Ada satu peristiwa yang saat ini sedang terjadi, dan menarik perhatian saya. Peristiwa itu bukan tentang perang Rusia-Ukraina yang mungkin akan memicu Perang Dunia Ketiga, bukan pula tentang pernyataan salah satu Menteri Kabinet yang kontroversial, bukan juga tentang harga minyak yang melambung tinggi, melainkan tentang keterlambatan pembayaran TPP bagi para ASN di negeri ini.
TPP alias Tunjangan Perbaikan Penghasilan seharusnya diterima oleh para Aparatur Sipil Negara (ASN) di hampir seluruh wilayah Indonesia, terutama mereka yang bekerja di instansi pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten). Bagi saya dan jutaan ASN lainnya, peristiwa ini layak dianggap sebagai skandal.
“Skandal” ini mungkin kurang menarik bagi para kuli tinta. Lihat saja, tidak satupun surat kabar atau media mainstream lain yang menjadikannya tajuk utama pemberitaan. Wajar, karena membicarakan penghasilan aparatur negara di hadapan publik tidak cukup “seksi” dibanding isu-isu yang disebutkan di awal. Terlebih, masih banyak kalangan masyarakat lain yang kondisinya jauh lebih sulit dibandingkan pegawai pemerintah.
Untuk alasan terakhir, hati kecil saya bersepakat. Memang benar, jika dibandingkan dengan sebagian masyarakat lain yang bekerja bukan di sektor pemerintahan, keterlambatan pembayaran TPP hanyalah permasalahan kecil bangsa ini. Ia layak dikesampingkan.
Namun, ketertarikan saya atas kondisi ini bukanlah pada kenyataan bahwa tunjangan yang setiap bulannya saya terima tersebut terlambat sehingga merusak neraca keuangan saya. Melainkan, ada hal lain yang tersirat di dalamnya.
Apa itu TPP?
Sebelum membahas tentang TPP, penting kiranya kita pilah dulu dua istilah yang selalu dipergunakan untuk mempresentasikan salah satu komponen penghasilan PNS daerah ini. Dua istilah tersebut yakni TPP dan Tukin, atau tunjangan kinerja. Seringkali khalayak mempersamakan dua istilah tersebut. Padahal, seyogyanya kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda.
Keduanya memang istilah yang digunakan bagi penghasilan lain yang diberikan kepada ASN. Akan tetapi, setidaknya terdapat dua hal yang membedakan. Perbedaan pertama terletak di instansi yang menerapkannya. Jika istilah Tukin digunakan di instansi pemerintah (pusat) seperti kementerian dan lembaga negara, maka TPP digunakan untuk pemerintah daerah.
Perbedaan kedua ada di pengaturannya. Jika Tukin disandarkan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia (Menpan RB) serta perubahannya, maka TPP disandarkan pada Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah dan peraturan pelaksanaannya.
Dengan memahami perbedaan tersebut, diskusi penulis kali ini mulai mendapatkan titik terang. Melalui prolog di atas, setidaknya beberapa pertanyaan rekan yang bekerja di kementerian yang kebingungan dengan isu ini mulai mendapatkan jawaban.
“TPP itu apa? Kok kami di kementerian tidak mengalami keterlambatan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu setidaknya sekarang mendapatkan penjelasannya.“
Berdasarkan ketentuan, TPP dapat didefinisikan sebagai salah satu komponen penghasilan yang diberikan kepada ASN sebagai penghargaan atas keberhasilan penyelenggaraan pemerintah di daerah. Selanjutnya disebutkan juga bahwa pemberian TPP hanya dapat diberikan sesuai kemampuan pemerintah daerah.
Beberapa hal kemudian dapat kita sepakati pula. Pertama , TPP dan berbagai kebijakannya hanya berlaku di daerah, sehingga keterlambatan pembayaran TPP hanya terjadi terhadap ASN daerah; baik yang di pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota. Kedua , TPP seyogyanya diberlakukan bagi PNS maupun PPPK (ASN) sehingga istilahnya adalah TPP ASN, bukan TPP PNS.
