Seri Kepemimpinan GRC: Peran Strategis Forkopimda sebagai Governing Body Pengendalian Inflasi di Daerah

by | Feb 17, 2023 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Ketika mengimplementasikan governansi, manajemen risiko, dan kepatuhan (governance, risk management, and compliance) atau populer disingkat GRC, penting sekali setiap organisasi memastikan berjalannya peran dewan atau pihak yang berwenang dalam menatakelola (governing body atau governing authority).

Pada praktiknya, di korporasi, dewan yang menatakelola ini biasanya diperankan oleh dewan komisaris atau dewan pengawas. Masalahnya, siapa yang memerankannya di organisasi sektor publik seperti pemerintahan daerah?

Artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan observasi atas praktik pengendalian inflasi dan pengalaman penulis di daerah, yaitu dengan mengusulkan eksekusi peranan Forkopimda sebagai governing body atau governing authority pengendalian inflasi di daerah.

Pengendalian inflasi ini sedang gencar didorong oleh Pemerintahan Jokowi menyikapi krisis akibat Perang Rusia-Ukraina, sedangkan peran strategis Forkopimda dalam pengendalian inflasi di daerah menurut observasi penulis belum begitu tampak dieksekusi.

Peran Forkopimda Menurut Regulasi

Dalam menyikapi isu-isu yang berkembang di daerah, kepala daerah tidak bekerja sendiri. Karena itu, mereka akan didampingi oleh anggota Forum Koordinasi Pimpinan di Daerah yang disingkat Forkopimda.

Secara legal, keberadaan Forkopimda dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2022, yang dibentuk pada berbagai tingkatan di daerah, yaitu dari mulai tingkatan provinsi, kabupaten/kota, dan kemudian kecamatan.

Keanggotaan Forkopimda berasal dari berbagai unsur di daerah. Sebagai contoh, pada tingkatan provinsi, Forkopimda diketuai oleh gubernur. Anggotanya berasal dari ketua DPRD provinsi (ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk Provinsi Aceh atau ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua untuk Provinsi Papua), kepala kepolisian daerah, dan kepala kejaksaan tinggi.

Selain itu, anggota Forkopimda lainnya adalah panglima komando daerah militer atau komandan komando resor militer, panglima komando armada atau komandan pangkalan utama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) atau komandan pangkalan TNI AL, dan panglima komando operasi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) atau komandan pangkalan TNI AU. Pimpinan instansi tertentu di daerah juga dapat diangkat dalam keanggotaan tersebut.

Forkopimda utamanya akan membahas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Umum di daerah, seperti koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan di daerah dan menyelesaikan permasalahan yang timbul.

Forkopimda juga berperan dalam pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di daerah. Mereka juga terlibat dalam peningkatan keselarasan langkah dan tindakan penyelesaian permasalahan di daerah.

Artinya, Forkopimda sebenarnya berperan strategis sebagai governing body atau governing authority GRC di daerah. Forkopimda juga dapat berperan strategis dalam GRC pengendalian inflasi di daerah. Keberhasilan pengendalian inflasi di daerah tidak bisa dilepaskan dari peran Forkopimda.

Buktinya, Jaksa Agung pada Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forkopimda se-Indonesia Tahun 2023, di Sentul International Convention Centre (SICC), Sentul, Jawa Barat (17/01/2023), telah menyatakan pentingnya peran Kejaksaan di daerah sebagai salah satu anggota Forkopimda dalam pengendalian inflasi.

Karena itu, bagian berikut akan menguraikan terlebih dahulu pengertian GRC organisasi sektor publik, proses bisnis dan tantangan pengendalian inflasi di daerah, GRC pengendalian inflasi yang lintas sektoral dan lintas organisasi, dan kemudian peran strategis Forkopimda dalam pengendalian inflasi bersama auditor internal.

GRC Organisasi Sektor Publik

Di Indonesia, GRC organisasi sektor publik diaktualisasikan pada rerangka Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Terintegrasi yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Rerangka tersebut dikembangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, yang membagi GRC organisasi sektor publik pada tiga bagian utama, yaitu dimulai dari penetapan tujuan, pelaksanaan struktur dan proses pengendalian dan manajemen risiko, dan pemastian pencapaian tujuan SPIP itu sendiri.

