Masih terkesan dalam ingatan, sebuah peristiwa langka yang saya alami di Kota Makassar di medio April lalu. Peristiwa tersebut adalah kesempatan mengikuti kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh Pergerakan Birokat Menulis.
Bukan hanya itu saja, kesempatan untuk berjumpa secara langsung dengan para pegiat pergerakan adalah sesuatu yang sangat saya nantikan. Selama ini komunikasi dan diskusi hanya dapat saya ikuti secara online melalui grup WhatsApp.
Saat itu, keinginan saya untuk bertemu dengan para pegiat Pergerakan Birokrat Menulis cukup menggelora. Tanpa rasa lelah dan disertai dengan semangat tinggi, Jum’at malam 26 April 2018, selepas dari kantor saya berangkat menuju Kota Makassar. Perjalanan yang cukup panjang dengan menempuh waktu 10 jam terbayarkan saat mengikuti diskusi Birokrat Menulis yang diselenggarakan di Kota Makassar Sabtu malam, 27 April 2018.
Hotel Aston adalah lokasi dilaksanakannya kegiatan diskusi. Saya bergegas menuju lantai 20. Di sana saya bertemu dengan para pegiat pergerakan, yaitu Rudy M. Harahap, Mutia Rizal, Andi P. Rukka dan Eko H.W., dan Nur Ana Sejati.
Dengan rasa gembira saya berjabatan tangan dengan mereka dan berbincang penuh kehangatan. Saya tidak pernah membayangkan suasana keakraban akan terbangun seketika. Ternyata bertemu dengan orang yang punya visi dan ide yang sama, terasa bertemu dengan sahabat yang telah lama berpisah.
Tidak lama berselang para tamu mulai berdatangan. Saya mengambil peran menjemput para tamu. Peran yang diberikan oleh Tim Birokrat Menulis sungguh sangat berarti. Melalui peran ini saya bisa berdialog dengan para birokrat yang hadir pada saat itu, meskipun sebagian hanya sekadar menanyakan nama dan instansi asal mereka.
Acara dimulai, Rudy M. Harahap selaku Editor in Chief Birokrat Menulis, memperkenalkan tujuan hadirnya pergerakan Birokrat Menulis. Saya mengambil posisi sebelah kanan ruangan sambil sesekali berkeliling memantau suasana. Meskipun sederhana, tetapi cukup meriah dan peserta diskusi sangat antusias.
Acara diskusi dengan tema “Kinerja Birokrat dalam Kubangan Politik Praktis” ini menghadirkan narasumber seorang birokrat dari Provinsi Sulawesi Selatan, Zainuddin Jaka dan Adi Suryadi Culla seorang dosen Fakultas Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Di saat yang sama juga dilakukan peluncuran buku terbitan Birokrat Menulis, yaitu buku karya Andi P. Rukka yang berjudul Politik, Birokrasi dan Kebijakan Publik: Pokok-Pokok Pikiran dalam Memerangi Tuna Politik di Indonesia, dan buku karya Nur Ana Sejati yang berjudul Budaya Kinerja: Sebuah Upaya Revitalisasi Akuntabilitas Kinerja Sektor Publik.
Dalam bukunya, Andi P. Rukka menuangkan semua kegelisahan untuk memecahkan masalah bangsa yang tak kunjung membaik. Penulis menyatakan kebingungannya karena tidak tahu kepada siapa harus berbicara.
Bicara kepada politisi, mereka tersandera oleh koalisi. Bicara kepada birokrat, mereka lebih sibuk memperbaiki nasib. Bicara kepada akademisi, mereka pun kebanyakan hanya mengisi daftar nilai.
Di tengah kebingungan itu, akhirnya penulis memilih bicara kepada rakyat sebagai pemilik sejati negeri ini. Bagi saya buku ini perlu dibaca oleh semua kalangan agar kita tidak menjadi penyandang tuna politik.
Selanjutnya Nur Ana Sejati, melalui bukunya menyoroti Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP) yang selama ini lebih dianggap sebagai sebuah kewajiban formal dalam rangka penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP), yang saat ini berubah nama menjadi laporan kinerja (LAKIN).
