Telah menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakan ujian pada jenjang pendidikan. Hal ini termuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyebutkan bahwa UUD 1945 mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Selain itu, disebutkan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional, dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Sejarah UN: Alat Kelulusan dan Pendaftaran
Sejak tahun 1950-an, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional saat itu atau Ujian Nasional (UN) telah mewarnai dunia pendidikan di negara republik tercinta ini. Selama puluhan tahun, dengan berganti-ganti istilah ujian negara, ujian sekolah, Ebtanas, ujian akhir Sekolah, hingga Ujian Nasional, pada pelaksanaannya saat itu menjadi “sakral” jelang kelulusan.
Keberadaannya masih dibutuhkan ketika itu atau sebagai “alat” atau standar masuk sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Bahkan, ketika UN sudah bukan penentu kelulusan namun hasil UN masih dibutuhkan, sebelum resmi mencari pengganti alternatif ujian.
Di balik itu, ada juga masyarakat yang mengkritisi keberadaan UN. Ketika dikaitkan UN sebagai alat penentu kelulusan, menjadi pertanyaan – bagaimana mungkin ujian 3 atau 4 hari ‘jadi’ penentu kelulusan untuk 3 tahun belajar pada suatu jenjang pendidikan?
Penyimpangan Tujuan
Ketika UN dijadikan ukuran peningkatan mutu dengan melihat peningkatan batas kelulusan (passing grade), konsentrasi sekolah ‘malah’ lebih fokus ke UN-nya bukan bagaimana meningkatkan kualitas output nya.
Tidak heran, ketika pelaksanaan, ada saja berita yang santer tentang kebocoran dan lain-lain. Bahkan, ada saja ketika tingkat kelulusan UN dijadikan salah satu indikator kinerja kepala daerah. Dengan demikian, kepala daerah, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru berusaha sekuat tenaga agar hasil UN di wilayahnya terlihat tinggi.
Keadaan ini terkadang memicu terjadinya penyimpangan tujuan, yang berimplikasi pada praktik penyelenggaraan UN yang manipulatif. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, tidak sedikit pihak menghalalkan semua cara untuk mendongkrak nilai UN itu sendiri.
Sebaliknya ada pula masyarakat yang tidak menyetujui penghapusan UN, dengan alasan ketika UN diselenggarakan saja, banyak siswa tidak punya ‘greget’ belajar, apalagi jika UN dihapus.
Siswa dinilai bersemangat belajar hanya pada akhir tahun jelang ada ujian. Meski adanya UN memunculkan rasa khawatir namun setidaknya memancing siswa untuk belajar.
Mengukur Pencapaian
Jika dilihat tujuan dan manfaatnya, UN bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan siswa pada jenjang satuan pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Sedangkan manfaatnya sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan, memperoleh informasi mengenai kondisi terkini dan kemajuan siswa, kualitas sekolah, serta memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan siswa untuk berusaha lebih baik.
UN merupakan sistem evaluasi standar dikdasmen secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang ketika itu dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemdikbud. Hasil UN juga dapat digunakan sebagai alat ukur pemetaan kemampuan siswa, serta dapat digunakan untuk melihat kualitas dari mutu program dan satuan pendidikan.
Dengan demikian, UN bukan hanya berupa nilai, tetapi juga kategorisasi (leveling) dan deskripsi dari nilai, serta diagnostik untuk perbaikan dan peningkatan kualitas gurunya, pembelajarannya dan lain-lain.
UN Bukan Penentu Kelulusan
Yang harus dipahami oleh masyarakat, sesuai perkembangannya, belakangan UN sudah bukan penentu kelulusan. Keberadan UN adalah lebih sebagai standar kompetensi minimum nasional yang dapat dipakai sebagai acuan antarprovinsi dan menjadi pemersatu bangsa.
Dengan berbagai kebijakan akhirnya UN bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan atau sebagai indikator kelulusan. UN kini lebih sebagai alat pengembangan potensi siswa sehingga menjadi bagian dari proses pembelajaran.
