Skolastisida dan Barbarisme di Gaza

by Saiful Maarif ♣️ Expert Writer | Dec 18, 2024 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Saat suporter Maccabi Haifa menyanyikan chant  “tak ada lagi tahun ajaran baru di Gaza, tak ada lagi anak-anak di sana”, orang mungkin menilai memang seperti itulah publik Israel. 

Insiden yang menjadi bagian kerusuhan supporter Ajax Amsterdam dan Maccab Haifa tersebut memicu keprihatinan publik dunia atas arogansi dan barbarisme Israel. 

Bayangkan, korban pembunuhan mereka di Gaza
dengan sengaja dirayakan di level publik.  Meski begitu, nalar barbarisme tersebut bukan tidak memiliki jejak kesejarahan.       

  

Ketika Mongol Menyerbu Baghdad

Saat bangsa Mongolia menyerbu Baghdad, mereka mempergunakan segala cara barbar untuk menghancurkan karya peradaban Irak. Sungai yang mestinya mengalir jernih berubah warna menjadi hitam dan merah karena aksi pembakaran kitab-kitab perpustakaan dan pembunuhan di Baghdad. 

Bangsa Mongol sadar, menghancurkan Irak tidak akan cukup hanya dengan menghabisi makhluk hidup yang berada di dalamnya. Kitab-kitab yang menjadi sandaran lahirnya berbagai peradaban juga menjadi sasaran amuk beringas mereka untuk memastikan langkah penihilan peradaban. 

Setali tiga uang, langkah bangsa Mongolia tersebut dalam beberapa hal juga menjadi langgam tindakan Israel atas rakyat Palestina, khususnya Gaza. 

Dalam upaya untuk menghancurkan bangsa Palestina, mereka berupaya untuk menyingkirkan kaum intelektualnya. 

Israel dengan sengaja menargetkan tokoh-tokoh elite, dengan tujuan untuk mengacaukan struktur sosial dan moral, melemahkan garis perlawanan Palestina, dan melumpuhkan harapan pemulihan.

Apa itu Skolastisida?

Dalam konteks tersebut kita mengenal adanya skolastisida (scholacticide). Karma Nabulsi, profesor politik dari Oxford University, menjelaskan bahwa skolastisida sebagai penghancuran yang disengaja terhadap lembaga pendidikan. 

Ini mencakup segala bentuk penganiayaan, pemenjaraan, atau pembunuhan
terhadap pendidik, siswa, dan personil akademis lainnya.
Skolastisida berjalan beriringan dengan elitisida “pemenggalan kepala secara sistematis” terhadap kelas intelektual dan kepemimpinan suatu negara.

Sejalan dengan hal ini, menurut Euro-Med Human Rights Monitor, antara 7 Oktober 2023 dan 20 Januari 2024, Israel membunuh 94 akademisi, termasuk 17 profesor, 59 pemegang gelar PhD, dan 18 orang dengan gelar master. 

Serangan yang terus-menerus terhadap sekolah dan universitas telah merampas hak 625.000 anak usia sekolah dan 90.000 mahasiswa untuk mendapatkan pendidikan, membahayakan masa depan seluruh generasi. 

Hingga awal bulan April, Kementerian Pendidikan Palestina melaporkan bahwa lebih dari 5.479 siswa dan 261 guru di Gaza telah tewas dalam serangan Israel sejak tanggal 7 Oktober, dengan tambahan 7.819 siswa dan 756 guru terluka dalam agresi yang terus berlanjut.

Hanya dalam 100 hari pertama konflik Israel-Palestina, Israel mengebom setiap universitas di Jalur Gaza. Dalam enam bulan pertama, Israel telah menghancurkan atau merusak 85 persen sekolahnya dan kini hampir tidak ada sekolah di Gaza yang tidak rusak. 

Di antara mereka yang menjadi sasaran adalah Refaat Alareer, salah satu pendiri proyek We Are Not Numbers, yang dibunuh bersama keluarganya di Shuja’iyya. 

Sufian Tayeh, yang dikenal sebagai salah satu dari 2 persen peneliti teratas di seluruh dunia, juga terbunuh bersama keluarganya. Khitam Elwasife, seorang peneliti produktif dalam elektromagnetisme dan optik elektronik dan banyak korban tokoh intelektual lainnya. 

