Tak kuasa aku merangkai kata demi kata.
Tak mampu aku membendung rasa.
Jiwa dan emosiku meledak.
Hingga tetesan air mata mengucur deras tak terbendung.
Teringat wajah sepuh yang kurindu. Tak terlupakan lipatan kerut dahinya. Terlihat jelas wajah tak terawat yang membalut wajah penuh aura surga. Melawan terik perkasanya Sang Surya. Takkan mungkin. Tak kan pernah. Sekedar bersolek di depan kaca? Tidak.
“Kanggo opo. Cukup air wudhu”.
Bibir kering pucat tak bergincu. Sebagian kulit ari tipis di bibirnya terkelupas. Karena lantunan doa yang tak pernah henti. Pagi. Siang. Malam. Melawan dingin dan rasa malas tak terkira. Tapi tetap menjaga asa pada Sang Khaliq. Untuk buah hatinya tercinta.
Namun senyum paginya, sulit dilupakan. Terasa membelai lembut hatiku dan mendekap seluruh tubuhku. Pagi yang dingin terasa hangat. Siang yang terik terasa berawan. Malam yang gelap dan dingin terasa terang dan sejuk. Ya. Senyum tulus ibu. Yang tak kan pernah sanggup aku menirunya. Sekalipun ada asa tuk menunaikannya.
“Gusti. Jadikan hambamu yang fakir ini. Pandai membalas senyum tulusnya”.
Tangan dekil gelap keriput. Tak membuat malu. Namun, justru membuat bangga dirinya. Inilah bukti alam memberi nilai lebih. Tangan cekatan yang melampaui omong kosong. Mlompong. Seolah kerja keras penuh tirakat lebih penting dari sekedar pidato.
Filosofi hidup yang menyiratkan hikmah dan karakter manusia utama yang pekerja keras, semangat dan berenergi, tak pernah berkeluh kesah. Yang melahirkan cinta Alloh Ta’ala kepadanya.
“Urip iku yo sawang sinawang. Sing sabar lan sareh”.
Ibu benar. Orang hanya akan melihat apa yang ada dan terjadi saat ini. Namun, penderitaan dalam proses pendakian sering tak terlihat. Cenderung tak ternilai. Karena itu, kesabaran dan keikhlasan menjalankan hidup dengan cara kita yang utama. Asalkan konsisten dan ajeg.
“Duh Gusti. Turunkan kekuatan cintanya, hingga aku pandai mencintainya”.
Cekung matanya menyiratkan kuatnya daya literasi. Kemampuannya membaca tanda alam sekalipun tak lulus sekolah, dan tak mampu baca tulis.
Sorot matanya tajam bagai elang rajawali. Hingga butiran beras yang di-tapih-nya jatuh pun, beliau tahu. Visi masa depan seorang ibu melebihi kemampuan seorang petinggi negeri.
“Gusti yang Maha Kaya. Pemilik alam semesta. Ampunilah hambamu ini yang terlalu sering membuang percuma. Membuang ruang dan waktu sekedar mencium tangan, mendekap erat, mencium pipi dan sekedar membersihkan dan memotong kuku di kaki dan tangan ibu. Pada semuanya dicukupkan. Jadikanlah hamba, termasuk golongan orang-orang yang pandai bersyukur. Sebagaimana ibu mengajariku”.
Melemahnya cengkeraman tangannya tak menyiratkan lelah yang terus menggelayuti dirinya. Pagi jadi siang. Siang jadi malam. Malam kembali mewujud pagi. Semua tak pernah dijalani dengan penuh kebersahajaan.
Sore hingga malam menjadi saat yang tepat. Justru hanya sedikit waktu yang tersisa. Padahal sekedar merebahkan dinding punggung dengan tikar pandan usang. Yang menutupi dipan kayu tua. Mestinya bisa. Kenapa tidak ibu lakukan?
“Mak. Kan ada kasur kapuk yang bisa dipakai? Agar mamak nyenyak istirahatnya”.
Takkan pernah dijawab. Pertanyaan yang sudah sering terlontar ini hanya dijawab senyum. Senyum syarat dengan sejuta makna.
“Seingat saya, hanya sekali saja pertanyaan itu terjawab” kelakarku. Dan ini jawaban yang mengagetkanku.
“Agar aku terjaga di sepertiga malam.
Untuk apa?
Kamu tidak akan pernah tahu. Kenapa aku begitu merindukan”.
Sampai disini aku tak sanggup merangkai kata lagi. Berhenti….
Salam sujud ibu.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan nikmat sehat walafiat.
Energi semangatmu yang tak pernah lekang.
Akan selalu menjadi inspirasi bagiku.
Selamanya
Mohon maaf ibu.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2021.
Untuk ibuku, dan para ibu dari Saudaraku sekalian.
0 Comments