Sisi Lain dari Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi di Daerah (Sebuah Catatan Harian)

by | May 4, 2018 | Birokrasi Berdaya | 37 comments

Saat hendak ke lapangan tenis kemarin sore, saya kaget mendapati enam panggilan tak terjawab di ponsel. Mengagetkan, panggilan itu berasal dari atasan langsung saya ketika masih menduduki jabatan struktural. Karena sejak berhenti setahun yang lalu, kami tak pernah lagi berkomunikasi lewat telepon.

Saya menelepon balik dan memohon maaf. Beliau menjawab bijak, “Tidak apa-apa, Dek.” sambil tertawa. Kami berbasa-basi sejenak bertukar kabar tentang keluarga.  Lalu sesudah jeda beberapa saat, saya pun memberanikan diri bertanya mengapa beliau menelepon.

Straight to the point, beliau menjawab bahwa ia penasaran saya tidak ikut seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama yang digelar oleh pemerintah daerah di tempat kami bekerja. Sebagai orang yang pernah memimpin saya beberapa tahun, mungkin dia menganggap saya bisa bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan salah satu jabatan yang lowong itu.

Saya tersentuh dengan perhatiannya. Tapi hati saya sama sekali tidak bergeming. Saya katakan bahwa peluang saya lulus adalah “nol”. Karena seleksi terbuka itu hanyalah akal-akalan kepala daerah untuk mengelola birokrasi sebagai arena praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).

Dalam dua pilkada sebelumnya, saya selalu berdiri pada posisi “netral” (tepatnya “bukan pendukung”). Sesuatu yang lumrah di alam demokrasi, tetapi menjadi “dosa tak berampun” di tangan pemimpin yang “primitif”. Karena pilkada dianggap sebagai perebutan “kue kekuasaan”, maka dengan tidak terlibatnya saya sebagai pendukung, maka tentu saya tidak berhak ikut menikmati jatah kue yang mereka rebut dengan susah payah.

Atasan yang baik ini mencoba meyakinkan saya, bahwa seleksi ini akan jujur dan transparan. Saya hanya tertawa kecil mendengarnya. Merasa lucu dengan adanya dua kata itu dalam kebohongan terang-benderang ini. Pengalaman saya ketika lulus terbaik di Provinsi, Gubernur menggunakan “hak prerogatifnya” memilih orang yang kualitasnya “lebih rendah” dari saya karena di matanya saya bukan siapa-siapa. Saya bekerja di daerah yang jauh dari ibukota provinsi. Jelas luput dari pengamatan visual sang gubernur. Baginya, saya bukan “pejuang” yang patut “diganjar” dengan sebuah jabatan pimpinan tinggi.

Budaya “balas budi dan balas dendam” yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan demokrasi kita pasca reformasi ini, yang kemudian menjalar hingga ke daerah-daerah, membuat kesempatan banyak pegawai untuk bersaing secara sehat menjadi tertutup. Muncullah cerita tentang jual beli jabatan yang bagi sebagian birokrat dianggap peluang emas atau jalan pintas untuk meraih kedudukan secara instan. Cukup dengan segepok rupiah ataupun dolar, jadilah. Singkatnya, kata saya kepada beliau, percuma saya ikut seleksi karena saya bukan “pendukung” orang ini (tentu dengan nada santun).

Saya pikir, dia akan segera menghibur saya, menutup telepon lalu membiarkan saya berangkat ke lapangan tenis. Anak-anak juga terdengar mulai gelisah. Rupanya saya keliru. Dia katakan pilkada sudah lama berlalu, pasti sudah tidak berpengaruh dalam seleksi ini.

Saya jawab, ini bukan soal waktu. Ini soal selera. Saya bukan orang yang masuk dalam radar selera sang big boss. Pandangan saya tentang pemerintahan yang baik dan buruk juga berbeda dengannya, dengan demikian kecil kemungkinan bisa berpadu dalam tataran praksis.