Kebijakan TPP dan Mengapa Terjadi Keterlambatan?
Kebijakan pemberian tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) di lingkungan pemerintah daerah saat ini diatur oleh tiga ketentuan. Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai dasar penganggarannya.
Kedua , Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900-4700 Tahun 2020 tentang Tata Cara Persetujuan Menteri Dalam Negeri Terhadap Tambahan Penghasilan Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Pemerintah Daerah sebagai pedoman penyusunan besaran dan kebijakan pemberiannya.
Dan terakhir atau ketiga, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2022 yang menjelaskan mekanisme penganggaran TPP pada APBD Tahun 2022.
Untuk “menertibkan” pemberian TPP kemudian disusunlah mekanisme penetapan besaran dan mekanisme persetujuan pemerintah yang tadi disebutkan dengan diagram sebagai berikut:
Gambar di atas menunjukkan begitu “njelimet”-nya alur perumusan kebijakan TPP hingga dapat dicairkan di Pemerintah daerah. Mulai dari penyusunan analisis jabatan, yang diketahui secara umum begitu rumit; kemudian evaluasi jabatan, yang harus mendapatkan validasi dari kemenpan RB; hingga pada persetujuan dari Kementerian Keuangan, yang tentunya bukan perkara mudah.
Sebagai catatan, untuk proses analisis jabatan saja setidaknya dibutuhkan satu tahun anggaran untuk menyelesaikannya. Evaluasi jabatanpun demikian. Apalagi, jika terdapat koreksi dari kementerian PAN-RB, bisa bertambah satu periode lagi. Belum lagi, untuk input SIMONA.
Itu baru untuk daerah sebagai pemrakarsa. Untuk kementerian yang melakukan validasi, tentu saja bukan juga perkara mudah. Bayangkan, masing-masing jabatan harus dinilai dan divalidasi. Padahal, ada ribuan jabatan di sana. Jika satu jabatan saja butuh satu hari untuk memvalidasi, butuh ribuan hari untuk melakukan semua validasi yang dibutuhkan.
Sebuah kebijakan yang tidak masuk akal menurut kacamata penulis.
Anomali Arah Pembangunan Birokrasi
Menyikapi permasalahan ini, penulis mengerutkan kening. Tidak terlalu berselang lama, penulis dijejali dengan konsep-konsep kebijakan revolusioner tentang merubah wajah birokrasi hierarkis menjadi lebih flat (datar).
Katanya, konsep-konsep ini punya misi membangun organisasi yang berisi tim-tim efektif yang mampu menyelesaikan patologi birokrasi berupa kelambanan, keteraturan yang menghambat inovasi, dan rentang kendali yang begitu panjang.
Cukup lama waktu yang diperlukan bagi penulis mencerna konsep-konsep tersebut, hingga akhirnya perlahan namun pasti mulai melihat hal-hal baik dalam konsep yang ditawarkan. Konsep di mana birokrasi menjadi lebih ramping melalui penyederhanaan birokrasi dan proses bisnis.
Konsep di mana kebijakan dapat diambil cepat karena adanya tim efektif yang mengalahkan hierarki. Konsep di mana pandangan bias pimpinan dapat dihindarkan, karena pimpinan hanya fasilitator bukan decision maker. Itulah konsep yang diusung dalam dynamic-bureaucracy yang ingin diwujudkan di tahun 2024 nanti.
Kini, semua itu seakan sirna karena satu kebijakan yang menurut penulis justru bertentangan dengan semangat yang digembar-gemborkan tersebut. Kontradiksi antara semangat menuju dynamic-bureaucracy dengan kebijakan praktis pemberian TPP ini dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai berikut:
- Menciptakan keseragaman yang justru lekat dengan patologi birokrasi
Dengan mewajibkan persetujuan kemendagri atas semua kebijakan TPP, maka kebijakan sentralisasi diterapkan. Kebijakan ini akan bermuara kepada keseragaman semua kebijakan ini. Salah satu kekurangan dari birokrasi adalah keteraturan dan keseragaman sehingga menutup inovasi.
