Semiotika APBD: Berdusta Ala Rivalitas Eksekutif dan Legislatif

by | Oct 17, 2019 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Semiotika sering kita kenal sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda dan penanda. Mempelajari tanda berarti mempelajari bahasa dan kebudayaan. Beberapa ahli semiotika mengatakan bahwa  semiotika itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang pemaknaan struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dan penggunaannya di dalam masyarakat.

Umberto Eco yang dikenal sebagai bapak semiotika mengatakan bahwa semiotika pada prinsipnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).

Definisi yang dikemukakan Eco cukup mencengangkan banyak pihak, karena secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika. Memang pada banyak literatur, semiotika dapat berfungsi sebagai alat untuk mengungkap kebenaran, dan sebaliknya dapat digunakan untuk mengungkap dusta.

Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata menjadi alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.

Keberadaan sebuah tanda tidak dapat dilepaskan dari kebenaran atau dusta yang menyertainya, begitu pula halnya dusta yang selalu melekat pada bahasa yang memediasinya. Bahasa, seperti kata Ferdinan de Saussure, adalah sistem pembeda sekaligus merupakan sebuah sistem convention (kesepakatan).

Aspirasi Masyarakat dan APBD

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pada prinsipnya merupakan manifestasi dari adanya usaha untuk membangun keteraturan dalam kehidupan masyarakat pada suatu daerah. Proses penyusunan APBD yang bersifat partisipatif dan terdesentralisasi menyiratkan adanya penyatuan keinginan (convention) antara masyarakat, pemerintah dan legislatif dalam proses tersebut.

Proses penyusunan APBD yang menganut sistem partisipatif dimulai dari penjaringan aspirasi masyarakat sebagai voter melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) tingkat desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten yang diagendakan setiap tahunnya di setiap pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Musrenbang ini lalu melahirkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), kemudian RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas Plafon Anggaran Sementara), Nota Kesepakatan, Pedoman Penyusunan RKA(Rencana Kerja dan Anggaran)-SKPD, RKA-SKPD, RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dan terakhir Perda APBD (Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Apabila proses penyusunan APBD dirunut kembali, maka akan terlihat bahwa rangkaian sistem yang telah berkerja selalu mensyaratkan adaptasi dan penyesuaian untuk mencapai kesetimbangan sistem dalam suatu fakta sosial.

Proses tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan Musrenbang yang diagendakan setiap tahunnya di setiap pemda diseluruh Indonesia dan melibatkan masyarakat sebagai voter. RPJMD yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat tiga bulan setelah Kepala Daerah dilantik (Pasal 19 ayat 3 UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) menyiratkan bahwa sistem penyusunan APBD akan selalu mencari keseimbangan.

Keseimbangan ini diperoleh dengan adaptasi dan penyesuaian sistem setiap tahunnya antara mayarakat sebagai voter yang memiliki banyak keinginan dan kebutuhan, DPRD (legislalif) sebagai perwakilan dari voter dan Kepala Daerah (Eksekutif) dengan menggunakan media Musrenbang.

Merupakan masalah klasik yang terjadi dalam penyusunan anggaran yaitu bahwa keterbatasan sumber daya yang dimiliki dalam APBD menyebabkan proses pembuatan keputusan tentang alokasinya menjadi sangat dinamis. Terlebih lagi dalam kondisi di mana terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda-beda.

Proses yang sangat dinamis pada kenyataannya memang terjadi. Segala aspirasi masyarakat dalam bentuk program dan kegiatan yang telah disepakati dan ditampung melalui musrenbang semestinya diberikan alokasi anggaran pada tahapan pembahasan RKA-SKPD oleh DPRD sebagai wakil dari voter dan kepala daerah sebagai eksekutif (tentu saja dengan para pembantunya seperti sekretaris daerah dan kepala organisasi perangat daerah).

Sayangnya, fakta bisa saja berbeda. Kecenderungan yang terjadi ialah bahwa anggota DPRD lebih sering mengesampingkan berbagai hasil dari musrenbang dan lebih mendahulukan pokok-pokok pikiran (pokir) yang dianggap sebagai hasil reses atas kunjungan mereka kepada konstituen.

Mirisnya, pokir tersebut cenderung menjadikan perencanaan APBD bias dari kepentingan masyarakat secara umum, karena pokir tersebut memang lebih banyak ditujukan kepada konstituen/pemilih anggota DPRD pada saat pemilihan kepala daerah (PILKADA).