Konvensi internasional

Skolastisida pada hakikatnya langsung berhadapan dengan kesepakatan internasional tentang perlunya perlindungan terhadap sekolah dan fasilitas umum. 

Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya secara tegas menyatakan bahwa penyerangan terhadap sekolah merupakan pelanggaran, namun hal itu masih terus terjadi. 

Israel telah mengebom semua 12 universitas dan memusnahkan 195 perpustakaan, situs warisan, dan arsip, termasuk Arsip Pusat Gaza, yang menyimpan 150 tahun peninggalan sejarah. 

Penghancuran yang disengaja ini memutus hubungan Gaza dengan masa lalunya dan menyerang inti identitas budayanya.

Perdebatan tentang apakah serangan 10 Agustus terhadap Sekolah al-Tabein dibenarkan secara hukum atau tidak, karena pejuang Hamas mungkin atau mungkin tidak beroperasi di sana, pada dasarnya adalah percakapan yang secara kolektif tidak menyentuh inti persoalan. 

Menyerang Hak-hak Dasar Universal

Sekolah dimaksudkan untuk belajar. Tindakan militer semacam itu merupakan serangan langsung terhadap hak-hak dasar warga sipil, khususnya anak-anak.

Hak atas pendidikan tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak ini tetap berlaku bahkan selama perang, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Konvensi Jenewa Keempat. 

Bagaimana hak ini dapat dijamin bagi anak-anak Palestina jika sekolah mereka hancur menjadi tembok dan kawah yang runtuh? 

Pada dasarnya, serangan terhadap tempat-tempat belajar tidak hanya terjadi di Gaza. Menurut UNICEF, sejak eskalasi perang di Ukraina pada Februari 2022, lebih dari 1.300 fasilitas pendidikan telah rusak atau hancur. 

Menurut Koalisi Global untuk Melindungi Pendidikan dari Serangan (GCPEA), insiden yang menargetkan pendidikan dan penggunaan sekolah oleh militer meningkat hampir 20 persen pada tahun 2022 dan 2023 dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya.

Normalisasi Skholastisida

Skolastisida juga meningkat di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, tempat militer Israel sering menyerbu lembaga pendidikan, menangkap atau menahan mahasiswa, membatasi pergerakan mahasiswa dan staf pengajar, dan merusak kebebasan akademis dengan penutupan universitas.

Bagi warga Palestina, ruang pendidikan secara historis berfungsi
sebagai tempat penting untuk belajar, perjuangan revolusioner, pelestarian budaya, koneksi lintas geografi yang terfragmentasi, dan landasan untuk memberdayakan masyarakat menuju pembebasan, khususnya bagi para pengungsi. 

Hal ini masih berlaku, karena akademisi dan mahasiswa Palestina di Gaza terus bertahan hidup meskipun infrastruktur runtuh dan kehilangan pekerja pendidikan dan mahasiswa.

Karya intelektual warga Palestina tetap mengalir meski hak kebebasan fisik mereka terus berada di bawah teror Israel.  

Meski begitu, faktanya kemampuan masyarakat internasional untuk menegakkan perlindungan yang tercantum dalam hukum humaniter internasional, khususnya Konvensi Jenewa, jelas menurun. 

Undang-undang ini, yang diratifikasi oleh lebih dari 190 negara, mengamanatkan perlindungan warga sipil, termasuk anak-anak, selama konflik bersenjata‚ dan menyerukan penuntutan terhadap pelanggar. 

Namun demikian, komitmen ini gagal melindungi anak-anak di Gaza dan zona konflik lainnya. 

Meskipun seruan untuk tindakan pemulihan segera gencar dikumandangkan, seperti gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan, hal itu tidak dapat menggantikan tindakan tegas untuk menegakkan ketentuan hukum internasional. 

Pengkhianatan Prinsip Hukum Internasional

Ketika masyarakat internasional menoleransi pelanggaran hukum internasional selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun, hal itu menormalkan erosi hukum yang terjadi yang mengesankan penerimaan. 

Penerimaan bertahap ini melemahkan norma-norma global, membuat tindakan yang dulunya tidak terpikirkan menjadi dapat ditoleransi. 

Ketika penargetan sekolah menjadi semakin dapat diterima, pengkhianatan mendasar terhadap prinsip-prinsip inti rezim hukum internasional dan perlindungan warga sipil telah terjadi.

2
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post