Penetapan tujuan pada dasarnya adalah terkait dengan manajemen strategis (strategic management), yang dimulai dari penetapan sasaran strategis dan strategi yang perlu dikembangkan setiap organisasi sektor publik dalam mencapai sasaran strategis tersebut. Biasanya, di sebuah organisasi sektor publik, penetapan tujuan ini dipimpin oleh Biro Perencanaan Strategis atau Biro Organisasi.

Selanjutnya, pada struktur dan proses, terdapat siklus berkelanjutan dari manajemen risiko dan kepatuhan (risk and compliance management), termasuk pengendalian. Siklus ini dimulai dari lingkungan pengendalian yang harus dibangun.

Pada tahapan ini, harus dipastikan keberadaan penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, auditor internal yang efektif, dan hubungan kerja yang baik.

Kemudian, terdapat penilaian risiko, yang dimulai dari identifikasi risiko yang mungkin terjadi di organisasi, yang dilanjutkan dengan analisis atas risiko yang telah diidentifikasi.

Setelah itu, kegiatan pengendalian berupa reviu kinerja, pembinaan SDM, pengendalian sistem informasi, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan reviu indikator dan ukuran kinerja, pemisahan fungsi otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting, pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian, pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya, akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya, dan dokumentasi yang tertib atas sistem pengendalian internal dan transaksi serta kejadian penting.

Untuk mendukung siklus tersebut, setiap organisasi sektor publik harus memastikan tersedianya informasi yang relevan dengan kebutuhan organisasi dan terjadinya komunikasi yang efektif. 

Kemudian, dalam rangka memastikan semua unsur SPIP berjalan dengan baik, langkah terakhir adalah pemantauan yang berkelanjutan dan evaluasi terhadap seluruh proses pengendalian dan manajemen risiko.

Pemimpin dari struktur dan proses ini di sebuah organisasi sektor publik biasanya adalah Biro Perencanaan yang difasilitasi oleh Inspektorat.

Jika penetapan tujuan beserta struktur dan proses tersebut beroperasi dengan baik dalam GRC, maka tujuan SPIP pada suatu organisasi publik diyakini akan tercapai, yaitu program/kegiatan berjalan secara efektif dan efisien (yang biasanya dipimpin oleh Biro Perencanaan atau Biro Manajemen Kinerja), laporan-laporan organisasi (termasuk laporan keuangan) dapat diandalkan (yang biasanya dipimpin oleh Biro Keuangan), aset negara/daerah terjaga dan termanfaatkan (yang biasanya dipimpin oleh Biro Perlengkapan bersama Biro Keuangan), dan organisasi beserta individunya taat terhadap peraturan yang berlaku (yang biasanya dipimpin oleh Biro Hukum bersama Inspektorat).

Pada akhirnya, penilaian keberhasilan GRC organisasi sektor publik tampak pada  tiga indeks utama, yakni Manajemen Risiko Indeks (MRI), kapabilitas APIP, dan Indeks Efektivitas Pengendalian Korupsi (IEPK). Penilaian ini dilakukan oleh masing-masing auditor intern organisasi, yang kemudian dievaluasi oleh BPKP.

Proses Bisnis dan Tantangan Pengendalian Inflasi

Proses bisnis pengendalian inflasi pada pokoknya berupa penjelajahan atau pelayaran (endeavour) program/kegiatan lintas sektoral yang dijalankan oleh beberapa pihak lintas organisasi, yang tampak pada Gambar berikut.

Diagam Proses Bisnis Program/Kegiatan Pengendalian Inflasi Lintas Sektoral dan Lintas Organisasi

Di masa lalu, pengendalian inflasi hanya dilakukan dengan pendekatan ekonomi makro berupa intervensi tingkat bunga oleh Bank Indonesia atau bank sentral di negara lain. Namun, dalam kasus Indonesia, intervensi dengan tingkat bunga ini tidak cukup sehingga harus diikuti dengan berbagai program/kegiatan lain yang melibatkan lintas organisasi.

Itu sebabnya, Bank Indonesia kemudian mendorong keberadaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Bersama TPID ini, Bank Indonesia kemudian mempromosikan upaya pengendalian inflasi dengan jargon “4K”, yaitu menjaga (k)eterjangkauan harga pangan, (k)etersediaan pasokan, (k)elancaran distribusi, dan (k)omunikasi yang efektif.

