Strategi Zonasi Penerimaan Siswa Didik: Dua Sisi Keping Logam

by Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer | Apr 23, 2020 | Birokrasi Efektif-Efisien | 3 comments

Melihat skor Programme for International Student Assesment (PISA), sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan di negara kita sepertinya mulai membuat semua pihak di bumi pertiwi ini melek mata. Tak perlu diperdebatkan lagi, pendidikan yang diyakini menjadi salah satu aspek paling vital bagi eksistensi bangsa di negeri ini masih menghadapi berbagai permasalahan. Salah satunya terkait efektivitas sistem zonasi.

Dalam 3 tahun ke belakang, Indonesia menerapkan mekanisme zonasi dalam penerimaan siswa didik untuk jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA, yang diberlakukan secara nasional.

Keunggulan mekanisme zonasi ini diharapkan mampu menjadi solusi – di antaranya mengurai kemacetan transportasi di kota besar, bercorak kearifan lokal, penghilangan istilah sekolah favorit dan tidak favorit, mengurangi kesenjangan dalam pendidikan, dan menjamin akses pendidikan yang adil bagi siswa di seluruh penjuru negeri ini.

Sayangnya, bagai dua sisi keping logam, tidak pernah ada hasil buatan manusia yang benar-benar sempurna. Saya di sini tidak membahas keunggulan dari strategi zonasi mengingat Kemendikbud telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan mampu mensosialisasikan kebijakan zonasi ini ke publik dengan mumpuni.

Namun, sebagai penulis saya akan fokus membahas sisi lain dari zonasi yang saya anggap sebagai bentuk kekhawatiran bersama. Berikut ini berbagai kekhawatiran yang wajib kita cermati agar sistem pendidikan benar-benar sukses mengantarkan SDM Indonesia unggul di masa depan kelak.

Perspektif psikososial


Andina (2017) menjelaskan bahwa proses pembelajaran siswa sangat dipengaruhi oleh lingkungan teman dan gurunya. Siswapun tentu mengikuti arus belajar dalam lingkaran pertemanan, bahkan siswa rajin bisa terpengaruh oleh teman mereka yang malas.

Mari bayangkan jika siswa yang berpotensi besar untuk berprestasi harus belajar di sekolah yang fasilitasnya belum memadai. Alangkah sulitnya untuk memaksimalkan potensi terbaik yang mereka miliki. Karena itulah, sistem zonasi ini memiliki potensi kekhawatiran untuk mengurangi minat belajar siswa.

Berdasarkan data OECD terkait skor PISA 2018 di 79 negara sebagaimana dilansir oleh Tirto.id, dalam hal kemampuan literasi, matematika, dan ilmu pengetahuan, Indonesia menempati urutan 71 dengan skor akumulatif 1146. Skor rerata kita sebesar 1474. Rendah? Silakan simpulkan sendiri.

Coba kita tengok Negeri Paman Sam. Studi di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa pola sebaran potensi kognitif pelajar di seluruh negara bagian AS cenderung terkonsentrasi di area tertentu, menempatkan Massachusetts pada peringkat 1. Kita tahu bahwa Massachusetts adalah area di mana dua universitas kelas dunia berada – MIT dan Universitas Harvard.

Sayapun menganalogikan pola sebaran siswa potensial untuk skala nasional Indonesia cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu seperti Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jabodetabek, dan Jawa Timur. Hal ini diikonisasikan oleh keberadaan ITB, UGM, UI, dan Universitas Airlangga sebagai kampus top di Indonesia.

Masuk akal jika psikis sosial manusia memilih berdomisili dengan kelompok yang memiliki kesetaraan dalam pekerjaan, keuangan, dan posisi sosial. Ilustrasinya begini, misal sebagian besar dosen ITB cenderung tinggal di daerah sekitar ITB, dengan ekspektasi keturunannya akan mengenyam pendidikan di sekitar wilayah ITB. Belum lagi, genetik mereka pasti memiliki potensi cerdas karena orang tua mereka kemungkinan bertemu di lingkungan yang setara.