Pandangan saya tentang seleksi terbuka juga berbeda jauh dengannya. Seleksi terbuka, menurut saya adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kinerja pemerintahan melalui penempatan orang-orang kompeten di berbagai bidang pekerjaan (jabatan), tetapi big boss kita hanya melihatnya sebagai jalan mendudukkan orang-orang yang dia like dalam jabatan-jabatan birokrasi yang ada. Lalu yang dia like ternyata hanya anak, menantu, dan para “penyumbang” tetapnya.

Lihatlah betapa hebat anak-anak, menantu atau penyumbang-penyumbang tetapnya. Mereka terpromosi begitu cepat melebihi kecepatan pegawai pada umumnya. Karier mereka laksana roket yang meluncur cepat menembus awan. Sementara orang lain harus merangkak dan berjuang dengan “berdarah-darah” sekedar untuk naik satu tingkat. Tetapi adakah dampaknya bagi perbaikan kinerja organisasi sektor publik kita?

Itulah yang menjadi sumber dari karut marut atau rendahnya kualitas pelayanan publik kita. Ruh seleksi terbuka itu sebagai “perbaikan” kinerja aparat, perbaikan kualitas pelayanan, dan terutama perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang dikelola oleh birokrasi, hilang sama sekali. Padahal semakin banyak orang berkinerja tinggi yang dipekerjakan oleh organisasi akan membuat kinerja organisasi juga  meningkat. Tentu yang paling diuntungkan adalah masyarakat sebagai pihak yang menerima layanan dari birokrasi. Itulah esensi dari seleksi terbuka.

Kelemahan lain proses seleksi terbuka kita adalah tidak adanya suatu mekanisme penjamin mutu yang credible untuk memastikan seluruh tahapan proses dan prosedur seleksi terbuka itu berjalan dengan jujur. Tidak ada standar baku yang bisa digunakan untuk mengakreditasi seluruh proses dan hasil-hasilnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara. User dan panitia seleksi bekerja tanpa parameter yang jelas sehingga terkesan  hanyalah formalitas. Kualitas lulusan di daerah yang satu dengan daerah yang lain bisa sangat berbeda. Kepala daerah atau panitia seleksi dengan leluasa bisa ‘mempermainkan’ passing grade agar orang yang terpilih sesuai dengan keinginannya.

Yang lebih parah lagi, proses seleksi yang penting ini ternyata berjalan tanpa pengawasan. Padahal standardisasi dan pengawasan yang baik diperlukan untuk memastikan agar seluruh pejabat pimpinan tinggi pada setiap institusi pemerintahan yang ada di Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni. Bukankah JPT di daerah yang satu dengan daerah yang lain relatif sama tanggung jawab dan beban kerjanya? Risiko yang harus mereka hadapi juga bukankah kurang lebih sama? Dan tentu saja hak-hak kepegawaiannya pun pasti sama. Sehingga tentu tidak wajar apabila ada pejabat tinggi pratama di sebuah daerah, kualitasnya hanya sekelas pelaksana di daerah lain.

Untuk sederhananya, mari kita bandingkan seleksi terbuka itu dengan proses rekrutmen seorang driver atau seorang baby sitter. Saya yakin tidak ada orang yang mau bermain-main dengan proses seleksinya. Karena kesalahan dalam memilih driver atau baby sitter akan langsung dirasakan oleh user-nya. Tujuan rekrutmennya jelas, standar kompetensinya juga jelas, dan hasil yang diharapkan juga jelas. Yaitu seorang driver atau seorang baby sitter yang bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Sang driver misalnya harus mahir mengemudikan kendaraan, paham aturan lalu lintas, dan tentu saja, pintar merawat atau menjaga kondisi kendaraan agar tetap baik. Sang baby sitter harus telaten, bisa mengurus bayi dengan baik, penyayang dan sebagainya.

