Tax Crisis Management, Pemahaman Penting Bagi Wajib Pajak

by | Aug 30, 2020 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Krisis keuangan pastilah pernah dirasakan di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Salah satu krisis yang pernah menimpa negara kita adalah krisis moneter tahun 1998 dan dampak krisis keuangan global di tahun 2008. Perbedaan keduanya ialah tingkat keterpurukan akibat krisis 2008 di Indonesia hanya berlangsung dalam jangka pendek.

Permasalahan krisis kembali muncul, kali ini lebih kompleks, semenjak dimulainya pandemi covid-19 dengan titik awal di Kota Wuhan Tiongkok pada Desember 2019. Kehadiran virus corona yang menyerang hampir seluruh dunia itu berdampak secara domino. Dampak besar yang dirasakan bagi masyarakat adalah masalah kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan.

Mengganggu Keuangan Negara

Dalam bidang kesehatan, hingga saat ini lonjakan jumlah kasus terkonfirmasi positif terus meningkat. Covid-19 masih merajalela. Interaksi antarmanusia pun dibatasi, meskipun pergerakan dalam era adaptasi kebiasaan baru telah dimulai dengan ekspektasi ekonomi menggeliat kembali.

Akan tetapi, dampak pada perekonomian masih melambat bahkan menurun tajam. Dalam sektor keuangan dan pada sektor rill terjadi penurunan kinerja (Kemenkeu, 2020). Krisis bisa muncul baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat mengganggu keuangan negara.

Oleh karenanya, diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut dengan kebijakan yang tetap. Salah satu kebijakan yang disarankan oleh OECD (2020) ialah memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk memanfaatkan fasilitas pajak.

Fasilitas ini dapat berupa penurunan tarif pajak, penambahan tenggang waktu, pelaporan secara online, ataupun berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Pajak sewaktu-waktu. Artinya, pemanfaatan teknologi harus terus berkembang sejalan dengan penataan ulang sistem perpajakan secara internal.

Pajak, Sektor Penopang

Pada banyak negara, sektor perpajakan masih menjadi harapan terbesar untuk menopang keuangan negara –meskipun pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa.

Negara-negara yang terdampak krisis akibat pandemi terus memantau perkembangan dan membuat kebijakan secara masif untuk menyelamatkan warganya, sekaligus menjaga kondisi ekonominya.

Di Indonesia sendiri, target penerimaan pajak yang sebelumnya dianggarkan mencapai lebih dari 2000 triliun Rupiah kemudian mengalami restrukturisasi. Pemerintah mengambil kebijakan refocusing anggaran untuk menyelesaikan kasus pandemi, mengutamakan keselamatan masyarakat sekaligus perekonomian negara.

Di bidang perpajakan, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan kebijakan Insentif Pajak yang tertuang dalam PMK-44/PMK.03/2020 dan Pemberian Fasilitas Pajak  terhadap Barang dan Jasa Dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19 (PMK 28/PMK.03/2020).

Kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong wajib pajak tetap patuh tetapi juga terbantu dalam membayar serta melaporkan pajaknya, tanpa merasa terbebani karena pemasukan finansial cukup susah saat ini.

Mari memantau sejenak perkembangan pemanfaatan fasilitas pajak oleh wajib pajak di Indonesia. Berdasarkan laporan dari DJP, baru sekitar 70% wajib pajak yang sudah menyampaikan laporan pemanfaatan insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) dan PPh final DTP.

Sumber: e-reporting Direktorat Jenderal Pajak (2020)

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa insentif pajak belum sepenuhnya disetujui dengan alasan klasifikasi lapangan usaha (KLU) tidak memenuhi kriteria dalam PMK dan karena SPT Tahunan 2018 belum disampaikan.

Dari sini tampak bahwa alasan utama ditolaknya permohonan pemanfaatan fasilitas pajak adalah wajib pajak yang tak paham atas syarat yang harus dipenuhi, peraturan yang masih susah dipahami,  serta ketakutan dari wajib pajak -jika mengajukan permohonan insentif justru takut ditagih kewajiban pembayaran pajaknya kemudian.

Pendampingan Perpajakan

Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah pendampingan administrasi perpajakan. Menurut Suandy (2011), tujuan  manajemen  pajak  dapat  dibagi menjadi dua, yaitu menerapkan dengan benar segala ketentuan perpajakan dan upaya efisiensi   pajak   penghasilan   untuk   dapat   mencapai   laba   dan   likuiditas   yang seharusnya.

