Sosok Tengku Amir Hamzah: Sastrawan yang Birokrat, Bangsawan yang Demokrat

by Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer | Nov 10, 2023 | Sastra, Sosok | 0 comments

Biografi Singkat Tokoh: Biografi Singkat Tengkoe Amir Hamzah

Membicarakan mengenai Tengku Amir Hamzah, maka sebagian besar kita akan mengingatnya sebagai sastrawan. Sedikit sekali yang mengingat peran beliau sebagai birokrat. Mungkin karena masa jabatannya yang relatif singkat. 

Pada Oktober 1945 hingga kematiannya yang tragis pada Maret 1946, Amir Hamzah diangkat sebagai wakil pemerintah Indonesia yang baru saja berdiri untuk wilayah Langkat, suatu jabatan yang setara dengan Bupati pada masa orde baru. 

Selama mengemban amanah tersebut, beliau berhasil menyusun administrasi pemerintahan, bahkan meresmikan divisi lokal Tentara Keamanan Rakjat (cikal bakal TNI). Di zaman itu yang gonjang ganjing serba tidak menentu, tentu saja hal ini bukan perkara yang dapat dianggap remeh.

Dalam jajaran sastrawan Indonesia, ia lebih sering dianggap sebagai penyair Melayu religius mistik, namun sedikit yang menyadari perannya dalam Pujangga Baru. Sehingga nama-nama seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanoesi Pane justru lebih membumi daripada namanya. 

Kecintaannya pada tanah air membuat seluruh karyanya tak satu pun menyentuh istilah Eropa. Padahal ia pernah mengecap pendidikan barat. Dari tangannya, bahasa Melayu yang semula kaku menjadi begitu lentur, hidup, dan indah.

Biografi Singkat

Tengku Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara pada 28 Februari 1911. Ia terlahir dari kalangan feodal yaitu keluarga bangsawan Melayu dan merupakan cicit Sultan Musa, Sultan Kerajaan Langkat. 

Hal ini turut mendukung bakat sastra di dalam diri Amir Hamzah muda, karena rata-rata bangsawan Melayu pada masa itu adalah penikmat sastra terutama yang berbau agama, seperti Bustanus Salatin, Qishashul Anbiya`, dan Hikayat Ali Hanafiah. Apalagi ayahnya, Tengku Muhammad Adil, adalah penggemar sejarah dan sastra Melayu.

Pada tahun 1916, ia mulai belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS, setingkat SD) di Tanjung Pura, kota tempat kelahirannya. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan ke MULO (SMP) di Medan tahun 1924 kemudian pindah ke Jakarta. 

Setelah menamatkan pelajarannya di MULO, ia masuk Algemeene Middlebare School (SMA) A1 yaitu jurusan Sastra Timur di Solo. Ia kembali lagi ke Jakarta untuk mengikuti Rechtooge School (Sekolah Hakim Tinggi) sampai menjadi kandidat Sarjana Muda Hukum. 

Selama belajar di Pulau Jawa ia memasuki dunia pergerakan kemerdekaan dengan aktif di organisasi Indonesia Muda dan bersahabat dengan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Mr. Raden Pandji Singgih dan K.R.T Wedyodi

Di Tahun 1933, bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, ia mendirikan majalah Pujangga Baru, majalah sastra yang mendobrak kekakuan sastra di zaman itu. 

Ia pernah menyalin Bhagavad Gita dan dimuat bersambung mulai tahun 1933 hingga 1935 di majalah Pujangga Baru. Selain sastra berbahasa Melayu, ia juga tertarik dengan sastra asing terutama sastra Asia dan juga menerjemahkan karya sastra berbahasa India, Persia, dan Tiongkok yang kemudian berada dalam Setanggi Timur pada tahun 1939. 

Nyanyi Sunyi, kumpulan sajak-sajaknya, terbit pada tahun 1937. Karya-karya lainnya yang terserak di majalah Pujangga Baru, Panji Pustaka, dan Timbul dikumpulkan dalam Buah Rindu (tahun 1941).

Meskipun ia duduk dalam kepengurusan redaksi majalah Pujangga Baru, namun namanya tak pernah tercantum sebagai redaktur. Jika membuat sebuah karya sastra, ia tidak pernah menggunakan gelar “Tengku” yang menunjukkan asal-usulnya sebagai seorang berdarah biru. 