Jadi, siapa pun, di mana pun, dan kapan pun orang merekrut driver atau baby sitter, tujuannya tidak mungkin berbeda. Caranya mungkin berbeda-beda, tetapi standar keahlian yang dituntut pasti relatif sama. Begitulah seharusnya seleksi terbuka itu dijalankan, steril dari tujuan-tujuan lain kecuali untuk menghasilkan pejabat birokrasi berkualitas agar pemerintahan bersahabat dengan rakyat.

Entah setuju dengan pendapat saya atau tidak, tetapi karena dia tetap terdiam, saya lanjutkan saja penjelasan saya, bahwa selama proses yang menggunakan uang rakyat ini tidak dibenahi, maka selama itu pula seleksi terbuka tersebut tidak akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, atau bagi bangsa dan negara.

Jadi, untuk apa saya mengikuti sebuah proses seleksi yang hasilnya tidak terukur, sarat kepentingan pribadi, dan relatif tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Di sisi kita para ASN, mungkin hanya buang-buang waktu, tenaga dan pikiran. Begitu pun di sisi para penyelenggara, kegiatan ini hanya semacam obyekan baru yang bisa jadi sumber penghasilan tambahan lainnya.

Yang merisaukan hati adalah ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kadang-kadang yang paling banyak menghambat berjalannya proses reformasi birokrasi di daerah adalah justru tangan-tangan politisi yang kepadanya disematkan jabatan sebagai pembina kepegawaian. Ironis, bukan? Si pembina adalah si penghancur itu sendiri.

Beliau merespon dengan berdehem beberapa kali, lalu menyatakan setuju  dengan pendapat saya. Tetapi beliau lalu mengalihkan pembicaraan dengan menyatakan keprihatinannya terhadap pejalanan karier saya. Saya katakan bahwa saya tidak keberatan dengan kondisi saya saat ini. Pegawai Negeri Sipil berpangkat Pembina Tk I golongan ruang IV/b, digaji setiap bulan, tetapi tidak mempunyai tugas dan fungsi apa-apa. Masuk kantor hanya sekedar mengisi absen, duduk ngopi sambil ngudut menunggu matahari sedikit lebih tinggi sebelum akhirnya pamit pulang. Kelihatannya menyedihkan, tetapi bagi saya, ini adalah blessing in disguise, sebuah kesempatan beristirahat dari beban kerja yang selama lebih 27 tahun terakhir ini saya geluti tanpa pernah mengambil cuti tahunan. Sebuah jeda yang bisa saya manfaatkan untuk melakukan hal-hal lain yang jarang saya lakukan sebelumnya. Saya jadi lebih sering membaca dan menulis, sesuatu yang sangat sulit saya lakukan ketika saya begitu aktif bekerja sebagai birokrat.

Lagi pula, seiring dengan makin menuanya usia, menduduki jabatan struktural bukan lagi prioritas dalam hidup saya. Banyak jalan untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Tanpa jabatan struktural pun, saya tetap masih bisa berkontribusi terhadap negeri ini.

Sebagai seorang pegawai, keinginan terbesar saya sekarang hanyalah bekerja dengan tenang. Menyumbangkan tenaga, pikiran dan kemampuan saya dengan keikhlasan yang lahir dari kebahagiaan mengabdi kepada masyarakat. Berjuang agar karya-karya saya bisa dinikmati oleh banyak orang, dan saya pun mendapatkan imbalan yang halal dan memadai untuk menghidupi istri dan anak-anak saya.

Jika pemerintahan sekarang tidak memberi saya kesempatan untuk menduduki jabatan penting dengan peluang berkontribusi secara maksimal, saya cukup bahagia dengan kondisi saya sekarang. Berkarya semampu saya dan berharap karya saya tetap bermanfaat bagi orang banyak.

Saya tidak mau disibukkan dengan huru-hara politik yang terjadi di sekitar saya, karena para politisi itu bekerja entah untuk tujuan apa. Rezim boleh berganti, pemimpin boleh datang dan pergi, tetapi pekerja birokrat yang profesional akan selalu ada untuk rakyat, dan bekerja bagi kemajuan bangsa dan negara.

