Pemerintah akhirnya memutuskan untuk memulai new normal (tatanan hidup normal) secara bertahap di beberapa daerah setelah hampir 3 bulan daerah melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kebijakan new normal ini mengalami banyak kontroversi di kalangan akademisi, praktisi, dan masyarakat.
Sebagian menilai Indonesia belum saatnya untuk memulai tatanan hidup normal, karena jumlah kasus positif corona masih mengalami peningkatan setiap harinya. Bahkan, belakangan ini sempat viral tagline “IndonesiaTerserah”, sebagai ungkapan protes para tenaga medis kepada pemerintah terkait kebijakan yang dikeluarkan.
Di sisi lain kebijakan ini harus segera dimulai sehubungan dengan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin terpuruk. Masalah semakin banyak muncul akibat dari krisis pandemi ini. Mulai dari masalah pengangguran hingga kriminalitas. Kebijakan yang diambil pemerintah ini merupakan sebuah kebijakan antisipatif terhadap kondisi Indonesia saat ini.
Tantangan Pendidikan
Selama masa darurat COVID 19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat Edaran Belajar dari Rumah. Proses belajar dari rumah ini tampaknya akan segera berakhir. Wacana sekolah dibuka kembali sedang ramai diperbincangkan di kalangan publik.
Pada awal Juni 2020, pemerintah merilis Keputusan Bersama terkait pembukaan sekolah Kembali. Dalam rilis media tersebut dijelaskan bahwa hingga 15 Juni 2020 sekolah yang akan belajar secara tatap muka hanya sekitar 6% dari seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Itupun hanya sekolah yang berada di zona hijau berdasarkan ketetapan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Terkait dengan hal tersebut, saya hanya ingin mengingatkan bahwa jika sekolah dibuka kembali akan banyak tantangan yang akan muncul. Tantangan tersebut di antaranya adalah:
1) Ketimpangan kemampuan antar siswa meningkat.
Hal ini terjadi karena proses belajar dari rumah yang dilakukan oleh setiap siswa akan berbeda satu sama lainnya sehingga pemahaman siswa terhadap materi pun berbeda.
Beberapa penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa ketika sekolah di buka kembali akan terjadi ketimpangan kemampuan antar siswa. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya pola interaksi antara guru dan siswa yang berbeda sehingga kemampuan siswa menerima materi pembelajaran akan berbeda juga satu sama lain.
Faktor lain, beberapa survei menunjukkan sekitar 40% – 50% siswa menghabiskan kurang dari 2 jam waktu per hari untuk belajar atau tidak belajar sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa betapa minim waktu belajar yang dilakukan oleh siswa secara proses belajar dari rumah.
2) Potensi putus sekolah.
Proses belajar dari rumah yang berlangsung cukup lama ini membuka peluang putus sekolah bagi sebagian besar anak yang berasal dari kelas ekonomi rendah.
Selama mereka tidak masuk sekolah, anak-anak ini sebagian besar turut serta membantu orang tuanya entah bekerja di sawah atau turut berjualan. Dengan demikian, ketika sekolah dibuka kembali orang tua akan enggan untuk mengizinkan anaknya untuk kembali ke sekolah
3) Beban kerja guru meningkat.
Ketika sekolah di buka kembali dengan protokol kesehatan, mengharuskan sekolah menerapkan kebijakan pembatasan jarak fisik. Hal ini kemungkinan besar akan membuat sekolah menerapkan sistem shifting sehingga jam mengajar para guru akan bertambah serta para guru ketika mengajar harus menyesuaikan dengan kebutuhan siswa yang berbeda.
4) Orang tua tentunya akan kesulitan membantu siswa mengejar ketertinggalan di sekolah.
Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, pemerintah sebaiknya melaksanakan evaluasi terhadap kebijakan proses belajar dari rumah yang telah berlangsung selama 3 bulan guna menjawab tantangan yang muncul tersebut.
Solusi
Melalui hasil evaluasi tersebut, pemerintah dapat menentukan suatu strategi yang efektif untuk mengatasi masalah yang telah mucul tersebut. Di sisi lain, lembaga internasional lainnya telah banyak merilis panduan teknis pembukaan sekolah kembali.
Salah satunya yakni UNESCO, yang telah mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Plan for School Reopening. Dalam dokumen tersebut dijelaskan tiga unsur utama yang harus dipertimbangkan dalam persiapan pembukaan kembali sekolah, yakni finansial, infrastruktur, dan sumber daya manusia. Penjelasan dokumen tersebut adalah:
1) Perlu adanya evaluasi anggaran pendidikan sesuai dengan temuan-temuan masalah pendidikan di masa pandemi ini, serta mempertimbangkan segala potensi yang akan mucul akibat dari masa pandemi ini.
Memastikan gaji para guru serta tenaga kependidikan telah diberikan, serta pihak sekolah memiliki biaya operasional tambahan untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul ketika sekolah dibuka kembali.
Biaya operasional ini termasuk pengadaan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru serta pemberian materi tambahan kepada para siswa yang tertinggal dari segi kemampuan dan keterampilan.
Pemerintah perlu berdiskusi dengan otoritas kesehatan terkait protokol kesehatan dan lingkungan sekolah yang bersih. Serta pemerintah harus mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa lingkungan sekolah aman dari wabah.
2) Pemerintah sesegera mungkin mengatur mobilisasi para guru serta memproritaskan daerah yang terdampak paling parah dari pandemi ini. Pemerintah harus mampu mengeksplorasi beberapa daerah yang memiliki tingkat kematian tertinggi akibat pandemi ini. Karena secara tidak langsung hal ini akan menyebabkan masalah baru yaitu kekurangan guru di beberapa daerah.
3) Solusi lain yang dapat diberikan terhadap tantangan di sektor pendidikan di era new normal ini adalah bahwa pemerintah harus merancang sebuah pemetaan untuk mengatasi ketimpangan kemampuan antar siswa. Pemerintah harus menjamin keselamatan peserta didik dari segi pencegahan penularan virus jika sekolah dibuka kembali.
Seorang ASN di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seseorang yang sedang belajar untuk mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang penulis.
0 Comments