Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi ditetapkan dengan pertimbangan utama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tata kelola konstruksi yang lebih baik, memenuhi dinamika perkembangan penyelenggaraan konstruksi, dan menjamin ketertiban serta kepastian hukum dalam bidang konstruksi.
Beleid konstruksi sebelumnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sudah waktunya untuk disesuaikan, mengingat banyak perkembangan yang terjadi dalam rentang waktu 18 tahun sebelumya.
Perkembangan yang terjadi saat ini di antaranya ekonomi berbasis teknologi informasi, angkatan kerja yang bertambah pesat, dan kebutuhan tentang keselamatan dan kesehatan kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Jasa Konstruksi merupakan penerjemahan lebih lanjut, sebagai petunjuk pelaksanaan undang undang jasa konstruksi tersebut.
PP Nomor 22 Tahun 2020 ini mencabut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Peran serta usaha kecil merupakan salah satu substansi yang diatur dalam peraturan di atas. Usaha kecil yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah usaha kecil konstruksi untuk nilai pekerjaan sampai dengan Rp2.500.000.000,00 (dua setengah milyar rupiah).
Kualifikasi ini dilaksanakan dengan penilaian terhadap perolehan proyek, kemampuan keuangan, ketersediaan tenaga kerja, dan kemampuan menyediakan peralatan konstruksi. Dari keempat penilaian ini masalah terbesar usaha kecil adalah ketersediaan tenaga kerja. Tenaga kerja yang kompeten masih menjadi masalah klasik, dalam hal ini tenaga kerja bersertifikat terampil.
Pembinaan Jasa Konstruksi
Sesungguhnya, pemerintah baik di pusat maupun daerah memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan jasa konstruksi. Salah satu tanggung jawab dan kewenangan ini adalah memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja.
Namun, pada kenyataannya alokasi anggaran yang disediakan oleh pemerintah dalam pembiayaan sertifikasi kompetensi kerja ini masih jauh dari kebutuhan lapangan.
Sertifikat kompetensi kerja merupakan tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Setiap tenaga kerja konstruksi wajib memiliki sertifikat kompetensi. Setiap pengguna jasa dan penyedia jasa wajib mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat kompetensi.
Sertifikat kompetensi kerja ini diperoleh melalui uji kompetensi standar yang dilaksanakan lembaga sertifikasi profesi. Lembaga sertifikasi profesi dapat dibentuk oleh asosiasi profesi terakreditasi dan lembaga pendidikan dan pelatihan.
Sertifikat kompetensi kerja berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang. Ada sanksi tertentu apabila kewajiban sertifikasi kompetensi tidak dipenuhi. Menteri dan kepala daerah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban sertifikasi kompetensi kerja.
Dengan demikian, di satu sisi pemerintah wajib menyediakan anggaran dan di sisi lain pemerintah melakukan pengawasan terhadapnya. Paket proyek untuk usaha kecil hanya mensyaratkan sertifikat kompetensi kerja dalam bentuk sertifikat keterampilan kerja untuk tenaga terampil. Usaha kecil tidak mensyaratkan sertifikat keahlian.
Berdasarkan data dari kompas, dari sejumlah 134.399 perusahaan jasa konstruksi yang terdaftar, ternyata sebanyak 110.146 perusahaan atau 82% merupakan usaha kecil jasa konstruksi. Sedangkan berdasarkan data dari CNN Indonesia, dari keseluruhan tenaga kerja konstruksi yang bekerja di sektor usaha konstruksi yang berjumlah 5,3 juta orang, ternyata baru 512.787 orang atau 9,67 % yang bersertifikat kompetensi kerja. 158.070 orang bersertifikat keahlian dan 386.802 orang bersertifikat keterampilan kerja.
Dari sini terlihat bahwa jumlah perusahaan jasa konstruksi kategori usaha kecil (110.146) jumlahnya berbanding 1:3,5 dari tenaga kerja bersertifikat keterampilan kerja (386.802). Yang berarti, satu perusahaan kecil konstruksi bisa mempekerjakan 3-4 orang tenaga kerja bersertifikat keterampilan pada saat yang bersamaan.
Padahal, dalam pelaksanaan 1 proyek konstruksi kualifikasi kecil bisa membutuhkan lebih dari 4 orang tenaga trampil bersertifikat SKT, sedangkan untuk usaha kecil bisa melaksanakan 5 proyek dalam waktu bersamaan. Belum lagi ketika kita bicara soal lokasi kerja. Bisa jadi terdapat sejumlah perusahaan yang tidak dapat bekerja karena tidak memiliki tenaga kerja terampil.
Akan terjadi kerumitan luar biasa apabila semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, melakukan tender proyek atau pengadaan langsung pada waktu yang hampir bersamaan. Misalnya pada semester pertama tahun berjalan. Dalam pemenuhan persyaratan dokumen pengadaan akan terjadi pemakaian sertifikat keterampilan kerja yang bersamaan pada beberapa usaha kecil konstruksi.
Hal ini tidak akan terungkap karena belum terdapat sistem yang bisa mendeteksi secara elektronik. Sistem layanan pengadaan secara elektronik belum memiliki fasilitas pencari (searching) terhadap daftar tenaga kerja yang ditawarkan perusahaan. Apabila fasilitas ini dikembangkan maka akan terjadi banyak perusahaan kecil yang gugur dalam evaluasi teknis, akibat pemakaian bersama terhadap tenaga kerja yang sama.
Lebih parah lagi, apabila pemenuhan sertifikat keterampilan pada dokumen penawaran teknis ternyata hanya formalitas belaka untuk sekedar lulus penawaran teknis. Tenaga kerja tersebut ternyata tidak bekerja di lapangan proyek, yang bekerja justru orang lain.