Di luar rumah, anak-anak terdengar makin ribut memanggil saya karena hari makin sore. Akhirnya, tanpa menunggu komentar lebih lanjut dari beliau, saya mohon diri. Tak lupa berterima kasih sekali lagi atas perhatiannya kepada saya. Saya akhiri perbincangan itu dengan permohonan maaf, demi menepati janji pada anak-anak.***

 

 

4
0
Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Andi P. Rukka ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Author

ASN di Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wajo. Tulisan Andi P. Rukka sangat khas, berusaha mengkritisi ketidakberdayaan sebagian besar birokrat di negeri ini.

37 Comments

  1. Avatar

    ternyata realita itu terjadi di banyak daerah… sudah saatnya dilakukan perubahan…. mulai dari mana dan siapa yang harus memulai….

    Reply
  2. Avatar

    Masyaallah… Salam kenal Pak Andi. Jujur, hati saya bergetar ketika membaca tulisan bapak. Sangat bagus dan mengena sekali, seakan ada ruh yang kuat ketika bapak menuliskannya. Ngeri banget ya Pak, kondisi birokrasi kita saat ini. Hampir gak ada bedanya dengan tahun-tahun yang dulu. Hanya saja, yang sekarang “cover”nya bagus banget, sementara isinya mungkin lebih parah.

    Tapi bagaimanapun juga kita harus tetap optimis akan karir dan perbaikan wajah birokrasi kita ke depan. Lilin harapan itu ada pada kekuatan doa dan hadirnya pertolongan Tuhan di saat yang tak terduga. Saya kerap kali mengalami itu. Banyak cara-cara Tuhan yang tidak masuk dalam pikiran saya namun bekerja sangat efektif.

    Tentunya saya harus banyak belajar dari pengalaman Pak Andi yang telah sekian lama menggeluti dunia birokrasi, salah satunya dengan membaca tulisan bapak di website birokrat menulis ini. Di tunggu tulisan berikutnya ya Pak Andi.

    Salam

    Reply
  3. Avatar

    Pas banget…..
    mungkin memang jamak terjadi di seantero nusantara ya, Pak Andi…..

    Reply
    • Avatar

      Ternyata sudah separat itu, ya Bu Dewi. Semoga tulisan ini dibaca oleh pengambil kebijakan agar mereka lebih hati-hati dalam membuat kebijakan serupa.

      Reply
  4. Avatar

    saya pernah mengalami kerja di jaman ORBA meskipun hanya 4 thn an….perbandingan untuk pengembangan karier dan ketenangan dalam bekerja pada masa ORBA dan orde reformasi saat ini, ternyata lebih terarah dlm pengembangan karier dan lebih nyaman dan tenang pada masa ORBA.

    Reply
    • Avatar

      Betul. Karena pada zaman Orba, Kekuasaan masih bersifat sentralistis. Pejabat-pejabat daerah tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk mengatur pengembangan karier pegawai di daerah, kecuali untuk hal-hal yang bersifat sepele.

      Reply
  5. Avatar

    Pertanyaan saya, dimana Korpri? Korps yg seharusny memberikan perlindungan kepada para anggotanga. Korps kita tinggal nama, tanpa aksi yg jelas, tak punya nilai tawar. Anehnya korps ini hanya ”muncul” 5 tahun sekali.
    Kedepan, peringkat dan nilai seleksi harus diumumkan ke publik, sehingga kepala daerah juga diawasi publik langsung. Publik akan tau, dan merasa aneh dan fatal jika kepala daerah tidak memilih orang dengan nilai terbaik. Semoga….

    Reply
      • Avatar

        Apa yg bapak tulis tentang Korpri di tulisan tsb benar terasa dan jamak terjadi di semua level pemerintahan. Dan saya tersenyum ketika bapak menggambarkan tentang “upacara” dan “iuran”
        Kenapa serikat pekerja atau serikat buruh selalu punya posisi tawar sementara korps kita tidak? tentu akan ada yg bilang tidaklah “apple to apple” membandingkan 2 hal tsb. Tapi bukankah esensinya sama?

