Tantangan Pengelolaan Keuangan Desa Pasca Pandemi COVID-19

by | Nov 7, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Tercatat total Dana Desa yang dikucurkan sejak 2015-2021 telah mencapai Rp400 triliun untuk seluruh desa di Indonesia. Namun, jumlah dana yang dikucurkan tersebut ternyata belum mampu untuk menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Karenanya, pemerintah terus meneguhkan hati mengawal pengelolaan keuangan desa. Hal ini dimaksudkan agar proses pembangunan desa lebih akuntabel, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Selain itu, hal ini penting karena desa adalah ujung tombak dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang dimulai dari desa.

Di samping itu, dengan pengakuan di regulasi atas rekognisi[1] dan subsidiaritas[2], desa kini memiliki peran utama dalam mengelola, memberdayakan, dan memajukan sumber daya yang tersedia di desa, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Oleh karena itu, pergerakan roda pembangunan desa harus diiringi dengan kesadaran akan spirit rekognisi dan subsidiaritas tersebut, terutama bagi penggerak warga desa dan para pemangku desa.

Tantangan Governansi dan Akuntabilitas Desa

Karena pentingnya pengelolaan keuangan desa pasca Pandemi Covid-19 dalam mendorong kemandirian desa, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga telah  mengevaluasi governansi dan akuntabilitas desa.

Sebagai contoh, di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, teridentifikasi beberapa isu  penting, yaitu (1) bagi hasil atau deviden BUMDes rendah, (2) ketidakmandirian keuangan desa, dan (3) penurunan desentralisasi fiskal desa.

Selain itu, (1) Laporan Pertanggungjawaban APBDes dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa tidak dibuat dan disampaikan ke Pemerintah Kabupaten dan (2) Aplikasi Sistem Informasi Keuangan Desa (Siskeudes) tidak dioperasikan secara on-line.

Kemudian, Aplikasi Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswaskeudes) belum digunakan oleh Inspektorat Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebagai alat audit atau pengawasan keuangan desa.

Tantangan Kepala Desa

Kepala Desa juga mempunyai tugas yang berat dalam menjalankan roda pemerintahan di tingkat desa. Mereka dituntut mampu mengelola anggaran Dana Desa yang besar. Sebagai contoh, Kabupaten Hulu Sungai Tengah memperoleh alokasi anggaran Dana Desa sekitar Rp122 Miliar tahun 2022.

Itu sebabnya, para Kepala Desa harus meningkatkan terus kapasitas dan pengetahuannya dengan berbagai metode, seperti mengikuti pelatihan ataupun bimbingan teknis, termasuk meningkatkan SDM aparatur desa.

Hal tersebut akan mengungkit kapasitas dan kemampuan Kepala Desa dan aparatur desa dalam mengarungi kancah Manajemen dan Governansi, baik terkait Pemerintahan, Keuangan, maupun Aset Desa.

Pengetahuan terkait Manajemen dan Governansi akan membantu Kepala Desa dalam menghadapi realitas di lapangan yang kompleks. Sebagai contoh, para Kepala Desa di Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan ternyata dituntut berperan nyata dalam menjaga pelestarian lingkungan, seperti terlibat dalam aksi protes atas kegiatan penambangan PT Mantimin Coal Mining di Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan beberapa tahun lalu.

Pihak Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan pun turut mendukung aksi protes tersebut dengan mencanangkan program ‘Geopark Meratus’ dan ‘Save Meratus’. Sebab, Pegunungan Meratus memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan lebih jauh untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan desa.

Pegunungan Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang potensial bagi pengembangan sektor wisata, baik wisata alam, wisata budaya Dayak Meratus, maupun wisata tirta.

Hasil nyatanya adalah dipilihnya Desa Nateh sebagai lokasi peringatan Hari Sungai sedunia. Desa Nateh dikenal memiliki spot arung jeram dan wisata lainnya, bahkan potensinya tidak kalah dengan wisata tirta di negara lain.

Tantangan BUMDes

Untuk menggali potensi desa, desa juga telah diarahkan oleh Pemerintah untuk membentuk badan usaha berupa BUMDes. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat desa dan meningkatkan pendapatan asli desa.

Sayangnya, dalam skala nasional, realitasnya BUMDes menghadapi beberapa isu strategis, seperti kedudukan BUMDes di desa dipandang sebagai pesaing ketimbang mitra UKM dan Koperasi, pembentukannya bukan karena peluang bisnis yang nyata, rendahnya efisiensi, dan terbatasnya kapasitas operasional BUMDes.

Selain itu, keberadaannya masih dianggap sebagai fungsi pelayanan umum dan status badan hukum belum terpenuhi sebagaimana mestinya.

Secara umum, hingga saat ini juga masih dijumpai beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan dalam pengelolaan keuangan dan aset desa, seperti:

  • penggunaan Dana Desa belum sesuai dengan prioritas,
  • pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa belum sesuai dengan ketentuan,
  • inventarisasi Aset Desa belum dilakukan, dan
  • pelaksanaan tata kelola dan pengamanan aset desa oleh perangkat desa belum memadai.  

