Siapa Bilang PNS itu Bisa Korup dan Makan Gaji Buta, Kami Malah Menjadi Korban Pungli

by anonymous | May 14, 2024 | Birokrasi Akuntabel-Transparan, Birokrasi Bersih | 6 comments

Saya tidak tahu harus mulai dari mana menceritakan kisah saya ini. Mungkin, harus dimulai dari ketika saya memantapkan hati untuk mengabdi di bidang pendidikan, pada suatu unit kerja yang diasuh oleh Kementerian X. 

Kementerian X ini memang melayani masyarakat di bidang pendidikan, namun ruang lingkup tugas pokok dan fungsinya tidak hanya itu.

Saya pikir ini adalah sebuah tugas yang mulia, mengabdi menjadi guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi di institusi Kementerian X yang harusnya menjadi penjaga moral bangsa.

Sebelumnya saya bekerja sebagai seorang profesional di instansi swasta, karena latar belakang kesarjanaan saya bukan dari seputaran Ilmu Pendidikan. 

Panggilan Jiwa

Bisa dibilang banyak yang heran dengan keputusan saya untuk memilih Kementerian X, padahal jika saya melamar di instansi lain tentu akan lebih memiliki prestise dan dirasa lebih nyambung dengan bidang keilmuan saya. 

Apalagi, dengan memilih di Kementerian X yang merupakan instansi pusat, maka harus bersiap-siap dengan keputusan ditempatkan di mana. Bisa jadi saya akan berada di tempat yang terpencil, padahal saya adalah tipikal anak kota yang belum pernah sekalipun meninggalkan rumah untuk merantau.

Tapi dasar namanya panggilan jiwa, maka apapun kata orang sudah tidak menjadi halangan. Maka memang benarlah kalau menjadi guru itu adalah panggilan jiwa. Kalau hanya mengejar prestise, bekerja di kantor jelas lebih wah. 

Siapa pula yang mau panas-panasan mengajar di kelas yang pengap berbau keringat siswa, fasilitas kerja yang minim bahkan harus membeli sendiri, tidak ada uang masuk bahkan penghasilan yang ada masih dipotong untuk alasan biaya administrasi, dan waktu untuk keluarga yang nyaris tidak ada. 

Ya, Anda tidak salah baca.
Jika selama ini guru dianggap bisa memiliki work life balance karena punya waktu luang yang panjang, Anda keliru.

Ketika Mulai Dilema antara Pengabdian dan Keluarga

Perjalanan saya di perahu Kementerian X dimulai ketika saya menerima Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai ASN Guru. Di waktu itu pula lah saya baru mengetahui lokasi sekolahan tempat saya mengabdikan diri kelak. 

Ternyata saya akan bertugas di sebuah kabupaten yang lumayan jauh dari keluarga saya, dalam artian tidak memungkinkan bagi saya untuk pulang ke rumah pada hari itu juga, karena jaraknya lebih dari 300 km. 

Maka jika di hari itu kebanyakan rekan-rekan merasa gembira, sebaliknya perasaan saya justru campur aduk. Karena di samping bangga bisa terpilih menjadi abdi negara, saya juga merasa getir karena harus meninggalkan anak dan pasangan saya tercinta.

Tetapi memang itulah hidup, harus memilih dan menerima risiko apapun yang terjadi. Mengabdikan diri kepada negara jelas adalah pilihan yang mulia. Sejak kecil kita sudah didoktrin untuk berbakti kepada bangsa dan negara, maka ini adalah saatnya untuk membuktikan itu. 

Semangat Mengabdi

Tinggal terpisah dari keluarga menjadi konsekuensi yang harus dijalani atas keputusan yang telah diambil. Maka dengan mengucap basmalah, saya langkahkan kaki menuju negeri baru tempat sekolahan saya mengabdi berada.

Desa tempat sekolahan ini berada sesungguhnya begitu indah. Udaranya sejuk, airnya jernih, sawah menghampar di mana-mana, kriminalitas bahkan hampir tidak ada. Saya merasa ini adalah takdir yang indah dari Tuhan.

Walaupun harus jauh dari keluarga, namun mendapati suasana seperti ini, maka semangat saya untuk mengabdi justru semakin tinggi. Apalagi melihat wajah-wajah polos dari anak-anak desa yang belum terkotori oleh polusi budaya dari kota, mata mereka berbinar menunjukkan ketulusan hati dan kemauan yang keras dalam menuntut ilmu. 

Hal ini rasanya pengobat ketika rindu akan keluarga datang menyayat hati.

