Urgensi Kehadiran PPPK bagi Daerah
Lahirnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dalam Undang-Undang ASN pada Tahun 2014 merupakan inovasi di lingkup manajemen ASN. Menurut UU ASN, hanya ada 2 status kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah yang diakui secara nasional dan termasuk dalam kategori ASN, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
PPPK dipastikan akan menyingkirkan status pegawai honorer atau kontrak (red. pegawai non-ASN) yang selama ini mendampingi peran PNS dalam tugas dan fungsi (tusi) instansi. Keberadaan pegawai non-ASN pada hakekatnya sangat membantu menyelesaikan beban kerja instansi. Rekrutmennya yang tergolong sangat mudah menjadikan kebutuhan pegawai pun cepat terpenuhi.
Namun di sisi lain, keberadaan pegawai non-ASN juga menimbulkan polemik tersendiri. Proses rekrutmen yang tidak memiliki instrumen terukur berdampak pada ketidasesuaian kompetensi pegawai non-ASN dengan tugas-tugas yang mereka kerjakan. Bahkan perekrutan pegawai non-ASN sangat kental intervensi politik dan praktik KKN.
Sebanarnya, sejak 2005 sudah ada larangan bagi instansi pemerintah untuk tidak merekrut tenaga honorer/pegawai non-PNS sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 8 PP No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Hal demikian juga termaktub dalam Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK.
Namun kemudahan dalam merekrut pegawai non-ASN masih menjadi “jalan terbaik” dalam memenuhi kebutuhan SDM hingga saat ini. Pemerintah daerah pun merespon kebijakan tersebut secara beragam, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh melalui surat sekretaris daerah perihal penyampaian pagu dan penginputan Renja SKPA TA 2023 yang salah satu poinnya adalah dengan tidak mengalokasikan dana untuk tenaga kontrak.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa salah satu yang menjadi kekhawatiran pemerintah adalah rekrutmen tenaga honorer/pegawai non-ASN yang tak berkesudahan oleh instansi pemerintah daerah. Rekrutmen pegawai non-ASN dapat mengganggu perhitungan kebutuhan formasi ASN di instansi pemerintah.
PP Manajemen PPPK masih memberikan kesempatan bagi tenaga honorer/pegawai non-ASN untuk masih tetap bekerja di instansi pemerintah hingga tahun 2023. Selanjutnya mereka dapat beralih status menjadi PNS atau PPPK sesuai syarat dan prosedurnya. Namun demikian, kehadiran PPPK kerap dianggap sebagai baju baru bagi pegawai non-ASN.
Status kepegawaian PPPK bersifat kontrak dan temporer sama seperti pegawai honorer atau kontrak. Oleh karenanya, pada tahun 2018 lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 49 tentang Manajemen PPPK yang mempertegas kehadiran PPPK dengan tujuan untuk mendorong profesionalisme dan keahlian dalam mendukung tusi instansi.
Jabatan-jabatan yang dapat diisi oleh PPPK adalah jabatan fungsional tertentu, seperti guru, dosen, dokter, tenaga medis, peneliti dan lain sebagainya. Pada prinsipnya, PPPK harus mempunyai kompetensi khusus yang memang dibutuhkan oleh instansi.
Bahkan, dalam PP Manajemen PPPK disebutkan bahwa PPPK selain mengisi jabatan fungsional juga dapat mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Oleh karenanya, berikut beberapa urgensi kehadiran PPPK bagi Pemerintah Daerah.
Kesetaraan Kasta
Pada instansi daerah, PNS selama ini menjadi “pemain tunggal” dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Bahkan fenomena di daerah, pegawai non-ASN yang selama ini dianggap membantu pada kenyataannya malah dijadikan “pesuruh” oleh oknum-oknum PNS yang malas.
Kasta pegawai non-ASN yang notabene dibawah PNS menyebabkan para PNS ini kerap melimpahkan pekerjaan mereka kepada pegawai non-ASN. Alhasil tujuan perekrutan pegawai non-ASN malah berdampak pada penurunan kinerja PNS. Selain itu, pegawai non-ASN yang selama ini bekerja juga banyak yang mengisi jabatan PNS.
Padahal, PP Manajemen PPPK sudah menegaskan bahwa PPK dilarang untuk mengangkat pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN sebagaimana yang tertuang dalam pasal 96 ayat (1). Bahkan mereka yang mengangkat pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maka kehadiran PPPK yang sudah memiliki payung hukum yang jelas akan memberikan jaminan kesetaraan kasta dengan PNS. Jabatan PPPK yang juga telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang dapat Diisi oleh PPPK memastikan tidak akan ada lagi PNS malas dan melimpahkan pekerjaannya.
Fasilitas LebihBaik.
Wewenang pengelolaan tenaga honorer berada pada kebijakan masing-masing instansi, sehingga mengakibatkan pegawai honorer cenderung bersikap pasrah dan tidak mempunyai daya tawar untuk menuntut hak dan kewajibannya.
Sistem pembayaran gaji pegawai non-ASN pun kerap dirapel sampai berbulan-bulan. Sedangkan PPPK, walaupun perbedaannya dengan PNS hanya pada masa pengabdiannya saja dimana PNS merupakan pegawai tetap sementara PPPK diatur melalui kontrak tertentu, akan tetapi untuk hak dan kewajiban keduanya diperlakukan sama.