Ini dilakukan dengan mengubah konsep UN bukan untuk menakutkan, namun lebih mendorong siswa memanfaatkan UN sebagai alat pembelajaran. Artinya, kelulusan sepenuhnya ditentukan oleh sekolah dari penyelenggaraan Ujian Akhir Sekolah dan Ulangan Kelas.
Sebelum UN dihapus, ada dua bentuk UN, yaitu: Ujian Nasional Kertas dan Pensil (UNKP) dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). UNBK adalah ujian nasional dengan menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang menampilkan soal dan proses menjawabnya dengan tingkat kesulitan yang sama dengan UN tertulis.
UNBK mendorong siswa untuk meningkatkan literasi terhadap TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Sistem ini dilaksanakan selain upaya mengurangi kebocoran dalam pelaksanaan ujian.
Dengan penyelenggaraan UNBK, yang menggunakan sistem semi-online, soal dikirim dari server pusat secara online melalui jaringan (sinkronisasi) ke server lokal (sekolah). Kemudian, ujian siswa dilayani oleh server lokal (sekolah) secara offline. Selanjutnya hasil ujian dikirim kembali dari server lokal (sekolah) ke server pusat secara online (upload).
M. David Miller dalam Measurement and Assessment in Teaching (2009) memaparkan sejumlah manfaat UN yaitu:
- Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pendidikan untuk mendeteksi kelemahan yang dimiliki,
- Sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan,
- Memberikan informasi mengenai kondisi terkini dan kemajuan siswa serta kualitas sekolah, dan
- Memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan siswa untuk berusaha lebih baik.
Tantangan Pemda dan Sekolah
Manfaat UN secara umum adalah pemetaan mutu program pendidikan dan atau satuan pendidikan, pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta sebagai dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pemerintah daerah, setelah otonomi daerah yang diikuti dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerindah daerah, hasil UN dapat dimanfaatkan untuk melakukan perencanaan program pembinaan satuan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas lulusan yang unggul dan berdaya saing, baik pada tataran lokal, nasional, maupun global.
Kini resmi sudah, UN ditiadakan. Negara mengembalikan pelaksanaan ujian kepada masing-masing sekolah, termasuk menentukan kelulusannya sendiri siswa-siswanya.
Pertanyaannya, mampukah sekolah menentukan kriteria kelayakan kelulusan siswa. Sedangkan kemampuan sekolah beragam, dengan kondisi geografis yang berbeda-beda. Ditambah lagi, karakter dan kemampuan masing-masing daerah dari segi SDM (guru), sarpras sekolah, dan akses transportasi dan informasi yang juga berbeda-beda.
Seperti halnya kurikulum yang cenderung berubah mengikuti perkembangan zaman, UN atau evaluasi atas hasil pendidikan siswa yang telah lama lahir pun ikut berganti dengan berbagai istilah. Kompleksnya permasalahan dan tantangan pendidikan di negera tercinta ini tidak hanya terkait ujian tetapi juga terkait guru, kurikulum, serta pemerataan pendidikan.
Epilog: Tetap Perlu Ujian
Beberapa tahun lalu, hasil UN biasanya dipakai untuk syarat pendaftaran masuk SMP atau Sekolah Menengah (terlebih yang sekolah negeri). Terkait pendaftaran ini, kini calon siswa sudah dimudahkan dengan adanya sistem zonasi.
Adapun peran pimpinan pemda, baik bupati/walikota atau gubernur, lebih terlibat meningkatkan mutu dan layanan dari sisi gurunya, sarpras sekolah, akses, hingga mutu dan layanan antarsekolah yang satu dengan lainnya agar lebih merata.
Sudah saatnya pemerintah dengan berbagai kebijakan mencari konsep pelaksanaan ujian sekolah yang ideal. Pemerintah juga perlu memodifikasi, di mana ujian tidak hanya untuk menentukan kelulusan tetapi dapat digunakan sebagai pengendalian mutu pendidikan.