Karena saya mengajar dengan penuh dedikasi, waktupun tak terasa habis begitu saja. Setahun telah berlalu dan saya pun berhak untuk melepas status “Calon” di awal CASN menjadi ASN 100% (gajinya dan tunjangannya, karena sebelumnya hanya 80%). 

Mulai Menyadari Munculnya Pungli

Selama setahun ini bisa dibilang tidak ada kejadian yang mengusik ketenangan jiwa saya, hampir semua berjalan dengan begitu normal. Kecuali ketika kami mendapat rapel, maka Kepala Sekolah dan Kepala Urusan Tata Usaha dan Bendahara berusaha mengakali supaya mendapat bagian dari rapel tersebut. 

Seperti ketika pertama kali saya melapor untuk bertugas di sekolahan ini, besoknya kami para ASN baru dikumpulkan di ruang Kepala Sekolah untuk membahas penggajian kami. Ternyata kami dikumpulkan di ruang tersebut guna membahas rapel gaji pertama kami. 

Karena kami masuk lewat dari tengah bulan, maka gaji di bulan tersebut diminta oleh Kepala Sekolah dan konco-nya. Di dalam hati sebenarnya saya menolak, tapi mau bagaimana lagi sebagai seorang bawahan tidak punya kekuatan apa-apa dibanding dengan atasan seperti mereka. 

Hal ini juga terulang ketika kami pada akhirnya menerima Tunjangan Kinerja, karena pada mulanya guru tidak mendapatkan Tunjangan Kinerja (Tukin), hingga turunlah petunjuk teknis (juknis) yang mengatur pembayaran Tukin bagi guru sekolahan. 

Pembayarannya pun dilakukan secara rapel, dan kembali lagi Kepala Sekolah dan konco-nya meminta jatah dari rapelan tersebut.

Sebenarnya saya masih bersyukur karena apa yang kami alami masih mending, dibandingkan dengan teman kami di sekolahan lain yang harus membayar jumlah yang lebih besar lagi. 

Namun, saya juga merasa sedih karena ternyata begitulah kotornya mereka yang selama ini memakai lambang Kementerian X. Selama ini saya tidak percaya dengan tudingan bahwa Kementerian X itu korup, tapi sekarang saya sendiri yang mengalaminya.

Oleh karena itu, ketika akhirnya kami berhak untuk mendapatkan SK PNS, saya tidak heran lagi begitu mendengar harga yang dipatok oleh Kantor Wilayah dan Kantor Daerah. 

Upaya Melaporkan yang Belum Berbuah Manis

Kami diharuskan untuk membayar sejumlah uang (tentu dalam hitungan jutaan) untuk menebus SK PNS ini. 

Belum lagi untuk biaya pelantikan dan uang-uang lainnya yang juga harus kami bayarkan. Padahal setahu saya, setiap pengumpulan uang tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli).

Saya sudah berusaha untuk melaporkan hal ini ke Inspektorat sebagai pengawas internal kami, namun tidak ada tanggapan yang berarti bahkan yang ada kesannya hanya prosedural belaka. 

Mungkin harus menunggu viral dahulu baru diambil tindakan. Padahal, para pelaku korupsi adalah orang yang paham benar prosedur, sehingga modus operandi mereka begitu canggihnya untuk menghindari jeratan hukum.

Seperti pada awal tahun 2020 lalu, ketika mereka berhasil memindahkan PNS angkatan 2019 yang meminta pindah, padahal berdasarkan Permenpanrb no 36 tahun 2018, PNS angkatan 2019 yang mengajukan pindah dengan alasan apapun sebelum 10 tahun, maka dianggap mengundurkan diri. 

Namun anehnya, ada yang berhasil pindah meskipun dengan biaya yang tidak sedikit, harus mengeluarkan uang sejumlah 50 juta!

Terjebak dalam Sistem Pungli

Sekitar triwulan ketiga tahun 2022, keluarlah surat edaran dari Sekretariat Jenderal Kementerian X mengenai pemetaan PNS angkatan 2019. Hal ini karena di lapangan ternyata terdapat ketidaksesuaian antara kebutuhan dengan formasi jumlah PNS yang ditetapkan. 

Di beberapa sekolahan ada guru PNS yang kekurangan pada mata pelajaran tertentu, namun tidak ada formasinya, dan sebaliknya. Namun anehnya surat edaran ini seakan menjadi pembolehan untuk mengurus mutasi PNS.

Saya pada mulanya sempat ragu, apakah mengurus untuk pindah juga atau tidak. Hingga sempat saya putuskan untuk tidak ikut seperti kawan-kawan yang mengurus pindah. 