Secara agregat nasional, justru kita perlu khawatir bahwa zonasi malah menyamaratakan kualitas pendidikan di bawah standar, setelah menimbang fakta skor PISA secara nasional yang memang rendah dan asumsi pola sebaran siswa potensial cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu (tidak menyebar random).

Mirisnya begini, jika siswa A yang memiliki potensi kognitif tetapi menetap di lingkungan X di mana lingkungan kognitifnya di bawah rerata maka siswa A tentu kesulitan memaksimalkan potensinya ketika “dipaksa” bersekolah di lingkungan tersebut.

Pengalaman dari negara-negara lainnya


Fack & Grenet (2007) serta Perancis & Thrupp (2007) yang menjadikan Selandia Baru sebagai latar studi, menemukan fakta bahwa sistem zonasi masih belum mampu menyamakan kualitas pendidikan. Hal ini terjadi karena penduduk kelas menengah ke atas cenderung membeli rumah di zona sekolah berlabel favorit.

Ini juga terbukti dengan kenaikan harga rumah yang berbanding lurus dengan peningkatan nilai ujian nasional siswa di zona sekolah tertentu. Akibatnya, lingkungan di sekitar sekolah favorit malah dihuni oleh masyarakat kelas menengah ke atas.

Sementara itu, Kaire Poder et al (2016) yang menjadikan Swedia, Finlandia, dan Estonia sebagai latar studi, menjelaskan bahwa Latar Belakang Keluarga (LBK) merupakan penentu prestasi siswa – antara lain pendidikan orang tua, pendapatan, dan status sosial.

Ketika LBK tinggi maka skor PISA individu cenderung tinggi, dan sebaliknya LBK rendah cenderung menunjukkan skor PISA individu yang rendah pula. Ilustrasi mudahnya, misal siswa yang berprestasi cenderung berasal dari keluarga yang di lemari rumahnya banyak buku (tentu saja buku bacaan ini pasti dimiliki orang tua dan sanak keluarga siswa tersebut).

Sementara, jika LBK diintervensi oleh kebijakan zonasi, hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan zonasi justru mengurangi pengaruh LBK. Jika sekolah dapat memberikan kualitas belajar mengajar yang kompetitif itu tak masalah, tetapi jika sekolah tidak dapat memberikan pembelajaran yang kompetitif malah menghasilkan dampak buruk bagi siswa dari segmen LBK tinggi.

Hasil studi di Kota Bandung untuk siswa SMP tahun 2018


Berdasarkan tulisan “Implementasi Kebijakan Penerimaan Siswa Baru Berbasis Sistem Zonasi di Kota Bandung” oleh Dian Purwanti dan kawan kawan (2019), kita bisa menemukan fakta bahwa sistem zonasi masih belum menjamin tercapainya tujuan untuk menghilangkan label sekolah favorit-non favorit.

Sistem zonasi juga belum bisa menambah angka lanjut-sekolah untuk kategori siswa yang Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP). Untuk penerimaan siswa SMP tahun 2018, calon siswa segmen RMP yang sesuai domisili secara otomatis dapat diterima di sekolah terdekat sehingga di atas kertas jatah RMP telah dipenuhi.

Namun, sekali lagi ditegaskan bahwa sangat sulit mengukur kevalidan siswa RMP apakah telah tepat sasaran atau tidak. Selain itu, penerbitan kartu keluarga yang menjadi dasar domisili calon siswa baru merupakan ranah dari Disdukcapil bukan ranah Disdik setempat, sehingga wajar celah ini bisa dimanipulasi datanya.

Orang tua masih bisa mencari celah merekayasa data agar anaknya bisa bersekolah di domisili sekolah favorit. Belum ada proses verifikasi ke lapangan oleh panitia sekolah. Jikalaupun ada, tetap saja sistem ini bisa diakali – saking sulitnya membuktikan domisili asli setiap siswa. Alih-alih meningkatkan akurasi, verifikasi lapangan malah membuang anggaran saja.