Tujuan manajemen pajak dapat tercapai dengan  cara menerapkan secara efektif fungsi-fingsi    manajemen    pajak; meliputi tax    planning,   tax implementation, dan tax control. Selanjutnya, langkah-langkah yang yang bisa dilakukan oleh wajib pajak, terutama WP badan, dalam situasi krisis antara lain:

Pertama, pahami skenario atas dampak krisis terhadap perusahaan. Dampak ini terutama pada kinerja perusahaan. Lakukan perencanaan pajak (tax planning) yang baik. Perencanaan pajak  adalah langkah  awal  yang dilakukan dalam upaya efisiensi pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai (PPN).

Perencanaan tersebut juga menjadi bagian dari penyusunan strategi  penghematan  pajak.  Langkah awalnya ialah memperhatikan laporan arus kas dan laba rugi perusahaan –apakah mengalami penurunan kinerja. Selanjutnya, melakukan pemetaan bagian apa saja yang terdampak –termasuk dalam pembayaran beban pajak pada saatnya.

Kedua, pada tahap implementasi (tax implementation) perlu dilakukan edukasi yang secukupnya atas peraturan atau kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini penting untuk membantu menyelesaikan permasalahan krisis yang sedang terjadi.

Di Indonesia pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif dan fasilitas perpajakan. Untuk memaksimalkan efektivitasnya, setiap sasaran kebijakan perlu dipahami dan dimanfaatkan. Jika belum paham, diperlukan pendampingan yang baik. Pendampingan ini dapat diberikan baik oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun dengan memerankan Konsultan Pajak.

Ketiga, kepatuhan akan peraturan harus dijaga. Berbagai kebijakan maupun ketentuan hukum perpajakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta hubungan kontrak kerja dengan pihak lain di masa krisis tetap harus menjadi perhatian.

Apabila terjadi kesalahpahaman, ketidaktahuan bahkan tidak update atas aturan maka risiko ketidakpatuhan dapat terjadi. Sehingga, potensi sengketa pajak akan meningkat. Oleh karenanya, manajemen perpajakan tidak hanya menghitung berapa beban pajak yang dikeluarkan saat masa krisis, namun sanksi hukum juga harus menjadi perhatian.

Keempat, membuat kontrol dan aktivitas perpajakan yang telah dirancang selama krisis –apakah sudah efektif dan efisien, dan sesuai dengan peraturan.

Fungsi pengendalian pajak (tax control) atau tax audit dan tax review inidapat dilakukan secara triangulasi dengan mengolah data secara internal dan eksternal. Konsultan pajak, manager, auditor atau bahkan otoritas pajak sekalipun perlu memastikan tidak terjadi penolakan atau bahkan sengketa pajak di masa krisis.

Epilog

Manajemen perpajakan yang mumpuni adalah pekerjaan penting dalam segala situasi. Terlebih dalam kondisi krisis ketika tekanan yang dihadapi semakin tinggi. Di sisi lain, wajib pajak juga harus lebih siap menghadapi krisis sebelum ia datang –sehingga tidak mengalami kerugian yang semakin besar.

Manajemen perpajakan dapat masuk dalam agenda rencana strategi perusahaan dengan membuat suatu catatan bahwa risiko dapat terjadi juga di bidang perpajakan, bahkan untuk sengketa pajak yang mengarah pada sanksi.

Para wajib pajak tidak perlu takut melakukan konsultasi terhadap konsultan pajak atau otoritas pajak, terutama dalam hal ekonomi dan keuangan yang melibatkan unsur pajak di dalamnya. Era adaptasi baru pasca covid-19 merupakan momentum untuk wajib pajak berbenah, meningkatkan pengetahuan dan tidak malu untuk menyampaian keluh kesah atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Hal ini akan membantu memahami kemudian memanfaatkan fasilitas pajak yang disediakan. Dengan demikian maka kebijakan pemerintah akan efektif dan lebih menguntungkan kedua belah pihak, yaitu tercapainya target penerimaan dan wajib pajak dapat menikmati keringanan yang mengurangi beban.

Harapan lain jika wajib pajak mampu mengorganisir perpajakan secara konsisten maka tidak akan terjadi kesulitan yang teramat dalam meskipun krisis menerpa. Dengan terus melihat kebijakan pemerintah yang akan diberikan, hal ini berkaitan juga dengan sustainability wajib pajak, khususnya yang berbentuk badan.

0
0
Resha Dwi Ayu Pangesti Mulyono ◆ Active Writer

Resha Dwi Ayu Pangesti Mulyono ◆ Active Writer

Author

Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Jember

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post