        Reply
        • Avatar

          Betul. Harusnya sama. Karena kebutuhan politisi kepada kita sama besarnya dengan kebutuhan perusahaan terhadap pekerjanya.👍

          Reply
  6. Avatar

    Bgmna tanggapanta senior terkait pernyataan dari Presiden Erdogan yg pernah viral itu..?

    Krg lebih….
    “Kalo orang baik tidak terjun, maka orang jahat yg mengisi”..

    Reply
    • Avatar

      Ersogan mengutip Plato. Ada di buku saya POLITIK, BIROKRASI, & KEBIJAKAN PUBLIK yang sudah kita miliki, dinda. Ai, jangan2 belumpi kita baca, hehehehe

      Reply
      • Avatar

        dimana bisa beli buku ta pak Andi P.Rukka ?

        Reply
  7. Avatar

    Karut marut adalah suatu kondisi yang harus kita terima saat ini, suka atau tidak kita dipaksa berada didalamnya, walaupun kita tahu itu semua panggung sandiwara. Yakinlah kakandaku, semua akan indah pada waktunya. Selamat melaksanakan tugas, salam hormat.

    Reply
    • Avatar

      harus diterima dan harus dilawan. Perlawanan saya dengan menulis dinda. Salam hormat dan salam rindu, cieee. lama sekali ndak jumpa.

      Reply
  8. Avatar

    Alhamdulillah.. Terimakasih bg, izin menarik hikmah.. Insyaallah kita bisa lebih ikhlas dan menggapai ridho Allah taala.. Sukses selalu abangda, from purna 05 Aceh

    Reply
    • Avatar

      Terima kasih adinda. sukses juga.

      Reply
  9. Avatar

    Sejuju Bang, Itulah kondisi yg terjadi selama ini di tataran birokrat kita…

    Reply
    • Avatar

      Makasih, dinda. Jadi semangat

      Reply
  10. Avatar

    … Lalu apa faktor penyebab utamanya jika kita memakai logika sebab akibat ??

    mentalkah ? … budayakah ? … ideologi ..?? sistem politik ..?? atau ..??
    sederet spekulasi akan timbul sesuai dengan sudut pandang masing2 … truss .. bagaimana dengan cost politik atau money politik yang dikeluarkan oleh para kandidat ?? apakah itu ikut berpengaruh dalam “opini” yang kakanda tulis ..??

    tapi btw … didepan kita adalah pilihan2 yg harus dipilih …

    idealisme kita memang selayaknya tidak boleh tertukar dengan sebuah “kemunafikan” yang menghasilkan “kebobrokan” rekruitment birokrat …. lalu apakah semua kita yang memiliki itu harus menyerah dan menjadi “penonton” kinerja birokrasi yang semakin “terpuruk” akibat pola rekruitment itu ..?? tidak bisakah kita tetap memilih untuk masuk mengikuti irama “drama kemunafikan” itu … lalu mengubahnya dari dalam dengan segenap resiko yang akan dihadapi ..?? atau memang harus meninggalkannya dan memilih jalur pengabdian lain ..?? beri adindamu ini pencerahan kakanda … yang juga terperangkap dalam situasi “DISSONANCE COGNITIVE” .

    Reply
    • Avatar

      Pertama-tama, selamat atas kedudukan adinda sekarang. Semoga amanah dan dicapai melalui proses yang fair dan jujur sehingga tidak seperti yang saya tulis di atas. Mungkin adinda lebih paham penyebabnya karena sudah berada di dalam sistem. Bahwa apakah itu disebabkan karena mental, budaya, atau sistem politik, tentu bisa dipilah berdasarkan wilayahnya. Cuma, kalau sekarang terjadi dissonance cognitive, itu pasti karena adinda masih memiliki idealisme. Sistem sekarang melahirkan perjudian alias untung-untungan. Jika kita berada pada tempat dan waktu yang tepat, ya kita selamat, sebaliknya kalau tidak, wassalam. Tetapi kita tentu tidak bisa membiarkan semua ini berlangsung terus, bukan?