Ujian sekolah juga masih penting sebagai alat pemetaaan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP). Karena kebijakan terbaru telah menghapuskan UN, dengan demikian dalam hemat saya harus ada alternatif ujian baru. Yaitu ujian yang justru dapat menjadikan siswa menjadi siswa yang berkualitas mengikuti perkembangan zaman.
Ke depan, tantangan dalam program peningkatan mutu pendidikan akan semakin tinggi. Jangan sampai karena ujian dihapuskan atau berganti, ternyata ‘malah’ memberi dampak sebaliknya: menjadikan siswa yang justru malas dan tidak punya motivasi kuat untuk menghasilkan kualitas SDM yang lebih unggul.
Peneliti Muda pada Puslitjakdikbud Balitbang Kemdikbud
Gedung E Lt.19, Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Telp/WA: 081519986789
Email: [email protected]
Terimakasih atas tanggapannya positif terkait artikek ttg UN kpd:
1. Ibu Endang Purwaningsih, Kepala SMPN 1 Sungai Terbelian, Kab. Sintang Prov. Kalbar,
2. Ibu Siti Arina Budiastuti, Kepala SMPN 15 Kota Yogyaiarta, Prov DIY
3. Bapak Syamsudin, Kepala SMA Al- Azhar 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
4. Ibu Sri Widarni, Kepala SMKN 6 Kota Padang, Prov. Sumatera Barat,
5. Ibu Juwita, Kepala Bidang Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Kab. Aceh Besar, Prov Acen
Semoga pemikiran dan upaya Bapak/Ibu sgt bermanfaat bg pendidikan di Indonesia utamanya bg peningkatan akademis, dan karakter anak2 di sekolah…salam sehat
Amanat UUD 1945 untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional membutuhkan perjuangan yang sungguh sungguh dari pelaksana pendidikan dari tingkat pusat, tingkat daerah dan tingkat Satuan Pendidikan di Sekolah.
Perbedaaan sarana prasarana, kondisi daerah, kemampuan tingkat daerah dan tingkat Satuan Pendidikan membutuhkan alat ukur ketercapaian sistem pendidikan nasional yang transparan dan akuntabel sehingga tepat digunakan sebagai alat ukur ketercapaian sistem tersebut.
Salah satu alat ukur keberhasilan pendidikan adalah kualitas hasil pembelajaran yang diukur dengan berbagai kompetensi kelulusan yang ditetapkan. Menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, sudah siapkah tingkat daerah dan tingkat Satuan Pendidikan di Sekolah untuk dapat melakukan penilaian keberhasilan pendidikan tersebut? Tentu semua akan melakukan perubahan kearah perbaikan. Namun demikian masih sangat dibutuhkan kontrol kualitas pendidikan melalui pelaksanaan Ujian yang ideal yang dapat diterapkan di negara kita.
Demikian juga tuntutan abad 21 kita harus melakukan perubahan evaluasi dengan meningkatkan kualitas proses pembelajaran agar mampu bersaing diera Global.
Sangat sepakat dengan alasan:
1. UN Hanya mengukur kemampuan kognitif saja padahal output, outcome, benefit dan impact pendidikan setidaknya meliputi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah ragawi. Jadi pemetaan pendidikan harus meliputi kecerdasan komprehensif tersebut.
2.Mengingat wilayah Indonesia yg luas dan disparitas tinggi maka akan sulit satu ukuran nasional digunakan.
3. Kelulusan untuk kompetensi dan karakter hanya guru di sekolah saja yg lebih tahu sehingga UN tidak perlu.
4. Sekolah dapat mengembangkan karakter siswa dg baik karena tidak terfokus UN saja 🙏
Pemaparannya cukup bagus, krn pembaca menjadi sangat dibantu dg obyektifitas berfikir penulis yg berbasis data & fakta dilapangan, shg rasio berfikir kita sbg pelaku pendidikan dilapangan sangat merasakan betul ttg parameter keberhasilan siswa dari mulai UNBK dg segala dinamikanya sampai dengan persiapan ANBK & AKM nya.
