Pemilu 14 Februari 2024, yang menjadi ajang kompetisi bagi Partai Politik, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, serta juga bagi kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden, telah berlalu.
Kini menjelang penghujung tahun 2024, giliran ratusan calon Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) akan saling bersaing menjadi pemenang (pemimpin). Pemilukada serentak yang digelar pada 27 November 2024, akan memilih para pemimpin di 545 daerah, terdiri 37 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota.
Fenomena “Kegemilangan” Jokowi
Patut diakui Reformasi ’98 senyatanya telah membuka pintu bagi seluruh anak bangsa, berkesempatan menjadi sosok-sosok Pemimpin apapun tingkatan yang diingini.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), terlepas apapun dinamika yang melingkupi, setidaknya dapat menjadi contoh bahwa siapapun berpeluang menjadi pemimpin di negeri ini.
Jokowi yang dalam narasi latar belakangnya digambarkan sebagai seorang yang bukan siapa-siapa, berasal bukan seorang ningrat, bukan dari militer, dan bukan pula tokoh partai politik, terbukti mampu menapaki karier politik yang gemilang.
Dimulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden RI selama 2 periode. Bila ditarik ke belakang, sebut saja di masa Orde Baru, hal seperti itu rasanya terbilang mahal.
Ironi Kesempatan dan Ketidakmampuan Memimpin
Di sebuah masa di mana kesempatan bagi siapapun mewujudkan mimpinya menjadi pemimpin cukup terbuka luas, rupanya tidak selalu linier dengan rekam jejak para pemimpin itu sendiri. Hingga tak jarang terdengar bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Tentu sebuah ironi yang memprihatinkan, tidak hanya kepemimpinan nasional namun juga di tingkat daerah. Fenomena-fenomena tersebut setidaknya tergambar dari ketidakmampuan kepala daerah menjadi role model atau standar norma dan perilaku bagi masyarakatnya.
Salah satu fenomena tersebut tercermin
dari banyaknya kepala daerah tersangkut kasus korupsi
dengan beragam corak modusnya.
Data statistik yang dirilis laman KPK, selama periode mulai 2004 hingga 11 September 2024 tak kurang dari 196 Kepala Daerah terjerat kasus korupsi, Gubernur sebanyak 27 orang dan Bupati/Walikota 169 orang.
Adapun jumlah tindak pidana korupsi menurut kategori instansi tak kurang dari 834 kasus, yakni 210 kasus terjadi di Pemerintah Provinsi dan sebanyak 624 kasus korupsi terjadi di Pemerintah Kabupaten/Kota sepanjang periode dua dekade tersebut.
Miris tentunya, ketika euforia demokrasi yang disambut mimpi para anak bangsa untuk menjadi pemimpin daerah, namun bersanding erat beriringan dengan kasus korupsi yang menjerat banyak kepala daerah.
Realitas inilah yang kiranya memantik kesadaran bahwa kemauan dan kemampuan untuk membangun kapasitas diri, baik kecakapan intelektual, pemahaman teknis tata kelola kepemerintahan, hingga pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang kepemimpinan, haruslah disandarkan pada komitmen atas integritas, standar norma, etika, moral, dan spiritualitas yang tinggi.
Nilai-nilai itulah yang selayaknya dibangun dan dikembangkan para calon pemimpin. Bukan sekedar ‘menjual diri’ untuk menjadi seorang pejabat publik.
Pemimpin visionable dan fashionable
Joseph D. Franklin (2008) dalam bukunya Building Leaders The West Point Way, bisa menjadi salah satu bacaan untuk memperkaya tacit knowledge para pemimpin.
Ada 10 prinsip kepemimpinan yang hendaknya dimiliki setiap pemimpin, meliputi orientasi tugas, kehormatan, iman, keberanian, ketekunan, percaya diri, kemampuan untuk dapat didekati, kemampuan beradaptasi, kewelasasihan, dan visi.
Menjadi sebuah tantangan tersendiri kiranya, ketika prinsip-prinsip dasar tersebut dihadapkan dengan gerak peradaban saat ini yang bertolak pada sesuatu yang cepat atau instan.
Tentunya tidak seluruh nilai atau prinsip dasar tersebut dapat dibentuk dalam waktu yang instan, misalnya dalam hal iman dan kewelasasihan. Dari 10 prinsip dasar yang dikenalkan Franklin (2008), visi adalah prinsip yang paling menantang dan penting.
Visi menuntut seorang pemimpin untuk terus menerus
menciptakan lingkungan agar para anggotanya berfungsi pada derajat yang tinggi, dan menjalankan tugas yang dipersyaratkan dalam organisasi. Selain itu, secara berkesinambungan bersiap untuk berbagai perubahan yang niscaya terjadi.