      Reply
  11. Avatar

    Jabatan adalah titipan..
    (Makna titipan berarti ada yg nitip)

    Jabatan adalah amanah..
    (Maknanya adalah kepercayaan)

    Setuju dengan senior.. ijinkan saya utk selalu mengikuti bimbingan.. tetap kerja keras..kerja cerdas..kerja ikhlas..

    Salut senior.. BNEB

    Reply
    • Avatar

      Betul sekali adinda. Jabatan dan amanah kepada mereka yang berkuasa juga adalah titipan dan amanah yang harus mereka tunaikan dengan sebaik-baiknya. Kalau mereka melaksanakannya dengan cara yang salah, kita harus melawannya. Saya tidak menuntut diberi jabatan. Seperti yang saya tulis, saya tetap bahagia dengan keadaan saya. bukankah lebih nikmat hidup tanpa beban tanggung jawab yang berat tapi téta terima gai? hehehe. salam Dinda.

      Reply
  12. Avatar

    Langkah hebat bro

    Reply
    • Avatar

      Makasih saudaraku yang selalu mensupport

      Reply
  13. Avatar

    Hahahaha,, dunia birokrasi SPT itulah, netral salah, ga netral salah juga,,intinya kita hrs tetap punya pendirian teguh ABG ASN sejati, mmg dlm ketentuan kepegawaian itu, asesment itu salah satu persyaratan JPT, saya dua kali seleksi di kemendes , dgn bekal segala pengalaman di daerah termasuk inovasi daerah, ga tertarik tu pejabat pusat dgn org lokal kecuali ada backing, kita bisa kalah dgn eselon dibawah kita yg menurut sy juga ga ada pengalaman aplikasi dilapangan, pdhal yg mau dilayani adalah daerah,,menurut cerita teman yg lulus hrs ada unsur yg mampu pengaruhi menteri spy bs lulus, ya kita hanya bisa sampai masuk 3 besar, tp tdk akan pernah berhenti untuk selalu bertarung, dan tdk pernah mau pakai rupiah atau dollar,, mahal cuy

    Reply
    • Avatar

      Kesimpulannya mahal ya, daeng. Sabar meki. Kita masih bisa berkarya di tempat lain.

      Reply
  14. Avatar

    Setuju bang, ini yang terjadi pasca otonomi daerah dimana penempatan jabatan bukan karena kompetensi tapi karena kedekatan dan politis yang berujung banyak daerah tidak visioner dan terkesan primitif dalam menjalankan pemerintahannya, walopun ada juga daerah yang melakukan penempatan pegawai sesuai dengan kompetensi dan kebanyakan berhasil dan inovatif.

    Reply
    • Avatar

      Ada juga yang bagus, dinda. Dan buktinya mereka menjadi lebih baik.

      Reply
  15. Avatar

    Tulisan ini menggambarkan kondisi riel yg terjadi saat ini di berbagai daerah. Usul sy hapuskan aturan lelang krn terbukti hanya melegalkan sesuatu yg mana skenarionya telah disusun penguasa dan kedua pelaksanaan lelang jg membutuhkan biaya yg cukup besar. Pertanyaanx kenapa kita harus mengeluarkan uang Apbd yg tdk sedikit sementara hasilx sdh diketahui…mubazir

    Reply
    • Avatar

      Setuju dengan penghapusannya, pak Ruslan. Lagi pula tidak membangun soliditas organisasi