Kalau pelaksanaan UN dg jujur UN dapat dipakai untuk mengukur kinerja sekolah, UN tetap menjadi patokan untuk mengetahui kemampuan anak didik dan sekolah.
Selama ini mulai Pemerintah daerah nilai UN menjadi prestasi Kepala daerah dan Kepsek ,sehingga masing2 Kepsek berjuang dg berbagai cara utk menjadikan nilai UN terbaik
Sangat tepat sekali UN sebagai alat ukur prestasi sklh diganti dg AN
Mantap paparanx pak…seandainya tidak terjadi penyimpangan dari tujuan UN , maka tidak perlu ada AKM…yang harus dipikirkan sekarang, tekhnis apa yang akan digunakan supaya siswa termotivasi untuk belajar lebih giat
Mantap paparanx pak….seandainya tdk terjadi penyimpangan dari tujuan UN maka tdk perlu ada AKM….yang sangat perlu dipikirkan sekarang tekhnis apa yang digunakan supaya siswa mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar
plus minusnya pasti ada: saya kira pemerintah khusus kementerian pendidikan selalu mengubah kebijakan setiap ganti menteri.. sehingga roadmap pemetaan pendidikan di seluruh prov. kab./kota, terutama disekolah tidak terdata dgn baik… apa kekurangan dan kelibihanya.
lembaga lembaga dibawah kementerian pendidikan saya kira perlu di evaluasi. seperti LPMP dan P4TK, harus lebih di beri porsi besar dalam bimbingan dan peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah. terkhusus smk yg didaerah luar Jawa. butuh kebijakan khusus dandi beri peluang yg besar.
UNBK sebaiknya diberikan kepercayaan, pemberdayaan dan penganggaran yg MKKS dan MGMP untuk melaksanakan UNBK seperti halnya UAS saat ini dengan ujian berstandar sekolah. yang seluruh soal dan pengawasan diberikan kepada mereka dan sekolah.
Sebaiknya Ujian Nasional tetap dilaksanakan, karena ini akan menjadi motivasi peserta didik untuk lebih giat belajar dan yang terpenting ada merupakan tolak ukur pencapaian kompetensi dan tolak ukur keberhasil pendidik dan sekolah. Semoga Ujian Nasional tetap dipertahankan.
Tujuan dari AN sudah tepat bila memang untuk pemetaan mutu. Tahun pertama pelaksanaan AN ini walaupun terkesan dipaksakan tetapi kami daerah berpikIr positif dan akan melaksanakan sesuai kemampuan dan nantinya akan jadi bahan evaluasi kita bersama.tetapi untuk keseragaman evaluasi tingkat akhir juga perlu secara nasional.
Serba dilematis dengan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan, sekolah lebih sibuk fokus pada UN, sehingga lupa akan hardskill maupun Softskill peserta didik, termasuk anak-anak maupun orang tua menjadi beban, sehingga sebagai usaha memasukan anaknuntuk bimbel, meskipun dengan biaya yang mahal.
Sekarang dengan ANBK, yang hanya dijadikan pemetaan, ini juga membuat anak-anak menjadi santai, motivasi belajar lebih menurun, maka sekolah harus kerja lebih keras untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki softskill dan hardskill sesuai dengan kebutuhan di era global
Kebebasan sekolah menentukan arah kurukulum dalam menghasilkan lulusan yang berwirausaha dan bisa kerja tidak terikat dengan hasil ujian Nasional.
Memberikan ruang gerak bagi sekolah dalam mendesain kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik untuk berwirausaha dan bisa kerja.
UN masih perlu dilakukan untuk standarisasi kemampuan peserta didik dalam literasi dan numeralisasi namun tidak 100% penentu kelulusan
Ujian Nasional dari pandangan sisi positif, dapat memicu dan memacu semangat belajar para murid. Ada semangat, kerja keras untuk mengukur ketercapaian kompetensi jika diuji oleh pihak eksternal dengan soal2 yang terstandar.
Ini lebih menantang ketimbang Ujian Sekolah yang umumnya soal2nya disusun oleh tim guru internal sekolah.
