yang memang dibuat khusus untuk menangani covid-19 dan dampaknya. Sangat banyak Super Leader di daerah yang bisa difungsikan untuk ini. Terlebih karena Kalsel dan kabupaten/kota di sekelilingnya tidak kekurangan stok Super Leader.
Perlunya sinergi lintas sektor
Ketiga rangkaian fenomena ini membuat kita memahami mengapa penanganan covid-19 di suatu daerah bisa lancar, mengapa juga bisa tersendat. Sumber daya manusia (SDM) berperan penting di dalamnya. Boleh dibilang, menjadi yang utama.
Adapun information technology hanyalah Decision Support System, hanya membantu pengambilan keputusan. Keputusan tetap di tangan man power. Seefektif apapun sistem, bila kita tidak memberdayakan SDM dengan baik dan tepat maka sistem tidak akan berfungsi maksimal, bahkan optimalpun tidak.
Selain ketiga hal itu, yang saya amati dari Kalsel adalah belum sinerginya strategic partnership dalam upaya pembangunan berkelanjutan antara multi sector maupun multi stakeholder. Hampir semua sektor masih berjalan secara parsial.
Ada sifat down to earth yang kurang terlihat di sini. ”Hidup di satu bumi yang sama dan menjalani kesulitan yang sama dalam langkah-langkah yang sama menuju target yang sama”, pernyataan dan kesamaan pandangan ini belum terlihat di sini.
Yang ada, satu ke utara satu ke selatan sehingga kemajuan Kalsel sebagai sebuah daerah dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang besar sulit diraih dalam waktu cepat, apalagi dengan hambatan pandemi. Situasi seperti ini justru membentuk dinding-dinding birokrasi yang rawan konflik. Karenanya, program dan kegiatan tidak bisa dilaksanakan secara lancar dan kurang memenuhi target.
Berbeda dengan daerah lain yang semua komponennya dapat maju dan berkiprah secara bersama dan berpadu dengan landasan persatuan Indonesia. Jawa Barat adalah contohnya. Semua komponen masyarakat diminta ikut berpartisipasi dalam pembangunan daerah.
Sektor perbankan diminta untuk membuat tema lingkungan di taman-taman kota, anak muda menikmati suasana taman kota yang asri sebagai dampak dari kolaborasi pemerintah dengan sektor perbankan. Kemudian lebih jauhnya lagi, taman ini juga berfungsi untuk ruang terbuka hijau yang secara otomatis kehadirannya bisa menurunkan tingkat emisi di dalam kota.
Begitu terus sehingga terjalin siklus circular economy yang membuat semua sistem dan semua stakeholder akhirnya terhubung dan melakukan tugas bersama sesuai dengan prinsip Sustainabilty Developmnet Goals (SDGs)-17, yakni partnership for the goals.
Sinergi lintas sektor sangat diperlukan di Kalsel utamanya di masa pandemi Covid-19. Hal ini yang sepertinya belum terpikirkan dengan serius oleh para pemangku kepentingan dikarenakan banyaknya tugas administrasi dan rutinitas di dalam birokrasi. Sehingga, agak sulit untuk mencapai kesepakatan dalam waktu yang cepat.
Perlunya kecepatan beradaptasi
Sebenarnya pandemi memiliki pesan sendiri untuk jajaran birokrasi dan stakeholder pada umumnya. Pesannya adalah agar kita segera mempersiapkan metode dan cara kerja yang praktis, ringkas, dan memangkas waktu; namun terjaga validitas dari hasil pekerjaan kita.
Artinya, tidak bisa lagi menggunakan layanan birokrasi berjenjang yang memakan waktu dan padat aktivitas. Itu tidak cocok lagi sekarang. Harus dibuat se-efektif mungkin sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesempurnaan sistem pemerintahan itu sendiri. Intinya pandemi mengajarkan kita tentang perubahan hidup.
Kita harus cepat beradaptasi dengan perubahan itu untuk kemudian bisa melangkah di kehidupan normal baru, berdampingan dengan Covid-19 dalam keseharian kita tetapi dengan gaya hidup dan gaya kerja yang mampu menangkal kehadiran covid itu sendiri. Istilahnya, mampu melihat gerak bayangan dan mampu menghindarinya dengan baik.
Banyak yang harus berubah atau terpaksa harus diubah di era kehidupan baru agar normal seperti biasa (normal baru). Kondisi ini pun tidak akan berlangsung pendek, kemungkinan akan berlangsung panjang. Kita dan masker, kita dan social distancing, kita dan keterbatasan silaturahmi, kita dan kedekatan secara digital; akan menjadi fenomena biasa dan akan terus terjadi dan dijalani.