Sudah bisa diduga, pokir yang direalisasikan dalam bentuk belanja barang, yang kemudian diserahkan, tidak akan tepat menyasar masyarakat yang benar-benar membutuhkan stimulan dari APBD.

Penerjemahan Simbol Sebagai Kompromi Politik

Proses perencanaan partisipatif yang melibatkan interaksi anggota DPRD dengan organisasi perangkat daerah, tentunya melibatkan tanda. Interaksi antara anggota komisi terkait dengan kepala SKPD dan jajarannya, interaksi antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan kepala SKPD dan jajarannya, interaksi antara TAPD dengan anggota DPRD, masing-masing saling menerjemahkan.

Penerjemahan ini dilakukan atas simbol, yaitu tanggapan dan respon di antara mereka. Tidak jarang simbol itu berupa tanda kebohongan. Namun, pada dasarnya tanda dimaksud ditujukan untuk memudahkan pencapaian kepentingan pribadi atau kelompok dari pihak-pihak yang terlibat interaksi tersebut.

Saling menerjemahkan tanda/simbol yang diejawantahkan melalui kompromi politik antara legislatif dan eksekutif, tidak hanya sebatas adanya stimulus secara otomatis dan langsung menimbulkan respon. Tetapi antara stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya diperantarai oleh proses interpretasi oleh masing-masing aktor anggaran.

Stimulus yang diberikan oleh legislatif biasanya berupa permintaan nominal uang dalam jumlah tertentu yang ditujukan untuk memudahkan pembahasan anggaran belanja daerah dalam sidang komisi, lalu diinterpretasi oleh eksekutif dengan memberikan sejumlah nominal uang.

Sejumlah nominal uang ini, tentunya tidak memiliki pos anggaran belanja dalam APBD. Akibatnya, manipulasi pertanggungjawaban belanja daerah sulit dihindari oleh eksekutif dalam laporan keuangan pemeritah daerah.

Proses menerjemahkan tanda/simbol antara prinsipal dan agen (legislatif dan eksekutif) pada pengalokasian belanja daerah dalam APBD, bukan hanya sebatas saling mendefiniskan tindakan masing-masing dalam bentuk nilai moneter dalam APBD.

Namun, di balik nilai moneter yang lahir dari proses tersebut, pemaknaan tanda/simbol prinsipal (anggota DPRD) oleh agen (kepala SKPD) dengan pemberiaan upeti dalam bentuk apapun hanya dimaksudkan untuk memuluskan pembahasan alokasi anggaran belanja tertentu yang hanya akan menguntungkan oknum DPRD dan pejabat SKPD.

Kondisi ini merupakan tanda/simbol bahwa ketika informasi hanya dimiliki dan dikuasai oleh beberapa pihak seperti anggota DPRD, mereka cenderung oportunis dalam melihat kepentingan masyarakat.

Kepentingan masyarakat menurut Anggota DPRD hanyalah sebatas kepentingan konstituen di daerah pemilihan mereka. Hal ini menjelaskan bahwa APBD sebagai sebuah tanda/simbol keterwakilan rakyat hanyalah penanda kebohongan anggota DPRD (agent) dari masyarakat secara umum sebagai pemilik sebenarnya dari APBD.

Dari sisi yang berbeda, pejabat SKPD dan jajarannya lebih melihat pengalokasian anggaran dalam APBD sebagai sebuah tanda/simbol kepemilikan peluang untuk kongkalikong dengan oknum pengusaha atau pihak ketiga tertentu yang dapat memberikan kick back finansial.

Epilog

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa semua tanda/simbol pendapatan dan belanja dalam APBD bermuatan dusta. Dusta itu dapat berupa markup, fee atau apapun namanya, di mana kemudian muatan dusta ini suatu saat akan bermuara pada kerugian keuangan daerah.

Menurut saya, hulu dari fenomena korupsi di daerah adalah semua tindakan manipulatif yang terjadi selama proses pembahasan alokasi anggaran di DPRD. Sehingga, kalau ingin memperbaiki kualitas dan transparansi pengelolaan APBD, mulailah dari saat-saat penyusunannya.

 

 

 

3
0
Nursal Ikhsan ♥ Associate Writer

Nursal Ikhsan ♥ Associate Writer

Author

ASN pada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post