Adapun dari sisi pelajar, calon siswa yang berprestasi akademik bisa saja demotivasi. Mereka sangat mungkin merasa tidak perlu belajar serius lagi untuk bisa masuk ke sekolah favorit. Cukup menyewa rumah di radius sekolah favorit atau cukup tercatat di Kartu Keluarga sanak saudara saja, maka ia pasti diterima di sekolah tujuannya.

Perspektif zona nyaman


Kecenderungan berada di zona nyaman merupakan perilaku alamiah sehingga tidak jarang banyak pihak justru tertidur dalam situasi yang dianggap aman. Dengan sistem zonasi, sekolah setiap tahunnya dipastikan akan mendapatkan siswa didik – terlepas dari imej kualitas sekolah itu sendiri.

Menurut Pradewi & Rukiyati (2019), tidak adanya persaingan antara sekolah-sekolah untuk menarik peminat pendaftar malah akan menyebabkan sekolah tidak termotivasi untuk meningkatkan kualitas mereka.

Demikian juga jika teori zona nyaman ini dilihat dari sisi siswa yang mendaftar, siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi tidak perlu repot-repot melakukan upaya pengembangan diri yang memadai.

Hal ini tentu berdampak sangat buruk untuk kualitas pendidikan jangka panjang bangsa ini jika siswa malas mengembangkan diri. Padahal, tantangan, persaingan, dan kemajuan teknologi di setiap zaman terus meningkat dalam fungsi yang eksponensial.

Isu komersialisasi-kapitalisme bisnis pendidikan oleh sektor swasta.


Jika masyarakat menganggap fungsi pendidikan sebagai tiga fungsi Daniel Katz (1960) yaitu mempertahankan ego, nilai ekspresif, dan fungsi pengetahuan, maka masyarakat terutama kalangan menengah ke atas akan menempatkan diri sebagai konsumen di pasar pendidikan. Golongan ini siap membayar ongkos berapapun agar anaknya bisa bersekolah di tempat yang berkualitas.

Mari kita amati DKI Jakarta sebagai daerah dengan Peredaran Domestik Bruto tertinggi di Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana jika pendidikan yang disediakan oleh sekolah negeri pada akhirnya hanya cukup menampung beberapa siswa.

Dengan menimbang rasio sebaran kepadatan penduduk dengan kapasitas kuota sekolah yang ada, sektor swasta tentu ikut ambil bagian dalam pasar pendidikan yang menggairahkan ini.

Ketika sektor swasta mampu menyediakan kualitas pendidikan yang melebihi kualitas pendidikan sekolah negeri dan ketika total permintaan untuk layanan pendidikan jauh melampaui jumlah penawaran layanan pendidikan, wajar jika sektor swasta memberlakukan harga pasar yang tinggi seperti fenomena harga sekolah swasta di DKI Jakarta.

Beberapa waktu yang lalu banyak beredar informasi di sosmed tentang besaran uang masuk sekolah swasta, membikin wali murid pusing tujuh keliling. Besaran uang yg dibutuhkan untuk masuk Playgroup atau Kelompok Bermain saja, bisa jadi lebih besar dari biaya kuliah orang tuanya pada jenjang S2 di perguruan tinggi negeri.

Bagi calon siswa dari keluarga dengan kemampuan finansial menengah ke atas, tidak jadi masalah jika tidak mendapatkan kuota sekolah negeri karena kendala kepadatan penduduk. Mereka tentu masih bisa memanfaatkan layanan pendidikan yang disediakan oleh sektor swasta.

Lantas bagaimana jika calon siswa pada kasus di atas berasal dari keluarga yang tidak mampu? Tentu kita bisa menebak bahwa mereka tidak akan mampu melanjutkan pendidikan sekolah ke swasta, karena biayanya yang tidak masuk akal. Semoga fenomena di DKI Jakarta ini tidak menular ke daerah-daerah lain di nusantara.