Dalam perikehidupan kita ada pola pemisah yang sudah nyata, baik itu berupa masker pada wajah ataupun pola kedekatan sosial dalam bentuk kontak fisik yang sangat jauh berkurang. Sisi praktisnya adalah efisiensi pada jejak karbon karena aktivitas yang cenderung hanya di rumah saja dan tak banyak menggunakan bahan bakar fosil.
Namun, sisi rumitnya adalah merubah kebiasaan dalam banyak hal. Fokus utamanya adalah terbantunya gerak mobile manusia dengan kehadiran IT yang secara langsung mampu memangkas waktu dengan proses berpikir mesin yang cukup singkat.
Akan tetapi, ada unsur yang berkurang yakni peran manusia dalam pengambilan keputusan karena banyak hal telah diambil alih oleh mesin, terutama dalam hal diagnostik dan pengendali support system.
Epilog
Jadi, siapa yang tangguh? Covid ataukah kita? Pasti jawabnya adalah kita. Namun demikian, jawaban tersebut menjadi tepat, jika dan hanya jika, kita menyadari sepenuhnya bahwa pandemi hanya bisa dilawan dengan persatuan semangat dan karya dalam bentuk adaptasi kebiasaan baru yang dipahami bersama sebagai langkah tepat untuk menjaga diri dan sesama.
Dari Kalsel, Salam Tangguh!
Penulis merupakan Alumni S3 Ilmu Lingkungan Universitas Brawijaya, seorang ASN Analis Pemberdayaan Masyarakat Ditjen PSKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Alumni Best Diplomats Leadership 2023.
Pandangan tentang covid 19 yang cukup luas, membahas keterkaitan antara covid, SDM dan SDA.
Saya setuju dengan 3 point mengapa covid 19 belum bisa diantisipasi, khususnya di kalsel.
1. Kelelahan mengahadapi covid.
Sama seperti wabah flu spanyol, manusia akan jenuh dan lalai terhadap prokes pada fase kedua karena kejenuhan, akibatnya korban akan semakin meningkat. Mungkin kita sekarang berada pada fase kedua ini. Sehingga peran pemimpin dan semua lapisan sangat dibutuhkan untuk tetap saling mengingatkan terkait kepatuhan terhadap prokes
2. Kurangnya kedekatan pemerintah dan warga.
Jika masyarakat sudah tidak bisa mengikuti apa yg disarankan pemerintah maka akan sulit menanggulangi wabah covid 19. Peran yang bisa di libatkan untuk di wilayah kalsel mungkin dari tokoh masyarakat atau tokoh agama dimana masyarakat kalsel sangat mengagumi sosok-sosok ini, sehingga warga akan merasa dekat secara hati dan pemikiran dengan pemimpin (tokoh masyarakat atau tokoh agama).
3. Kurang terlibatnya pemimpin setiap level.
Ini mungkin yang yang diperlukan saat ini, terlibatnya semua pemimpin di setiap sektor. Wabah covid sudah tersebar hampir diseluruh wilayah, tidak bisa hanya sebagian kecil pemimpin atau sebagian kecil kelompok yg terlibat. Harus melibatkan banyak sektor/level untuk menangani wabah covid ini, dengan begitu akan banyak muncul ide-ide baru yg mungkin akan lebih baik dan efektif dalam mengatasi wabah covid 19.
Prokes harus dijalankan tanpa membatasi kemajuan dan perkembangan SDA dan SDM. Kita harus beradaptasi dan maju dengan lebih baik lagi. Manfaatkan keterbatas ini untuk kemajuan. Saya rasa melek teknologi pada semua lapisan masyarakat sangat terasa pada masa covid 19 ini, hal ini merupakan salah satu sisi positif yang bisa kita ambil. Kita harus mengambil peluang atau kesempatan positif lainnya dari wabah yang melanda umat manusia saat ini.
Saya yg pernah tinggal dan bertugas disana merasa ikut prihatin atas angka konfirmasi positif Covid-19 yg begitu tinggi.
Padahal para Satgas Covid-19 dan petugas kesehatan sdh berjibaku sedemikian rupa serta dgnnberagam cara tuk lakukan sosialusasi.
Mungkin yg terlupa ada alat modal sosial yg belum dilibatkan secara intensif. Melihat karakter khas daerah Kalsel didominasi oleh kaum ulama sebagai pemimpin kharismatik,
mungkin ini sbg salah satu faktor signifikan.
Adanya kebiasan pemahaman mengenai bahayanya wabah covid-19 perlu diberikan pemahaman intens kepada kaum ulama disana. Modal sosial melalui ulama inilah sebagai faktor kunci sukses agar masyarakat bisa disiplin mentatati protokol kesehatan.