Menyikapi 4K tersebut, beberapa hal telah dilakukan di Kalimantan Selatan. Sebagai contoh, untuk mendukung keterjangkauan harga pangan, sejumlah 32 ton beras disubsidi dan tercatat 331 warga sebagai penerima bantuan beras.

Kemudian, dalam mendukung ketersediaan pasokan dan penanaman, telah dilakukan pemasokan sejumlah 1.000 ton cadangan pangan daerah (CPD) lewat Bulog dan disalurkan sejumlah 55.000 bibit cabai.

Dalam hal kelancaran distribusi, telah dilaksanakan 2 kesepakatan Kerjasama Antar Daerah (KAD) dan sejumlah 3.000 ton beras akan dikirim dari daerah lain. Terakhir, untuk menjaga komunikasi efektif, sudah dilaksanakan 3 kali rapat koordinasi TPID di tahun 2022.

GRC Pengendalian Inflasi

Dari segi GRC pengendalian inflasi di Kalimantan Selatan, terkait kepemimpinan, manajemen, dan governansi (leadership, management, and governance) telah teridentifikasi beberapa isu,  yaitu beberapa kepala daerah tidak terlibat secara langsung dalam pengendalian inflasi.

Kemudian, beberapa kebijakan pengendalian inflasi belum ditetapkan, seperti penetapan peraturan kepala daerah tentang penggunaan belanja tidak terduga (BTT).

Selain itu, TPID belum memiliki rencana kerja yang rinci dan terjadwal, belum melakukan capacity building yang nyata (termasuk studi tiru ke daerah-daerah yang berhasil mengendalikan inflasi), serta belum menyusun roadmap pengendalian inflasi, yang mengakibatkan program/kegiatan pengendalian inflasi tidak terpadu dan tidak tepat sasaran.

Terindentifikasi juga dinamika-dinamika yang berkembang dalam GRC pengendalian inflasi. Pertama, mekanisme “insentif” bagi pemerintah daerah yang berhasil mengendalikan inflasi terbatas berupa Dana Insentif Daerah (DID).

Sedangkan bagi yang tidak berhasil baru berupa presentasi langsung kepala daerah di hadapan Menteri Dalam Negeri tentang penyebab kegagalan pengendalian inflasi. Selain itu, tidak terdapat sanksi khusus kepada kepala daerah yang gagal mengendalikan inflasi.

Kedua, terkait rancangan program/kegiatan, teridentifikasi bahwa pemerintah daerah yang gagal mengendalikan inflasi cenderung hanya merancang program kerja secara normatif, tidak inovatif, dan tidak menyesuaikan kondisi kedaerahan.

Sebagai contoh, sebuah daerah yang umumnya masyarakatnya menjadi konsumen, program kerjanya haruslah berorientasi konsumen (seperti menyediakan gudang dengan kapasitas yang besar untuk menyimpan stok pangan), tetapi hal ini tidak dilakukan.

Ketiga, terkait regulasi dan kewenangan, TPID dipimpin oleh kepala daerah sebagai ketua dan sekretaris daerah selaku ketua harian. Namun, yang paling banyak berperan di lapangan adalah Kepala Perwakilan Bank Indonesia.

Kemudian, teridentifikasi yang bertanggung jawab dalam keterjangkauan harga adalah Dinas Perdagangan, sedangkan Dinas Ketahanan Pangan bertanggung jawab terhadap ketersediaan pasokan. Dinas Perhubungan bertanggung jawab terhadap kelancaran distribusi, sedangkan Dinas Komunikasi dan Informasi bertanggung jawab memastikan komunikasi yang efektif.

Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengendalian inflasi tersebut harus mengidentifikasi risiko-risiko program/kegiatan pengendalian inflasi, seperti harga pangan tidak terjangkau, distribusi barang tidak stabil, transportasi antar daerah terhambat, pasokan bahan pokok tidak diinventarisasi secara berkala, dan reputasi negatif bagi instansi vertikal dan daerah jika suatu daerah gagal mengendalikan inflasi.