Kelemahan-kelemahan tersebut juga diperparah dengan penyalahgunaan Dana Desa yang berujung tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, kasus penyalahgunaan Dana Desa pernah terjadi pada Desa Damithulu di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan, yang dilakukan oleh oknum Kepala Desa dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp872.982.444,00 pada tahun anggaran 2019.

Kasusnya, terdapat beberapa item pekerjaan yang disalahgunakan oleh pelaku, seperti kemahalan harga (mark up) kegiatan, kekurangan volume pekerjaan, hingga kegiatan yang diduga fiktif.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan Dana Desa masih dipahami secara keliru oleh Kepala Desa sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri atau mengganti biaya Kepala Desa dalam kontes Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang mahal, sebagaimana halnya dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pengelolaan Pasca Pandemi Covid-19

Perilaku penyalahgunaan tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi sosial saat ini yang menunjukkan jumlah penduduk miskin desa meningkat pasca pandemi Covid-19.  

Kepala Desa ternyata tidak menggunakan Dana Desa untuk menciptakan program/kegiatan yang dapat mengatasi isu-isu kemiskinan di desa, terutama pada pemulihan pasca Pandemi Covid-19 saat ini.

Penggunaan Dana Desa juga belum diarahkan untuk memacu kemandirian Pemerintah Desa dalam menggali pendapatan desa dengan memanfaatkan potensi desa. Hal ini menimbulkan ketergantungan desa yang terus-menerus terhadap pendapatan transfer Dana Desa dari Pemerintah Pusat dan Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Daerah.

Hal tersebut harus menjadi perhatian bagi semua Pemerintah Desa dalam menyusun program/kegiatan saat tahap perencanaan. Mereka harus lebih cermat dan memperhatikan hasil serta manfaat yang ingin dicapai.

Selain itu, program/kegiatan yang disusun harus selaras dengan kebijakan dan kondisi sosial ekonomi desa saat ini dan ke depan, yaitu mampu meredam kenaikan tingkat kemiskinan pasca Pandemi Covid-19.

Sebagai contoh, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan sendiri tahun 2019 berkisar 16.000 jiwa. Sayangnya, malah terdapat kenaikan penduduk miskin dari tahun 2020 ke tahun 2021, yaitu dari 15.470 menjadi 16.770 jiwa.

Artinya, Dana Desa belum berhasil meredam kenaikan tingkat kemiskinan di desa, terutama pasca Covid-19.

Padahal, Pemerintah telah menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan di desa pasca pandemi Covid-19 dengan menggunakan Dana Desa, yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 yang dipertegas dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2021 serta Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021.

Mengatasi hal itu, rencana aksi yang harus dilakukan adalah pembaruan Peraturan Kepala Daerah tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa sesuai dengan kebijakan dan peraturan Pemerintah Pusat terbaru dan peningkatan sosialisasi Peraturan Kepala Daerah tentang Pengelolaan Aset Desa.

Selain itu, harus dilakukan inventarisasi Aset Desa yang dipantau oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa,  pemberian teguran atau sanksi kepada Kepala Desa yang melakukan pengeluaran kas desa di luar ketentuan, dan memastikan para Camat cermat dalam melakukan verifikasi penggunaan Dana Desa dalam APBDes.

Selain itu, Inspektur Daerah juga harus memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil evaluasi Dana Desa dan lebih mengefektifkan pengawasan terhadap Pemerintah Desa dengan bantuan aplikasi Siswaskeudes.

Hal ini akan meminimalkan risiko terjadinya kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait Dana Desa di lapangan.

Inspektur Daerah juga harus memberikan bimbingan dan konsultansi agar penggunaan Dana Desa sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.

Penutup

Kutipan berikut sangat penting dipahami oleh para pemimpin yang terlibat dalam pengelolaan keuangan desa dalam hubungannya dengan Leadership, Management, dan Governance, yang baru diterbitkan oleh the Institute of Risk Management (IRM):

Leadership is characterised by courage – the courage to rewrite the rule book in terms of personal behaviours, risk taking and the ability to face paradox and uncertainty by relying on others and working constructively with the energy of conflict. Good governance cannot be imposed through compliance with standards but needs to be constantly revised and improved.

Intinya, para pemimpin yang terlibat dalam pengelolaan keuangan desa harus berani untuk terus melakukan inovasi, menulis ulang pedoman dan aturan, sehingga desa bisa diandalkan sebagai garda terdepan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama yang berada di desa-desa. Governansi atau tata kelola  tidak boleh dipahami hanya untuk mematuhi peraturan atau standar, tetapi governansi harus terus direvisi dan ditingkatkan kualitasnya.


[1] Pengakuan terhadap asal-usul.

[2] Penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

1
0
Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Author

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis. Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI). Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia). Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management. Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post