Dari sini dapat kita lihat bahwa Tengku Amir Hamzah adalah orang yang demokratis, ia tidak suka menonjolkan nasab yang mulia, baginya semua orang sama dan harus mendapat kesempatan yang sama, tidak peduli apakah seseorang itu raja atau rakyat jelata, yang penting adalah keuletan dalam berusaha.

Beliau dinikahkan tahun 1937 dengan puteri Kamalia, anak Pamannya yang selama ini telah berjasa menyekolahkannya sampai ke Pulau Jawa dan dianugerahi lima orang anak namun hanya satu yang tumbuh dewasa karena empat anaknya yang lain wafat di waktu kecil. 

Kemudian ia menjadi Pangeran dan bergelar Pangeran Indera Pura. Pada masa penjajahan Jepang, ia termasuk anggota Balai Bahasa Indonesia yang salah satu tugasnya adalah membuat istilah modern.

Revolusi sosial yang melanda kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tahun 1946 merenggut nyawa pahlawan bangsa ini. Penyair feodal yang demokratis ini akhirnya terpaksa menjadi korban revolusi dan wafat pada 20 Maret 1946. 

Namun menurut istrinya, mayat yang ditemukan ternyata bukan mayat Tengku Amir Hamzah. Pemerintah Indonesia mengakui perjuangannya dan menggelarinya Pahlawan Nasional di tahun 1977.

Raja Penyair Pujangga Baru

Istilah angkatan Pujangga Baru sebenarnya diambil dari majalah yang bernama serupa. Istilah ini dibuat oleh H.B Jassin untuk mengklasifikasikan sastrawan yang aktif dalam majalah sastra tersebut. 

Majalah Pujangga Baru sendiri lahir sebagai reaksi atas sensor yang diterapkan Balai Pustaka pada waktu itu. Jika dilihat dari karya-karya yang dihasilkan oleh sastrawan angkatan Pujangga Baru seperti Sutan Takdir Alisjahbana, tampak bahwa mereka telah terpengaruh dengan sastra barat. 

Tengku Amir Hamzah sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah formal Belanda, bahkan sempat masuk sekolah hukum yang tentu saja itu berarti ia pernah mempelajari pemikiran barat, juga tidak terlepas dari pengaruh ini. 

Namun dalam karya sastranya, tak sedikitpun ia menggunakan istilah barat bahkan yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia sekalipun, seperti mesin, telefon, dan mobil.

Sutan Takdir Alisjahbana, teman seangkatannya, mengakui memang Tengku Amir Hamzah sebenarnya adalah seorang yang berjiwa modern. Namun ia tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa dirinya adalah bangsawan Melayu dan juga ia tidak dapat melupakan kebaikan-kebaikan pamannya dalam menyekolahkannya. 

Hal ini terbukti di tahun 1937 ketika ia harus menuruti kehendak pamannya untuk menikahkan putrinya dengan Tengku Amir Hamzah yang berakibat ia tidak bisa menyelesaikan pendidikannya di sekolah hukum tersebut. 

Padahal sewaktu sekolah ia pernah jatuh cinta kepada seorang gadis Jawa, dan agaknya, cinta yang tidak kesampaian inilah yang sering menjadi tema dalam sajak-sajaknya.

Anggapan orang banyak, termasuk Prof. A. H. Johns bahwa Tengku Amir Hamzah merupakan sastrawan sufi sebenarnya tidak tepat. Karena dalam setiap sajaknya, tidak pernah menyebutkan kecintaan dan pujian kepada Tuhan secara langsung. 

Kecintaannya kepada Tuhan mengekspresikan ketidakmampuannya melawan takdir untuk mencintai kekasih dunianya, hingga ia sadar bahwa cinta pada Tuhan itulah cinta abadi yang harus dicari.

Namun sebelum sampai pada tahap kesadaran ini, ia senantiasa berada dalam keterombang-ambingan jiwa. Di satu sisi ia setuju dengan demokrasi, namun di sisi lain ia tak dapat membantah bahwa demokrasi bukannya tanpa cacat. 

Modernisasi menyebabkan para pemuda berlomba-lomba meninggalkan kultur budayanya masing-masing, tapi Tengku Amir Hamzah sendiri sebenarnya adalah korban dari kefeodalan budaya yang ia anut hingga  harus menggadaikan cintanya. Kefeodalan ini jugalah yang menyebabkan ia terbunuh karena  dianggap antek-antek Belanda.