- Kebijakan yang tidak adaptif
Dalam konteks dynamic bureaucracy, Neo dan Chen dalam Andhika (2018) menyebutkan “dynamism is characterized by new ideas, fresh perceptions,continual upgrading, quick actions, flexible adaptations, and creative innovations.”
Lebih lanjut, Andhika menyebutkan bahwa dynamic-governance akan berhasil jika kebijakan adaptif dijalankan dengan baik. Kebijakan adaptitf tersebut mengarah pada policy diffusion (Baybeck, Berry, & Siegel, 2011; Gilardi, 2016).
Melalui validasi kelas jabatan oleh kemenpan RB, maka seluruh kelas jabatan akan di-satu-prototipe-kan. Padahal, satu jabatan di suatu daerah mungkin saja memiliki harga yang berbeda dibandingkan dengan jabatan yang sama di daerah lainnya.
Misalnya, camat di DKI Jakarta bisa saja memiliki kelas 13 (di atas kepala bagian) meskipun mayoritas kelas jabatan camat adalah 12. Hal ini memungkinkan kebijakan ini baik di satu daerah, tetapi tidak relevan di daerah yang lain.
- Mempergemuk birokrasi pemerintah (pusat)
Sudah 21 Tahun desentralisasi berjalan, namun kecenderungan untuk mempertahankan sentralisasi administrasi masih begitu kuat. Dengan selalu mengaitkan setiap kebijakan pemerintah daerah yang harus melalui approval dari pemerintah (pusat), secara tidak sadar menambah beban pekerjaan pemerintah (pusat). Secara otomatis hal tersebut menambah kebutuhan pegawai di pemerintah (pusat).
Jika penulis boleh berasumsi, kebijakan ini adalah bentuk dari kekhawatiran pemerintah (pusat) atas diskresi yang dilakukan oleh pemerintah daerah atas kebijakan-kebijakanya. Akan tetapi apakah hal ini masuk akal?
Pendulum keseimbangan sentralisasi-desentralisasi memang telah sekian lama menjadi perdebatan dalam kerangka negara kesatuan yang bukan federalistik. Namun, pengawasan pemerintah pusat terhadap hal yang bersifat detail hingga ke anailisis jabatan, evaluasi jabatan, dan hal-hal detail lainnya adalah pekerjaan berat yang seyogyanya perlu dilepaskan; jika memang kita berharap birokrasi kita menjadi lebih tangkas sesuai amanat reformasi birokrasi.
Epilog: Saatnya Pusat Berhenti Mendikte
Kebijakan terhadap pemberian TPP adalah satu dari begitu banyak kebijakan pemerintah (pusat) yang mendikte daerah. Selain ini, masih banyak kebijakan pemerintah pusat yang terus-menerus mencampuri urusan daerah.
Di tengah-tengah upaya merubah birokrasi Indonesia menjadi lebih tangkas (agile), hal ini justru kontraproduktif terhadap ide-ide pemangkasan birokrasi, penyederhanaan proses, kolaborasi, dan inovasi.
Layaknya orang tua yang memiliki buah hati yang telah dewasa dan sudah waktunya berumah tangga, tidak layak baginya mencampuri kehidupan rumah tangga buah hatinya hingga hal-hal detail semacam pengeluaran rumah tangga. Bukankah hal itu hanya akan lebih merusak rumah tangga Sang Buah Hati?
Sudah saatnya pemerintah (pusat) memperlakukan daerah sebagai seorang yang dewasa yang mampu bertanggung jawab atas hidup dan kehidupannya. Berlakulah sebagai orang tua bijaksana yang mengawasi dari kejauhan dan memberi nasihat jika terjadi kekeliruan.