Kritik dari aktivis pendidikan di Indonesia


Semua pihak tentu setuju bahwa pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia merupakan tujuan mulia. Seorang psikolog pendidikan, Bondhan Kresna (2019) sebagaimana dilansir Kompas, menyatakan sistem ini akan efektif jika fasilitas antar sekolah negeri dan kompetensi guru juga sama.

Pengamat pendidikan lainnya, Darmaningtyas (2019) – sebagaimana dilansir Kompas, turut mempertanyakan apakah kualitas guru antarsekolah sudah merata dan apakah fasilitas sekolah di setiap desa telah merata pula. Apalagi dua poin utama kritik ini harus dihadapkan pada jatah zonasi domisili yang bisa mencapai minimal 90% dari penerimaan siswa baru.

Epilog

Harus diakui bahwa strategi zonasi memang memiliki tujuan luhur yakni menyamakan kualitas pendidikan, akses pendidikan, dan distribusi pendidikan untuk semua lapisan masyarakat. Namun, seperti kata pepatah, “Ada sisi lain dari logam yang kita lihat”.

Memandang satu sisi sistem zonasi semestinya tidak membuat kita terlalu memandang sepele dan puas diri pada zona nyaman. Sebab, ada sisi lain dari kebijakan ini. Bisa saja kita malah tidak bersikap antisipatif dalam memandang kekhawatiran terkait zonasi, sehingga kita tidak bisa menyikapi risiko pendidikan dengan tanggap, terukur, dan cermat.

Referensi:

Andina, Elga. 2017. Sistem Zonasi Dan Dampak Psikososial Bagi Peserta Didik. Jakarta. Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis, IX(14)/II/Puslit/Juli/2017

Katz, D (1960). The functional approach to the study of attitudes. Public Opinion Quarterly, 24(2), 163–204. doi:10.1086/266945T

Põder, Kaire et al. 2016. Does School Admission by Zoning Affect Educational Inequality? A Study of Family Background Effect in Estonia, Finland, and Sweden, Scandinavian. Journal of Educational Research, DOI: 10.1080/00313831.2016.1173094.

Pradewi and Rukiyati. 2019. Kebijakan Sistem Zonasi dalam Perspektif Pendidikan. JMSP (Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan) Volume 4 Nomor 1 November 2019, http://journal2.um.ac.id/index.php/jmsp/ ISSN Online : 2541-4429.

Purwanti, Dian et al. 2019.  IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU BERDASARKAN SISTEM ZONASI DI KOTA BANDUNG. Jurnal Governansi, 5(1), p-ISSN 2442-3971 e-ISSN 2549-7138.

Thrupp, Martin. 2006. School Admissions and the Segregation of School Intakes in New Zealand Cities. Urban Studies, 44(7), 1393–1404.

48
0
Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer

ASN pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Sedang menjalani tugas belajar di PKN STAN

Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer

Zico Karya Saputra Domas ◆ Active Writer

Author

ASN pada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Sedang menjalani tugas belajar di PKN STAN

3 Comments

  1. Avatar

    Sistem zonasi hanya bagian saja dari sistem pendidikan secara keseluruhan, karena itu dipastikan juga bahwa sistem lainnya bekerja sinergis satu sama lain. Harapan ini sebetulnya sudah tersirat oleh pendapat para ahli, misalnya yg meragukan masalah ketersediaan fasilitas pendidikan berkualitas yang merata.
    Saya pribadi juga memandang perlunya sistem pendidikan kita juga didukung oleh program sosial budaya yang mendorong para orang tua menjadi orang-orang yang tercerahkan, sehingga segala stigma negatif dan hambatan psikologis yang menggelayuti dunia pendidikan kita dapat berkurang secara signifikan

    Reply
  2. Avatar

    👍👍👍👍

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post