Apalagi, nominal yang diminta oleh pihak Kanwil untuk pindah ini juga tidak sedikit, bisa untuk membeli mobil bekas. Namun suatu hari di tahun 2023, saya ditelepon oleh oknum di Kanwil yang mengatakan bahwa masih ada jam kosong yang tersedia di salah satu sekolahan di Kota Medan. 

Di sini keputusan saya akhirnya berubah, karena setelah saya pertimbangkan kemungkinan kesempatan seperti ini tidak ada lagi dan harus menunggu 6 tahun lagi. Tentu kerinduan dengan keluarga adalah alasan utama yang memang begitu sulit untuk berpisah lagi dengan mereka.

Menjadi Korban Pemerasan Oknum

Maka keputusan sulit pun harus saya ambil walaupun harus ditebus dengan harga yang tidak sedikit, hingga membuat saya terpaksa harus berhutang di Bank. 

Namun yang menjengkelkan saya ternyata di balik perpindahan saya dan teman-teman lainnya, ada oknum di Kanwil yang ternyata memalsukan tanda tangan Kepala Kanwil yang lama, sehingga membuat saya menjadi tidak tenang menjalankan tugas saya di tempat kerja yang baru. 

Karena ada isu bahwa kami akan dipindahkan lagi, padahal kami pun hanyalah korban. Harusnya oknum di Kanwil itulah yang ditindak, namun justru tidak terdengar adanya tindakan kepada mereka yang jelas-jelas sudah menikmati uang haram tersebut di atas kesulitan kami hingga kami terpaksa harus gadai SK PNS di Bank.

Beginilah nasib jadi PNS. Sering dicibir karena korupsi dan makan gaji buta, padahal yang saya alami justru menjadi korban pemerasan oleh oknum. 

Bahkan, setiap bulan kami harus membayar sejumlah uang tertentu untuk pencairan gaji, setelah pengalihan gaji kami dari mulanya di satuan kerja masing-masing (dalam hal ini sekolahan), menjadi ke Kantor Daerah. 

Demikian pula untuk seluruh urusan kepegawaian, termasuk kenaikan pangkat, semuanya harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Padahal kami sudah memenuhi persyaratan untuk kenaikan pangkat tersebut.

Transparansi dan e-Government: Masih Jauh Panggang dari Api

Saya hanya berharap agar kedepannya praktik pemerasan atau pungli seperti ini dapat dihilangkan. Memang diakui adanya e-Government mempermudah birokrasi manajemen ASN dan membuka transparansi dengan berbagai aplikasinya. 

Namun, semakin canggih reformasi birokrasi yang diterapkan, ternyata semakin canggih pula metode mereka untuk melakukan kejahatannya. 

Jumlah mereka yang sedikit ini membuat rusak nama Kementerian X, dan akan merusak strukturnya, karena pada akhirnya yang akan diangkat menjadi pejabat bukan karena kompetensinya, melainkan karena berani bayar berapa.

9
0
anonymous

anonymous

Author

6 Comments

  1. Avatar

    ini mah bukan kementerian X, tapi kementerian A, Anu maksudnya 😀

    Reply
    • Avatar

      sudah jelas lah kementerian agama, padahal membidangi hal yang suci, tapi oknumnya korupnya luar biasa. tidak punya malu, apalagi di sumut, sudah berkali-kali didemo karena memang berkasus, tapi tidak juga ditindak oleh aparat, aneh, kalau dibilang nanti ada main belakang, kita juga yang kena UU ITE, serba salah, diam terus jadi korban, berbicara bisa kena tindakan, kasihan

      Reply
  2. Avatar

    itulah, kadang netijen udah ribut dgn headline gaji ASN naik,,, langsung dibarengi dengan kenaikan bahan pokok, kenaikan ina inu, pdhal naik gaji ASN ny cuman 50ribu ,,, dan tentu potong sana potong sini, biar lancar dan smooth ngurusnya. walopun sbnereny itu hak kami dan sudah harus diterima apa adanya utk kami, toh,,, nyatanya disunat jugak,,,

    posisi kami serbasalah, tp netijen mahabenar selalu bilang enak di posisi kami, coba rasain diposisi yg di bilang enak inih deh, berdarah-darah dan jarang ada apresiasi dan penghargaan utk kami yg mengabdi,,, jauh di lubuk hati, menangis namun apa daya, kami hanya bisa sabar dan terus berjalan,,, semoga ada perubahan yg lebih baik ke depannya

    Reply
  3. Avatar

    Negeri miskin kreasi, akhirnya pusing buat isi prestise saja. Latar terbelakang nya hanya satu, uang untuk pamor di dunia.

    Reply
  4. Avatar

    Sedih bacanya

    Reply
  5. Avatar

    Negeri ini negeri yg kaya makmur sentosa
    Nggak butuh pengabdian kita

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post