Hanya dengan seperti itu maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Bijaksanalah memilah urusan mana yang memaksa pemerintah (pusat) turun tangan dan urusan mana yang perlu dibiarkan diselesaikan oleh daerah sendiri.
Dan, Stop mengklaim DAU sebagai “Uang Pemerintah (Pusat)!”
DAU adalah uang rakyat yang bersumber dari warga di daerah dan berbagai sumber keuangan yang sah lainnya. Hanya mekanisme pembagian kewenanganlah yang menjadikannya uang pusat-uang daerah. Hakikatnya, uang itu adalah uang pemerintah, baik pusat maupun daerah -yang sepenuhnya harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Wallohu A’lam Bisshawwab
Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.
TPP selama ini masih bersifat subyektif hasil perhitungan pejabat administrasi yang ada kecenderungan merugikan pejabat fungsional. Penyetaraan jabatan administasi ke jabatan fungsional dinilai masih belum sampai kepada penyetaraan pendapatan TPPnya.
Harus ada tindaklanjut nyata menyelesaikan ketidaksetaraan TPP berdasarkan kelas jabatan dan komponen lainnya antara JA dan JF.
Pemerintah pusat turut campur karena adanya ketidaksesuaian dan ketidakadilan dalam perhitungan TPP…. Seorang guru pun juga mempertanyakan kenapa guru tidak mendapatkan TPP.
Jawaban yang selalu dianggap pembenaran adalah karena sdh dapat tunjangan profesi.
Apakah TPP dapat di samakan dengan tunjangan profesi.
Ada Pemda yang guru nya tidak dapat tunjangan profesi maka digantikan dengan mendapatkan TPP.
Dan Pemda sendiri seolah olah berlomba dengan daerah sekitarnya minimal klo sekelas sekda di Pemda saya harus lebih tinggi dari Pemda sebelah.. karena berdasarkan kemampuan. Padahal masalah kemampuan ini salah satunya “mengakali” dgn alasan seperti diatas.
Perbedaan Tpp Adalah lumrah jika penerapan desentralisasi diberlakukan. Permasalahan persepsi antara TPP dengan Tunjangan Profesi tentu hal lain. Bagi saya inkonsistensi penerapan semangat “agile birokrasi” dengan praktek administrasi adalah krusial untuk diperbaiki. Jika ingin menggunakan proses yang lebih agile sentralisasi payroll, atau penerapan kepercayaan penuh thd daerah adalah dua pilihan yang harus diambil salah satu. Silakan pemerintah memilih yang mana.
Trima ksh untuk tulisannya, merepresentasikan sebagian dr kegundahan kami di pemerintah daerah..
Salam hangat dr Papua🙏
Sama Sama pak
Alhamdulillah, sangat menginspirasi buat pengambil kebijakan, terimakasih kang badar, InsyaAllah sehat selalu utk tetap berkontribusi memberikan pencerahan kepada pengambil kebijakan, Amiin, salam Negarawan…
Terima Kasih Mas
Perspektif anda 👍dilihatat dari relasi pemerintah pusat dan daerah
Salam kenal, bagus tulisannya… saya juga sependapat. Jarang ada ASN berani menulis dan mengkritisi kebijakan Pusat.
LAnjutkan…semoga tulisan nya rutin
Pendapat pribadi ttg ASN ( dulu saya PNS), jika dilihat dari permasalahan pd ASN sekarang ini, jika mereka ada masalah, mereka kecewa, terus menuntut orang lain ( pers & masyarakat lain ) untuk memperhatikan nasib mereka, karena menganggap dirinya juga masyarakat (yg terzalimi) tapi, banyak masalah yg dihadapi masyarakat ( dan terzalimi) mereka diam membisu & takut bersuara seolah mereka bukan masyarakat ( merasa mereka adalah bagian dari pemerintah), padahal kalau mereka merasa bagian dari masyarakat harus nya ikut berdiri dan menyuarakan pada pemerintah yg notabene atasan2 nya. jadi kalau orang lain ngga peduli pada ASN , karena memang rakyat sudah menganggap kalian lah yg menyebabkan kesengsaraan itu sendiri , jadi ngga perlu dibesarkan besarkan, karena rakyat juga lagi susah. DINIKMATI SAJA..!!!seperti para ASN menikmati gaji dan jabatannya untuk tunduk pada atasan atasan mereka (PEMERINTAH)..!!! yang…..
