Sisi Lain Perang Rusia-Ukraina: Konflik Sesama Chechnya dan Cerita The Highlander

by Saiful Maarif ♣️ Expert Writer | Mar 9, 2022 | Politik | 0 comments

Highlander adalah sebuah istilah tentang pengagungan kekuatan orang-orang Skotlandia pegunungan. Diceritakan, highlander adalah manusia-manusia yang diberkahi keabadian umur. Keberadaan para highlander ditempa oleh kerasnya alam pegunungan Skotlandia dan anugerah fisik mereka yang kuat dan trengginas.

Kombinasi kondisi tersebut menjadikan mereka sebagai individu petarung yang menggiriskan dan pilih tanding. Konon, keberadaan mereka hanya dapat dihilangkan oleh tebasan pedang khusus yang mampu mengakhiri status susah-matinya mereka. 

Namun, karena lebih berupa cerita dari mulut ke mulut, fiksi, dan mitologi, highlander tidak ditemukan dalam kondisi nyata dan lebih banyak menghiasi dunia hiburan. Salah satunya film. Penulis cerita dan sutradara Gregory Widen sukses mengemas skenario tentang highlander dalam mini seri televisi maupun layar kaca beberapa dekade yang lalu.     

Highlander – Chechnya dalam Perang Rusia – Ukraina

Meski lebih banyak menghiasi pemahaman fiksi, profiling tentang para highlander tersebut menyeruak dalam diri para petempur Chechnya yang terlibat dalam perang Rusia – Ukraina belakangan. Kecamuk perang Rusia dan Ukraina telah terjadi. Masing-masing pihak tentu saja mengajukan alasan dan klaim kebenaran atas perang yang berlangsung.

Eskalasi perang dan dampaknya juga meluas ke berbagai bidang. Dalam sejarahnya, dampak dan luka psikologi sosial warga akibat perang membutuhkan waktu pemulihan yang lama, dan demikian pula dalam perang Rusia – Ukraina.    

Namun, di balik sengkarut permasalahan perang yang melatari, terdapat cerita tentang epik highlander pada para petempur Chechnya dalam perang Rusia – Ukraina dan drama di balik pilihan politik mereka dalam perang tersebut.

Chechnya adalah republik otonom yang menjadi bagian Federasi Rusia. Berada di kawasan Kaukasus Utara, warga Chechnya harus menghadapi kondisi alam yang keras dan penuh tantangan. Bentang alamnya yang berupa pegunungan sesungguhnya memiliki potensi kesuburan tanah yang baik namun memberi kesulitan besar dalam hal akses.

Selain itu, Chechnya juga memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah dalam bentuk gas dan minyak. Bisa jadi, karakteristik warga Chechnya dan sekitarnya pada dasarnya adalah keras dan penuh keberanian dalam bertempur. Salah satu petarung tidak terkalahkan di UFC (Ultimate Fighting Champion) adalah Habib Nurmagomedov yang berasal dari kawasan Dagestan, tidak berapa jauh dari ibu kota Chechnya, Grozny.

 

Deportasi dan Profil Highlander

Di atas semua itu, keberadaan Chechnya sebagai pintu daratan terpenting Rusia ke wilayah Kaukasus Utara menjadikannya sebagai wilayah yang tidak akan dilepas Rusia at all cost.  Di lain sisi, pengaruh Islam telah membentuk Chechnya berabad lampau.

Identitas Islam pada warga Chechnya ini menjadikan mereka berbeda secara kontras dengan Rusia pada umumnya. Dalam banyak hal kondisi demikian mendorong mereka untuk merdeka dan memisahkan diri dari Rusia.

Kisah perlawanan mereka kepada Rusia telah dimulai sejak awal Abad 19. Di bawah kekuasaan komunisme Joseph Stalin, persekusi dan pengusiran warga Chechnya en masse diberlakukan hingga membuat mereka diasingkan ke kawasan terpencil, sepi nan jauh di Siberia dan Kazakhstan.

Pengusiran ini disertai dengan jatuhnya korban jiwa ribuan warga etnis Chechnya per harinya. Belakangan, Parlemen Eropa menilainya sebagai tindakan genosida.  Secara khusus, kondisi demikian membentuk karakter sosial warga Chechnya yang bisa jadi memahami nasionalisme mereka dengan cara yang sangat spesifik: bertarung selaku pejuang dan petempur.

Mereka harus bertarung untuk mendapatkan identitas kebangsaan mereka dengan taruhan apapun.  Dalam kaitan demikian, media Foreign Policy eksplisit menilai para petarung Chechnya sebagai petempur yang agresif dan brutal, dalam banyak hal serupa cerita the highlander sesungguhnya. 

Chechnya vs Chechnya

Sayangnya, kepentingan politik memisahkan soliditas perjuangan mereka. Keruntuhan Soviet dan Yugoslavia, disusul friksi dalam diplomasi ke Rusia, membelah kepentingan yang membuat dua kubu berbeda: pro-Rusia dan anti-Rusia.  