Mereka juga harus menyusun strategi mitigasi risiko, seperti memastikan berjalannya manajemen rantai nilai pemasok dan layanan pemangku, yaitu mulai dari monitoring pasokan, monitoring harga, monitoring distribusi, serta menyampaikan hasil monitoring dan rekomendasi perbaikan dalam berbagai rapat TPID.

Pelaksanaan program/kegiatan pengendalian inflasi juga harus dipantau secara berkala oleh Biro atau Bagian Perekonomian. Masing-masing kepala daerah juga harus mendapatkan keyakinan yang independen dari Inspektorat Daerah terkait program/kegiatan pengendalian inflasi.

Nantinya, hasil pemantauan ini akan disampaikan dalam rapat rutin TPID untuk dibahas bersama dan menjadi bahan perbaikan program/kegiatan pengendalian inflasi.

Walaupun program/kegiatan pengendalian inflasi telah berjalan pada tahun lalu, ternyata di Kalimantan Selatan harga beras lokal masih tidak terjangkau (bahkan sudah mendekati kenaikan 2 kali lipat dari tahun sebelumnya), beberapa pasokan beras lokal tidak tersedia, beberapa distribusi tidak lancar, dan komunikasi TPID tidak efektif.

Peran Strategis Forkopimda dalam Pengendalian Inflasi

Memperhatikan hal yang diuraikan sebelumnya, GRC pengendalian inflasi harus semakin dikawal secara berlapis-lapis. Sebagaimana tampak pada Gambar, pengawalan yang berlapis-lapis telah dimulai oleh kantor BPKP di daerah sebagai Kapal Pandu dan Inspektorat Daerah atau aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) sebagai Kapal Patroli.

Sebagai contoh, kantor BPKP di Kalimantan Selatan telah melakukan beberapa kegiatan pengawalan, seperti pendampingan penyusunan program/kegiatan pengendalian inflasi, fasilitasi rencana aksi pemulihan gagal panen padi dalam rangka pengendalian inflasi pangan, evaluasi efektivitas program/kegiatan pengendalian inflasi, dan focus group discussion (FGD) peningkatan produksi padi bersama Bank Indonesia.

Inspektorat Daerah telah ditugasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk melaporkan kondisi inflasi di masing-masing daerah secara harian. Namun, realitasnya, hal ini belum dilakukan oleh semua Inspektorat Daerah, yang mengindikasikan belum seluruh APIP terlibat langsung dalam pengendalian inflasi. Bahkan, Inspektorat Daerah sering tidak diikutsertakan dalam rapat TPID.

Memperhatikan kondisi tersebut, Forkopimda harus berperan sebagai Kapal Induk yang mengawal GRC pengendalian inflasi di daerah, yaitu dengan mengerahkan seluruh jajaran di berbagai penjuru nusantara untuk membantu pemerintah daerah dalam mengendalikan inflasi, seperti berupa pendampingan langsung perencanaan dan penganggaran di masing-masing pemerintah daerah, pendampingan hukum (termasuk memitigasi risiko hukum), dan mengakselerasi BTT untuk kepentingan pengendalian inflasi. Ketiga hal ini akan menciptakan stabilitas perekonomian di daerah.

Penutup

Pada artikel ini tampak peran strategis Forkopimda dalam pengendalian inflasi di daerah. Karena itu, seluruh pelaku di daerah perlu memastikan berjalannya peran Forkopimda sebagai governing body atau governingauthority program/kegiatan pengendalian inflasi di daerah bersama dengan berbagai pelaku yang telah ada saat ini.

Forkopimda juga perlu berkoordinasi lebih lanjut dengan TPID untuk memastikan berjalannya peran strategis tersebut. Tentu saja, kompetensi anggota Forkopimda dalam pengendalian inflasi harus ditingkatkan terus agar mampu dan dapat dipercaya menjalankan peran strategis tersebut.***

*Tulisan ini dimodifikasi dari Sosialisasi Pengendalian Inflasi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sejauh Mana Kejaksaan di Daerah Dapat Berperan, di Aula Anjung Papadaan, Kantor Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (31/1), mengacu kepada rerangka Extended Enterprise Risk Management (EERM) yang dikembangkan oleh the Institute of Risk Management (IRM).

3
0
Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Author

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis. Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI). Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia). Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management. Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post