Di samping itu, ia juga mencari kedamaian dalam menyembah Tuhan. Ia tidak ingin ada peperangan hanya karena perbedaan mengungkapkan cinta pada Tuhan, hal ini dapat dilihat dalam sajak Hanya Satu yang menggambarkan pertentangan umat Islam dengan kaum Kristiani. 

Namun ia sendiri masih belum bisa berdamai dengan hati. Hatinya menjerit tatkala takdir tak sesuai dengan harapan. Hal ini ia ungkapkan dalam sajak Hanyut Aku, Padamu Jua, Permainanmu, Sebab Dikau, Dalam Kelam, dan Doa Poyangku.

Tetapi setelah mengalami puncak kekecewaan hidup itu, Tengku Amir Hamzah mulai sadar bahwa kesedihan tidak akan menyelesaikan masalah. Takdir itu bukanlah hal yang harus disesali, karena ia berasal dari Yang Maha Abadi, tempat cinta pada akhirnya akan bermuara. 

Takdir tidak terjadi dengan sendirinya, ia terjadi atas proses dan sebab musabab. Inilah yang Amir Hamzah coba sampaikan dalam sajak Memuji Dikau, Turun Kembali, Subuh, Hari Menuai, Barangkali, dan Astana Rela.

Selain dari segi makna, penggunaan pola kalimat juga sangat menarik. Sajak-sajak Tengku Amir Hamzah menggunakan pola kalimat aktif (subjek, predikat, objek, keterangan), berbeda dengan sastra Melayu lama yang memakai pola kalimat pasif (predikat, keterangan, subjek, objek). 

Pola persajakan turut ia modernkan. Dalam pantun Melayu lama biasanya menggunakan pola ab-ab dalam satu bait, tapi sajak Amir Hamzah berpola ab-ab dalam satu atau dua baris, dan sama sekali tidak memakai sampiran. Ia juga memakai majas aliterasi dalam sajak-sajaknya.

Kata-kata yang dirangkai menjadi sajak-sajak fenomenalnya juga tersusun secara indah memakai kekuatan huruf tertentu. Umpamanya dalam kalimat Kudaduhkan di selendang dendang tampak sekali dominasi huruf d yang memberi kesan keceriaan. 

Atau dalam kalimat habis kikis dengan persamaan huruf i dan s yang memberi kesan betapa ia merasa kehilangan yang mendalam akan cinta pada kekasih pujaan hatinya. 

Selain itu sajak-sajaknya mampu keluar dari pola sastra lama yang sering bersifat tidak masuk akal, takhayul, dan terlalu boros dalam penggunaan kata-kata.

Inspirasi yang dapat diambil

Puisi-puisi Tengku Amir Hamzah memang lahir hampir seabad yang lalu, namun setiap karya sastra mempunyai jiwa, dan jiwa karya sastra Tengku Amir Hamzah tidak akan mati meskipun telah meninggal dunia dan bertemu dengan kekasih abadinya. 

Puisi Amir Hamzah juga mempunyai kelemahan. Chairil Anwar bahkan menyebutnya sebagai sastra hitam, karena sulit dipahami karena menggunakan istilah-istilah yang jarang digunakan dan sebagian besar puisinya bertemakan kesedihan dan kegelapan jiwa. 

Namun jika melihat perkembangan sastra saat ini, nampaknya karya sastra Amir Hamzah menciptakan jati diri sastra Indonesia yang sebenarnya. Ia tahu bagaimana memodernisasi sastra tanpa harus meninggalkan budaya leluhurnya dan beralih ke Barat. 

Meski terjajah sebagai pegawai kolonial, namun jiwanya tak pernah mau ditawan Belanda dan negara-negara bercorak kolonial lainnya. Karya sastranya sangat modern, kaya dan tajam, bahkan tanpa menggunakan satu pun unsur sastra Barat. 

Kematiannya di usia muda menginspirasi kita semua bahwa masa muda bukanlah masa untuk bersenang-senang tetapi saat yang tepat untuk bekerja, untuk melakukan sesuatu yang penting dan dia akan selalu menjadi kenangan manis. 

Pencarian identitas tidak serta merta melakukan hal-hal yang gegabah atau bertentangan dengan norma budaya. Sekalipun Anda tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan, bukan berarti  hidup tidak lagi berguna. Karena hanya bersama Tuhan  semuanya pasti  berakhir.

12
0
Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Author

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post