Rindu juga suasana para murid pada saat mereka menyiapkan Ujian Nasional dengan semangat, serius, tanggung jawab, kemandirian, integritas, serta nilai2 karakter yang menguat.
UN tetap diperlukan agar dapat mengukur sampai sejauh mana kempuan peserta didik selama belajar di satu jenjang pendidikan, tetapi bukan sebagai penentu kelulusan
Namun sayang pemerintah dlm hal ini Kemendikbud menghaous UN tanpa kesiapan pengganti yg sepadan sbg kontroling kualitas pendidikan nasional, sebagai penjjaminan mutu dan keberhasilan pendidikan dari tingkat nasional sp satuan pendidikan.
Sebuah keputusan yg tergesa-gesa, malah membuat bingung para pendidik sbg garda terdepan pendidikan di Indonesia.
Ujian akhir apapun namanya tetap perlu ada,untuk kepentingan pengetahuan dan psikologi dan kepentingan2 standard daerah ataupun nasional.tetapi terkadang ujian jadi trending topik karena sesuatu yg menakutkan,stress dll.
Apapun jenisnya yg namanya ujian pasti menakutkan karena akan menentukan hasil yg akan digunakan untuk menentukan nasib.tetapi dengan kesiapan yg sungguh sungguh ujian tidak menakutkan.ujian juga jangan membebani satuan pendidikan secara material karena kekuatan dan kelengkapan setiap sekolah pasti berbeda beda
Hanya sy kurang yakin pak kl AKM bs menggambarkan kemampuan yg sesungguhnya krn belum tentu peserta AN mengerjakan soal2 AN dengan serius selama AN tdk menjadi suatu standar bagi peserta AN itu sendiri.
UN sebenarnya msh diperlukan tetapi bkn menjadi tolak ukur keberhasilan siswa dalam proses dan hasil suatu pembelajaran, apalgi dgn pola dan cara2 manipulatif dsb yg prnh terjadi di masa lalu.
Kita lihat dulu AKM sebagai pengganti UN seperti apa dia bermanfaat atau tidak, sesudah itu kita beri saran masukan atau perbaikan.
Standarisasi kelulusan secara nasional ttp diperlukan apapun nama dan teknisnya, supaya tdk ada kecenderungan bahwa sekolah bebas menentukan sendiri nilai kelulusan, sehingga tdk ada patokan yg sesungguhnya. Hal ini bs berakibat ada sekolah2 yg meluluskan siswa dg standart nilai yg tinggi dan ada yg nilainya biasa3 aja. Kita hrs ingat pula bahwa anak unt melanjutkan ke jenjang berikutnya patokan nilai yg tinggi mash menjadi alat ukurnya.
Saya pribadi kurang setuju kalau UN dihapus dan sebagai penentu kelulusan siswa. Karena kelulusan setiap siswa banyak faktor yg menentukan. Saya juga tdk setuju istilah ujian digonta ganti. Malah justru membinggungkan masyarakat krn pada dasarny sama. Contoh saat ini UNBK diganti istilah ANBK. Sebenarnya maksud dan tujuan sama. Memang zaman skr kita harus menguasai IT. Dan siswa Dan guru skr dituntun jg harus bisa IT. Tapi dilapangan msh banyak guru yg blm menguasai IT. Padahal sudah punya sertifikat pendidik. Pemerintah pusat jg perlu mengevaluasi program sertifikasi guru. Krn banyak guru sudah bersertifikat pendidik tetapi kualitas siswa malah menurun. Menurut saya orientasi guru skr ini lebih ke mendapatkan tunjangan ini itu ketimbang pendidikan siswa nya. Mohon maaf tdk semua guru. Penilaian saya ini berdasarkan fakta yg saya hadapi dilapangan. Contoh ada beberapa guru berebut minta dimutasikan ke sekolah terpencil. Ini fakta yang saya hadapi dilapangan.
Mudah2an pendidikan di Indonesia semakin membaik walaupun di masa pandemi.