Kalo Bapak Cermat membaca tulisan saya. Saya juga memang berfikir kalo keterlambatan ini bisa dianggap hal remeh diantara permasalahan bangsa. Yang menjadi penekanan dalam tulisan saya adalah inkonsistensi konsep birokrasi yang hendak dikembangkan. Ini masalah besar menurut Saya karna ketudakjelasan konsep birokrasi akan memperumit upaya memperbaiki birokrasi. Semoga dapat menjawab keresahan Bapak akan tulisan ini.
Brillian
Terima Kasih
Mantaap pak
Barakallahu fiik
Semoga Allah menjaga Bapak
Amiiin YRA
Ini tulisan menyerahkan
Terimakasih, Semoga menginslirasi
Alhamdulillah. Terima kasih pak.
Great..be the great one..you will never know..until you try..otw the golden age 2045..
Seharusnya pemerintah bijak, otonomi daerah itu harus seperti apa, kalau mau disamakan gaji dan tukin/tpp ya sdh semuanya bersumber dari APBN. Pertanyaannya sanggup tidak APBN?
Mencerahkan.. tapi unsur politik apaakh akan menjadi sesuatu yang diperhitungkan ? Karena kita tahu, ASN ini adalah sasaran empuk “kampanye terselubung”
Untuk urusan politik, saya tidak terlalu dapat melihatnya. Mungkin kawan yang lain yang peka dengan hal ini bisa menambahkan
Tulisan ini telah mewakili kecamuk-kecamuk pikiran saya selama ini.. Ya ada “kekhawatiran dibalik keleluasaan” 🤝 ahh entahlah..
Saran Pak, tulis soal KORPRI dong..
Sebuah organisasi “besar” yg anggotanya kehilangan ruh dan jati diri
Dewasa ini anggota “organisasi” ini lbh cenderung bernaung dibawah pohon politik yg annetral,, dan seolah “dibuat lupa” dengan kaidah organisasi itu sendiri
Terima kasih supportnya. Insha allah dicatat sebagai materi tulisan selanjutnya
Tulisan yang sangat bagus pak, apresiasi 👍
Ijin menambahlan mungkin pusat tujuannya agar pemerintah daerah menerapkan pemberian TPP berdasarkan kelas jabatan, masih banyak pemda yg belum melaksanakan hal tsb meskipun mereka sudah mendapatkan rekomendasi kelas jabatan dari kemenpan rb
Akan tetapi rumitnya proses pengajuan (di pusat) dan ketidak sinkronan antara OPD di pemda membuat hal itu semakin rumit
Dari sisi pemangku kebijakan mungkin thinktanknya tidak memperhitungkan estimasi waktu proses validasi karena hanya melihat di atas kertas dengan template proses bisnis belaka.. Lhaaa mereka sendiri tidak pernah merasakan proses itu sendiri cuma memikirkan…
Menurut Saya ini karna belum padunya konsep penataan birokrasi yang diinginkan. Yang satu ke arah penyderhanaan birokrasi (birokrasi lebih leluasa) yang satu khawatir dengan keleluasaan.
Inspiratif semoga bisa membuka hati Par pengambil kebijakan.
Amiiin YRA
Tulisan yang sangat bagus, pak.
Terima Kasih Mas
Terima Kasih Pak
Terimakasih tulisannya pak..luar biasa
Mantap pak sekmat. Teruskan perjuanganny
Terus berkarya kang badar dari cipacing..
Makasih Mas Fiza