Selain gaji, PPPK juga berhak menerima penghasilan lain berupa tunjangan, honor, dan juga perjalanan dinas. Tunjangan yang diberikan sesuai dengan tunjangan PNS pada instansi pemerintah tempat PPPK bekerja.
Tunjangan tersebut terdiri atas tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional, atau tunjangan lainnya. Besaran gaji PPPK juga sudah diatur Pemerintah sesuai dengan Perpres Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa gaji PPPK sama dengan gaji PNS sesuai dengan pangkat golongannya dengan skema masa kerja golongan (MKG).
Seiring Dengan Sistem Merit .
Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini keberadaan pegawai non-ASN di instansi daerah sangat kental dengan intervensi politik dan praktik KKN. Maka tidak heran jika mereka yang bekerja sebagai pegawai non-ASN pada suatu instansi daerah masih termasuk dalam “lingkaran” keluarga pejabat di instansi tersebut.
Semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin mudah mempekerjakan keluarga atau bahkan sanak keluarganya di instansi tempat ia bekerja. Mekanisme perekrutan seperti itulah yang akhirnya akan berdampak pada ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan tusi instansinya.
Oleh karenanya, semangat utama hadirnya PPPK di tubuh birokrasi adalah salah satunya untuk mengedepankan sistem merit.
Menurut UU ASN, sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.
Sistem merit bertujuan merekrut ASN yang profesional dan berintegritas dan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sesuai kompetensinya, mengembangkan kemampuan & kompetensi ASN, memberikan kepastian karier dan melindungi karier ASN dari intervensi politik dan tindakan kesewenang-wenangan, mengelola ASN secara efektif dan efisien, dan memberikan penghargaan bagi ASN yang adil dan layak sesuai kinerja.
Batasan Usia Lebih Lebar
Alasan yang selama ini diutarakan oleh banyak pegawai non-ASN adalah usia yang sudah tidak memenuhi syarat menjadi CPNS atau berusia di atas 35 tahun. Hal demikian membuat mereka betah untuk terus bekerja pada instansi pemerintah dengan status honorer atau kontrak.
Maka kehadiran PPPK pada hakikatnya memberi harapan baru bagi para pegawai non-ASN ini. Salah satu syarat bagi pelamar CPPPK sebagaimana yang tertuang pada pasal 16 huruf (a) adalah berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun dan paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum batas usia tertentu pada jabatan yang akan dilamar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini artinya bahwa pemerintah kembali memberikan peluang kepada para pegawai non-ASN untuk tetap dapat menjadi abdi negara dengan status PPPK. Lantas bagi lulusan terbaru (fresh graduate) yang ingin mengabdi pada negara melalui jalur PPPK diperbolehkan dengan mempertimbangkan syarat memiliki pengalaman kerja sesuai formasi PPPK yang dilamar.
Langkah Pemerintah Daerah
Kehadiran PPPK mendorong pemerintah daerah untuk segera merespon dengan kebijakan-kebijakan yang komprehensif, mengingat banyaknya jumlah pegawai non-ASN yang saat ini masih bekerja di instansi pemerintah daerah.
Walau pada Tahun 2022 pemerintah fokus pada perekrutan PPPK pada bidang tenaga pelayanan dasar kependidikan dan tenaga pelayanan Kesehatan, pemerintah daerah dapat harus tetap melakukan perencanaan kebutuhan PPPK dengan mengakomodir keberadaan tenaga honorer.
Perencanaan kebutuhan PPPK dilakukan oleh instansi pengusul dengan menyusun dokumen analisis jabatan (anjab) dan analisis beban kerja (ABK). Oleh karena itu setiap instansi pengusul perlu mendata kembali jumlah, kualifikasi pendidikan, dan penyebaran pegawain non-ASN yang ada di setiap unit kerja.
Melalui pasal 99 ayat (2) PP Manajemen PPPK, pemerintah daerah dapat mengambil peranan penting dalam membimbing dan mendorong tenaga honorer/pegawai non-ASN yang bekerja di instansinya untuk dapat beralih status menjadi CPPPK.
Pemerintah daerah dapat mempertimbangkan kembali pegawai non-ASN eksisting secara kuantitas dan kualitas, serta masa kerjanya. Pembimbingan yang diberikan dapat berupa bimbingan teknis untuk membantu pegawai non-ASN dalam melakukan simulasi pengisian soal tes menggunakan sistem CAT. Dengan mengikuti bimbingan teknis ini tenaga honorer akan mengetahui dan mampu mengoperasikan sistem CAT, serta dapat mempelajari contoh-contoh materi soal tes sebelum pelaksanaan ujian.
Ini merupakan privilege yang didapat oleh tenaga honorer/pegawai non-ASN dengan kompetensi yang sesuai dan masa kerja yang tergolong lama. Harapannya mereka dapat dengan segera mengatasi kelemahan dan tantangan dan kelemahan pada instansinya tanpa adanya pengenalan dari awal.
Artikel yang menarik, keberadaan honorer sebenarnya menunjukan bahwa ada yang salah dengan manajemen ASN terutama terkait Perencanaan, Anjab, dan ABK. Dimana hal tersebut akan berujung masalah kedepannya. Oleh karena itu, harapannya komitmen pemerintah dalam penghapusan Honorer pada instansi pemerintah merupakan wujud usaha Pemerintah dalam memperbaiki manajemen ASN