      Reply
      • Avatar

        Aslmkm wr wb..mhon izin mngomntari tulisan bpk Andi,,tnp brmksud mnynggung phak2 lain,,tjuan sy pribdi hny sbg bhan dskusi bgi kita smua khususny yg ad dsni,,kjdian spt ini juga dialami d stiap daerah tmsuk d daerah sya,,tpatny d tahun pilkada,,yg tntuny mngutamakan kpntngan dn mngnyampingkn kbutuhn orgnisasi trmsuk mngbaikan rekrutmen yg diamanatkn prturan,,hslny bnyk pjbt kompeten yg hrus bristrhat smpai saat ini,,mlhat kjdian ini,,sy mulai brpikir sistem politik yg negatif telah mracuni pngmbngan karir ASN hmpir d setiap daerah,,namun bukan brarti racun tersebut tidak dcrikan penawarnya,,sbnarny integritas Komisioner dn ASN d KASN tlah brupaya mnngkatkan kinerjany sbg lembga pngawas jlnny sistem merit d Indonesia,,nmun optimalisasi blum spnuhny brjln n bbrap KDH mmiliki keangkuhn shngg mngbaikan stiap rkmndasi tsb, pnglmn sy mnjdi anggta sekretariat panitia selter tsbut mmbuka mata sya klu KASN mnjlnkn fungsiny nmun blm smaksimal yg dhrapkan ASN d daerah,,bbrapa wktu yg lalu tpatny wktu KASN bru brdri,,pas wktuny dg kjdian d daerah sya,,shngg bnyk pngduan sbg dmpak selksi yg blm bnar,,sy prnh mngusulkn kpd KASN,,klu u mnegur KDH sbg pjbt pmbna dg surat2,,itu tdk akn mumpuni dkrenakan waham KDH tsb sbg raja2 kecil,,jd sy lbh brpkir bgmn klu kita lakukan pndekatan sistem,,mksdny KASN hrus mnggndeng BPK dn BKN u mngawasi proses seleksi tsbut,,dg mngdpnkn smngat UU 30 2014 yg mnjlaskn kwenangan tidak sah klu pmbrian kwenangan mlnggar prtutan yg ada,,mka BPK mnndaklnjuti dg tidak sah mnrma tunjab dn BKN tdk mnndaklnjuti pross kepegawaian ybs,,sngkatny kita memukul mundur oknum ASN tsbut agr tdk mnrma jab yg tdk mndpt rkomndasi dri KASN,,dn Alhamdulillah,,rasa syukur yg tidak trhngg,,Allah SWT Tuhan YME saat ini mnunjukn harapan tsbt,,saat ini tptny mulai 1 maret KASN tlh mnggandeng KPK dn BKN mllui deputi wasdal u mngawasi pross kepegawaian d setiap daerah. Ksmpulanny proses seleksi msh hrus dlnjutkn u mnghslkn Pjbt PT yg kompeten dn berintgritas u mmpin opd d wilyahny,,upaya2 prbaikan tlah dlakukan,,tnggal mnunggu wktu u mlht hsilny,,smg hrpan n cita2 kita sbg ASN mlhat pngmbngn karir brdasarkn sstem merit tsbut dpt trwjud,,

        Reply
        • Avatar

          Wa alaikum salam wr wb. Untuk hal-hal itulah tulisan ini lahir. Kita berusaha memperbaiki sistem dan tata kerjanya sehingga hasilnya lebih baik. Bukankah saya nyatakan bahwa proses ini seolah tanpa pengawasan?

          Reply
  16. Avatar

    Yaa bang, saya pun menjalani semuanya dg rata2 air, tidak mau ditarik dukung mendukung, merapat sana sini. Walaupun karir rata2 air juga, semua sy syukuri hingga saat ini. Bagi saya yg penting tdk meninggalkan tugas, pergi dan pulang tepat waktu, sisa waktu kerja buat keluarga.
    Sukses terus bang … 🙏👍

    Reply
    • Avatar

      Ya, dinda. Mencari kemanfaatan dalam hidup saja. Semoga di sisa-sisa usia, kita bisa melakukan lebih banyak hal baik.

      Reply
      • Avatar

        Mantap bang, hal yg sam jg saya alami dan rasakan, skrg lebih baik fokus ke usaha dan membahagikan kluarga aja lah bang.

        Reply
        • Avatar

          Very wise, dinda.

          Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post