Belakangan, sosok Ramzan Kadyrov sering muncul menjadi pemberitaan sebagai pemimpin Chechnya yang pro-Rusia, diiringi ribuan pendukung militernya. Ia meneruskan langkah politik ayahnya, Akhmad Kadyrov.

Selepas perang Chechnya – Rusia ke-1 pada 1994, Chechnya berada dalam kondisi distabilitas dengan keberadaan para kriminal, panglima perang (warlord), berbagai milisi liar bersenjata, dan gerakan wahabisme radikal.

Akhmad Kadyrov sebagai orang yang sangat berpengaruh di Chechnya sangat prihatin dengan kondisi ini. Putin dengan cerdik berhasil memanfaatkan kegelisahan tersebut dalam bentuk dukungan kepada Akhmad yang akhirnya menjadi resiprokal.

Ramzan Kadyrov dengan bangga menunjukkan kedekatan dan dukungan pada Rusia dan Putin dalam perang dengan Ukraina. Pilihan politik ini berseberangan dengan kubu yang anti-Rusia pada diri pimpinan mereka, di antaranya adalah Akhmad Zakayev, Isa Munaev, dan Adam Osmaev.

Ketiganya secara militer berada di kubu Ukraina, memimpin milisi Chechnya berperang dengan Rusia di wilayah Timur Ukraina, yakni Donets dan Lughants. Kini, dalam sengkarut perang di seluruh wilayah Ukraina dengan Rusia, mereka di antaranya harus melawan Kadyrovtsy, tentara Chechnya pimpinan Ramzan Kadyrov.

Sebangsa dan setanah air, Chechnya melawan Chechnya, mereka harus berjibaku saling membunuh di tanah negara tetangga.         

Menariknya, sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai, Vladimir Putin menyampaikan rilis berita yang eksplisit bersimpati kepada muslimin di dunia. Simpati tersebut disampaikannya dalam rilis tahunan pada akhir tahun lalu, sebagaimana diberitakan kantor berita Rusia —Telegraph Agency of the Soviet Union (TASS)—dengan mengangkat kebebasan barat yang keblablasan dalam memperlakukan umat Islam secara politik, militer, dan budaya.

Putin di antaranya mengangkat perkara invasi ke Irak dan Timur Tengah oleh Barat dan sekutu-sekutunya, juga penghinaan majalah kartun Charlie Hebdo kepada Nabi Muhammad yang baginya sudah di luar batas kepatutan bertoleransi.

Pada akhirnya, situasi “pra kondisi”, diplomasi, dan negosiasi saat perang biasanya penuh dengan idiom politik yang memiliki jalan dan maksud tersendiri yang tidak mudah ditebak.

Pernyataan empatik Putin bisa saja menyiratkan simpati dan dukungannya pada entitas muslim di Rusia dan seluruh dunia, karena, katakanlah, dia berada dalam konteks dukungan dan kepentingannya menjaga “kebhinnekaan” Rusia itu sendiri.

Namun, pernyataan Putin juga bisa menjadi pertanyaan besar tentang ketulusannya, tatkala ingatan tertuju pada kekejaman tentara Rusia, di bawah komandonya, yang membumihanguskan Grozny dan wilayah lain Chechnya, serta persekusinya terhadap muslimin di sana. Sewaktu pemboman Grozny, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengidentifikasinya sebagai kota paling hancur sedunia. 

Epilog: Homo Homini Lupus

Pada diri umat muslim Indonesia, bonding keummatan dan empati kepada muslim Chechnya terlihat sangat kuat. Masih segar dalam ingatan bagaimana solidaritas umat muslim Indonesia menggalang dukungan pada muslim Chechnya saat digempur kekuatan militer Rusia dengan skala penuh dan tanpa tedeng aling-aling.  

Namun demikian, tidak butuh waktu yang lama untuk menunjukkan dukungan yang demikian besar dari publik Chechnya, secara politik maupun militer, kepada Rusia dan Putin.  

Artinya, dalam beberapa hal mendasar, muslimin Indonesia, yang sangat dekat secara emosional dengan muslimin Chechnya karena perlakuan brutal Rusia dulu, patutnya mampu mencerna dengan jernih sikap yang tepat tentang posisi politik Rusia dan perang dengan Ukraina kini.              

“Politik membuat kebohongan menjadi demikian manis disampaikan dan mampu menjadi hal yang dipercaya; politik pun mampu mengemas perang menjadi seolah-olah hal yang wajar dilakukan”, sebuah ujaran mengatakan.

Ujaran demikian sesungguhnya bukan sepenuhnya perihal baru. Mungkin, inilah kecenderungan secara mendasar selaku zoon politicon yang menjadi salah satu perhatian Aristoteles dahulu kala.

Sebelumnya, dalam karya sastra politik berjudul Asinaria, Plautus menyebut entitas berkecenderungan seperti ini, atau malah secara umum sebagai menungso, sebagai homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya).

Pada kasus perang Rusia – Ukraina dan keterlibatan the highlanders Chechnya di dalamnya, kita mampu dengan mudah menemukan relevansi ujaran-ujaran kuno tersebut di dalam konflik yang terjadi.

Wallahu a’lam.          

2
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post