SAKIP sering dipandang sebelah mata baik oleh legislator maupun kepala daerah. Dalam proses penyusunan anggaran, misalnya, fokus pembahasan lebih kepada deretan angka-angka daripada target kinerja yang ingin dicapai. Bagi tim penyusun laporan kinerja juga sering dianggap sebagai beban.
Sebaliknya, SAKIP seharusnya dipandang sebagai falsafah organisasi yang menggerakan seluruh anggota organisasi untuk mencapai tujuan. Untuk itu, perlu dibangun suatu budaya kinerja, atau biasa disebut sebagai performance-driven culture.
Selanjutnya, kedua narasumber memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pergerakan Birokrat Menulis. Ada hal yang membuat saya tercengang saat Adi Suryadi Culla mengatakan, “Saya menunggu tulisan dari para birokrat yang memberontak.”
Saya memaknai kalimat Adi sebagai motivasi untuk para birokrat agar berani menulis lebih otokritis. Zaman Now memang dibutuhkan birokrat yang otokritis untuk membangkitkan gairah para birokrat lainnya agar tidak terjebak dalam kubangan politik praktis.
Birokrat sejatinya jangan terjebak dalam hal-hal yang bersifat praktis dan rutinitas. Birokrat harus berani menggugat setiap keputusan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat. Birokrat harus tampil terdepan, bukan hanya siap menunggu perintah pimpinan.
Pemimpin boleh berganti, pemimpin boleh dibatasi dua periode, tetapi birokrat akan selalu hadir meski pemimpin silih berganti. Birokrat harus sadar bahwa pembangunan tidak akan bertumbuh dengan semestinya manakala birokrat hanya terjebak hal-hal yang praktis dan rutin. Birokrat harus berani mengorbankan apa yang ia miliki. Birokrat harus mengembangkan dirinya dan berani keluar dari zona kenyamanan.
Seketika itu saya teringat pesan John C. Maxwell dalam bukunya Self Improvement:
“Anda harus belajar untuk melepaskan beban sebelum berusaha membawa beban lain. Anda harus melepaskan salah satu hal untuk memperoleh hal yang baru. Orang secara alamiah menahan itu. Kita ingin tinggal di zona kenyamanan dan bertahan dengan apa yang sudah diterima umum. Kadangkala lingkungan memaksa kita untuk menyerahkan sesuatu agar kita memiliki kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang baru. Namun yang lebih sering terjadi adalah, jika ingin membuat pertukaran yang positif, kita harus mempertahankan sikap yang benar dan bersedia untuk menyerahkan beberapa hal”.
Pesan Maxwell memiliki implikasi bahwa birokrat harus berani tampil tidak seperti biasanya karena hal yang biasa bisa dikerjakan oleh semua orang. Kebiasaan yang tidak benar jangan lagi dibiasakan.
Lantai 20 Hotel Aston Makassar memberi saya inspirasi dan membangkitkan hasrat untuk terus menulis. Dari sana saya bertekad untuk tetap menulis, menuangkan gagasan ataupun kegelisahan yang saya miliki.
Saya pun tak begitu memedulikan apakah nanti banyak orang mau membaca tulisan saya atau tidak. Satu hal yang saya miliki, tekad untuk menulis, menulis, dan terus menulis sampai jari-jari tangan saya terhenti dengan sendirinya.
Dari lantai 20 pun saya membulatkan tekad untuk tetap berada dalam pusaran pergerakan yang hebat ini. Sebuah pergerakan literasi bagi birokrat yang sungguh bermanfaat untuk meningkatkan bukan hanya pengetahuan, tetapi juga pemahaman melalui berbagai paradigma. Semua itu bertujuan untuk membangun birokrasi yang lebih kuat dan memiliki nilai bagi publik.
Setelah kegiatan diskusi berakhir, saat lantai 20 semakin hening, saya masih sempat menikmati suasana hangat bersama tim Birokrat Menulis untuk melanjutkan obrolan hingga larut malam. Suasana yang sungguh menyejukkan dan membahagiakan relung sanubari saya.
Salam Birokrat Menulis.
Teruslah kritis, cerdas, dan menginspirasi tanpa batas.
0 Comments