Dapat dikatakan, visi merupakan karakteristik yang paling mudah diamati untuk menilai kualitas seorang pemimpin. Karakter itu pula yang akan membedakan seorang pejabat publik, apakah dia sesosok pemimpin atau sebatas pejabat (atasan).
Dalam istilah lain yang saya pakai, pemimpin dapat disebut sosok yang visionable, sedangkan pejabat (atasan) akan lebih tampak sebagai seorang fashionable.
Pemimpin visionable memiliki horizon pemikiran yang luas dan jauh kedepan. Tak jarang mampu menciptakan hal baru yang melampaui zamannya.
Kemampuannya untuk melihat masa depan, tidak hanya akan memudahkan bagaimana menanggapi perubahan yang terjadi (adaptif). Seorang visionable memungkinkan untuk menghadirkan dan memandu arah perubahan itu sendiri.
Berbeda halnya dengan seorang fashionable. Penting untuk dipahami bahwa istilah ini tidaklah bermakna harfiah atau denotatif, sebagai wujud modernitas atau mengikuti tren gaya atau mode terbaru.
Warna yang Berbeda
Fashionable merupakan penggambaran sosok pejabat yang sekadar fokus pada ‘tanda’ atau sesuatu yang tampak (citra). Seorang fashionable biasanya akan lebih berminat pada hal–hal yang bersifat formal normatif.
Secara relatif, kecenderungannya untuk mengikuti perubahan hanya tertuju pada penanda (dan yang ingin dicitrakan), bukan pada esensi atau makna gerak perubahan itu sendiri.
Dalam hal melihat tempat (jabatan), seorang visionable memposisikan jabatan sebagai alat merealisasi gagasan, namun bagi seorang fashionable akan melihatnya sebagai buah capaian (goal).
Lebih dari itu, dalam menggerakkan organisasi, seorang visionable dituntun oleh serangkaian pemikiran. Sedangkan seorang fashionable lebih dipandu oleh kekuasaan (power). Kemudian dalam hal pengambilan keputusan, seorang visionable akan lebih melihat pada hal-hal yang substansif-strategis, sedangkan fashionable lebih menggunakan pendekatan normatif-pragmatis.
Singkatnya, seorang visionable ataupun fashionable akan menampilkan warna yang berbeda dalam hal strategi pencapaian tujuan, etika dan kultur organisasi, maupun habit dan paradigma anggota organisasi tersebut.
Sebuah Refleksi
Krisis moneter ‘97/98 yang berkembang menjadi krisis multidimensi merupakan titik tolak perjalanan bangsa ini, memilih reformasi sebagai langkah politik yang ditempuh. Tentu sudah banyak persoalan yang mulai dapat diurai pun mungkin berhasil diselesaikan.
Di sisi lain, tak dapat dipungkiri masih ada beragam persoalan serius dan elementer yang telah mengurat dan mengakar, hingga kadang menghadirkan keputusasaan, apatisme, atau justru pragmatisme.
Korupsi menjadi satu persoalan yang telah mendarah daging, yang entah kapan dan bagaimana cara mengakhirinya. Krisis kepemimpinan bangsa ini menjadi persoalan lain yang berkelindan dengan persoalan korupsi.
Dalam hal krisis kepemimpinan,
rasanya harus diakui bahwa realitas kehidupan demokrasi kita lebih banyak
hanya menghasilkan pemimpin yang fashionable alih-alih visionable.
Di tengah peradaban praktis seperti sekarang, fenomena para pejabat publik yang lebih tertarik mengejar jabatan dengan cara-cara instan adalah realitas yang aktual. Memang pada gilirannya semua akan kembali pada masing-masing pribadi menurut selera, personality dan talenta yang dimiliki.
Namun amat penting dicatat, bahwa siapapun yang berkeinginan menjadi seorang pemimpin, hendaknya membangun kapasitas diri, memperkaya tacit knowledge, menegakkan integritas, standar norma, etika, moral dan spiritualitas.
Bukan melulu tentang idealisme, tetapi memang hal-hal itulah yang akan menunjukkan seseorang pemimpin adalah sosok visionable, bukan sekedar seorang fashionable. Dan ini menjadi sesuatu yang langka di negeri yang gemah ripah loh jinawi.
Seorang PNS pada Pemkab Magetan dengan tugas harian menjaga Perpustakaan.
Baru belajar untuk menulis, dan lebih sering berdialog dalam hening.
0 Comments