Tanggung Jawab Bersama
Permasalahan ini adalah tanggung jawab kita semua dan mesti kita perbaiki secepatnya. Dalam perbaikan ini kita harus memetakan beberapa prioritas masalah dan merumuskan formula penyelesaiannya.
Permasalahan pertama adalah penyebaran tenaga kerja dan lembaga sertifikasi. Sebagian besar tenaga kerja terampil berdomisili di daerah – baik kabupaten, kecamatan, maupun desa. Sedangkan lembaga sertifikasi profesi berada di daerah perkotaan, baik di perkotaan provinsi maupun perkotaan kabupaten.
Di perkotaan provinsi didominasi oleh lembaga sertifikasi profesi dari asosiasi profesi. Di perkotaan kabupaten didominasi oleh lembaga pendidikan dan pelatihan atau balai latihan kerja (BLK).
Permasalahan kedua adalah pembiayaan. Tenaga kerja terampil hanya bisa bekerja secara tidak tetap, hanya pada waktu tertentu pada saat proyek usaha kecil berlangsung – kisaran waktunya antara 1-6 bulan. Selebihnya, mereka mencari kerja di luar proyek negara. Dengan kondisi ekonomi yang demikian, maka kecil kemungkinan mereka bisa mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk membiayai sertifikasi kompetensi mereka.
Permasalahan ketiga adalah tingkat kebutuhan akan sertifikat. Tanpa memiliki sertifikat keterampilanpun mereka tetap bisa bekerja. Ini dimungkinkan karena persaingan mereka bukan ditentukan oleh faktor sertifikat, tapi ditentukan oleh kualitas kerja dan upah yang ditentukan. Bahkan belum tentu mereka kenal dengan sertifikat keterampilan yang dimaksud.
Dari ketiga permasalahan ini maka perlu dirumuskan beberapa kebijakan yang harus difikirkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Rumusan kebijakan ini harus realistis dan praktis, bukan teoritis atau regulatif.
Sertifikasi Online, Mengatasi Ketimpangan Penyebaran Domisili
Terkait ketimpangan penyebaran domisili antara tenaga kerja dan lembaga sertifikasi profesi ini, harus ada upaya pemecahan agar kendala jarak bisa dipecahkan. Apabila dilakukan mobilisasi tenaga kerja ke lokasi pelaksanaan sertifikasi, maka akan terkendala biaya baik pribadi atau anggaran negara.
Demikian juga apabila pelaksana sertifikasi turun ke daerah juga akan memakan biaya yang tidak sedikit. Maka solusi paling realistis dengan biaya yang hemat serta memang lagi trend sekarang ini adalah dengan membuat program sertifikasi online.
Lembaga sertifikasi profesi membuat kurikulum sertifikasi berbentuk file movie dan file pdf yang bisa diunduh pada website yang ditentukan. Peserta pelatihan bisa mempelajari kapanpun mereka sempat mempelajarinya, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Lembaga sertifikasi profesi menyediakan layanan konsultasi online terhadap hal-hal yang perlu dipertanyakan. Kemudian dibuat juga layanan ujian online dan sertifikat online.
Bila ujian tersebut membutuhkan material uji, maka material uji tersebut cukup dikirimkan melalui fasilitas pengiriman barang dan tim penguji melakukan pengujian terhadap material tersebut. Solusi ini cukup realistis. Hampir semua daerah sudah terjangkau oleh fasilitas internet dan hampir semua lapisan dan kelompok umur dalam masyarakat sudah melek teknologi.
Perangkat berupa smartphone, laptop, atau komputer PC sudah familiar dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi dengan adanya dana desa, maka semua kantor kepala desa dan badan permusyawaratan desa sudah seyogyanya memiliki fasilitas wifi untuk kemudahan koneksi.
Epilog
Terkait kendala pembiayaan, ini adalah tanggung jawab mutlak pemerintah. Sudah saatnya ada persentase alokasi anggaran terhadap pembinaan sertifikasi ini.
Apabila Kementerian Tenaga Kerja bisa membagi anggaran ke seluruh Balai Latihan Kerja se-Indonesia dalam rangka peningkatan keterampilan masyarakat di berbagai bidang, maka sudah saatnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga melakukan hal yang sama.
Dengan pendataan yang akurat, Kementerian PUPR sudah bisa merancang anggaran biaya pertahun untuk program sertifikasi gratis bagi seluruh tenaga terampil yang belum bersertifikat di seluruh Indonesia. Dengan pola sertifikasi online akan terjadi penghematan biaya dibandingkan dengan sertifikasi manual.
Terkait tingkat kebutuhan akan sertifikat di sini diperlukan strategi dan sasaran antara. Diperlukan masa transisi pada pemenuhan target pelaksanaan program sertifikasi online dan kesediaan pembiayaan subsidi sertifikasi. Misalnya dengan diberikannya waktu transisi 3 tahun maka tahun keempat dilakukan kewajiban sertifikasi tenaga terampil secara konsisten dengan sanksi terhadap pelanggaran diberikan dengan tegas.
Demikian solusi terhadap pemecahan sertifikasi tenaga terampil ini. Banyak harapan yang dibebankan terhadap realisasi keberpihakan regulasi Jasa Konstruksi terhadap usaha kecil jasa konstruksi dan tenaga terampil jasa konstruksi.
Dengan terbentuknya Direktorat Jenderal Bina Konstruksi di Kementerian PUPR maka diharapkan pembinaan jasa konstruksi bisa lebih maksimal.
Konstruksi sehat negara kuat!
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. Saat ini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Inspektur Daerah Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018, dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com.
0 Comments