Percayakah Anda bahwa implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif dapat memperbaiki karakter generasi muda?
Sebagaimana saya, Anda pun juga pasti merasakan kegalauan melihat potret generasi muda saat ini. Generasi masa kini yang sering juga disebut dengan anak zaman now dianggap sebagai generasi yang rapuh, mudah terombang-ambing, dan lebih senang membuang-buang waktu demi sekadar eksis di media sosial. Lebih parah lagi, anak-anak muda ini juga dianggap tidak memiliki karakter, sulit diajak untuk berfikir serius, dan masih ada sejumlah atribut negatif lainnya. Seburuk itu kah?
Jika ya, lalu di mana peran dunia pendidikan kita? Adakah sesuatu yang salah dengan strategi pendidikan generasi muda ini?
Buku yang ada di hadapan Anda saat ini hendak menawarkan sebuah strategi perbaikan kualitas pelayanan publik, termasuk dalam hal perbaikan karakter generasi muda, dengan melakukan revitalisasi SAKIP. Buku ini memberikan gambaran bagaimana implementasi SAKIP yang efektif turut berkontribusi dalam mewujudkan tujuan pembangunan, khususnya pada level pemerintahan daerah.
Sistem akuntabilitas kinerja selama ini lebih dianggap sebagai sebuah kewajiban formal dalam rangka penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP), yang saat ini berubah nama menjadi laporan kinerja. SAKIP sering dipandang sebelah mata baik oleh legislator maupun kepala daerah.
Dalam proses penyusunan anggaran, misalnya, fokus pembahasan lebih kepada deretan angka-angka, dari pada target kinerja yang ingin dicapai. Bagi tim penyusun, laporan kinerja juga sering dianggap sebagai beban.
Rendahnya perhatian terhadap SAKIP ini bisa jadi disebabkan karena kurangnya pemahaman atas potensi sistem akuntabilitas ini untuk perbaikan negeri. Padahal implementasi SAKIP yang efektif tak hanya bisa memperbaiki karakter anak zaman now, melainkan juga meningkatkan kesejahteraan petani, mewujudkan kenyamanan kota, mengurangi tingkat kerusakan lingkungan, serta menumbuhkan integritas penyelenggara negara.
Keterhubungan antara SAKIP dengan segenap potensinya untuk memecahkan permasalahan negeri ini sering kali tidak dikenali. Beberapa pertanyaan berikut, sering tidak menjadi fokus perhatian dalam membangun sistem akuntabilitas ini: Bagaimana SAKIP dapat mengurangi tingkat kecelakaan yang disebabkan oleh banyaknya anak-anak di bawah umur yang mengendarai sepeda motor. Bagaimana SAKIP dapat mengurangi kecanduan anak-anak terhadap gawai. Adakah hubungan implementasi SAKIP dengan sikap masyarakat yang kini dianggap makin intoleran?
Kontribusi SAKIP pada pemecahan masalah-masalah di atas sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadapnya. Jika SAKIP hanya dipandang semata sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sub-sub sistem, dari dokumen perencanaan hingga laporan kinerja, maka dampak implementasi SAKIP terhadap pemecahan masalah di atas tidak akan terlihat. Oleh karena itu, SAKIP seharusnya dipandang sebagai falsafah organisasi yang menggerakkan seluruh anggota organisasi untuk mencapai tujuan. Untuk itu, perlu dibangun suatu kultur atau budaya yang berorientasi pada kinerja, atau biasa disebut sebagai performance-driven culture.
Inti dari performance-driven culture adalah bagaimana melibatkan seluruh pegawai dalam proses perbaikan kinerja. Sistem akuntabilitas kinerja hendaknya juga harus mengedepankan aspek pembelajaran atau learning, bukan pemberian sanksi atas ketidakberhasilan pencapaian target kinerja. Iklim dialogis yang sehat harus dibangun oleh pimpinan agar informasi kinerja menjadi topik bahasan sehari-hari yang dapat mendorong kreativitas dan inovasi pegawai.
Buku revitalisasi SAKIP ini merupakan adaptasi dari disertasi saya yang berjudul: The Use of Performance Information by Local Government Managers: Indonesian Case Studies. Buku ini merupakan adaptasi, bukan terjemahan dari disertasi tersebut. Sebagian besar gagasan yang tertuang dalam buku ini merupakan findings atau temuan saat melakukan penelitian pada tiga organisasi perangkat daerah (OPD) pada dua pemerintah daerah (pemda) di Indonesia.
Kajian literatur yang mendalam selama saya menjadi mahasiswa doktoral juga memberikan banyak inspirasi tentang penerapan manajemen kinerja yang efektif di beberapa negara. Findings hasil penelitian serta kajian literature tersebut kemudian dianalisis kembali dan diterjemahkan dalam bahasa yang segar, agar memudahkan pemahaman bagi para praktisi untuk melakukan revitalisasi sistem akuntabilitas kinerja di unit kerja masing-masing.
Buku revitalisasi SAKIP ini terdiri dari enam bagian. Sebagai pembuka, bagian pertama akan membahas perkembangan implementasi atas pemanfaatan informasi kinerja di beberapa negara. Di Indonesia pemanfaatan informasi kinerja mengejawantah dalam SAKIP. Beberapa pertanyaan yang dapat dijawab dalam bagian pertama ini di antaranya adalah: Sejauh mana tingkat kematangan penerapan SAKIP di negara-negara maju? Apakah mereka juga mengalami masalah yang sama dengan apa yang dihadapi instansi pemerintah di Indonesia? Apa saja kah permasalahan yang dihadapi sehingga hasi evaluasi SAKIP pada tingkat pemerintah daerah di negeri kita menunjukkan hasil yang masih jauh dari harapan?
Pada bagian kedua Anda akan mendapatkan pemahaman tentang bagaimana membangun budaya organisasi yang berorientasi pada kinerja. Studi kasus di beberapa negara terkait membangun budaya organisasi akan di paparkan pada bagian ini sebagai referensi agar SAKIP dapat memberikan efek yang lebih dahsyat. Termasuk dalam hal ini adalah langkah-langkah yang ditempuh menuju organisasi yang berorientasi pada kinerja.
Pemahaman tentang bagaimana menjadikan SAKIP sebagai falsafah hidup membawa konsekuensi terhadap strategi fasilitasi yang tidak sekedar berfokus pada penyusunan dokumen, tapi bagaimana menghidupkan sebuah sistem. Menindaklanjuti hal ini, Kementerian PANRB perlu menyusun strategi agar perubahan signifikan dalam perbaikan kualitas pelayanan publik dapat dicapai melalui implementasi SAKIP yang efektif. Apa saja strategi yang bisa ditempuh? Jawabannya akan dapat Anda temukan di bagian kedua dari buku ini.
Selanjutnya, efektifitas SAKIP dalam peningkatan kinerja instansi pemerintah juga dipengaruhi oleh peran para pemangku kepentingan. Bagian tiga akan menjelaskan tentang peran tersebut dalam kaitannya dengan konsep modal sosial yang juga dipercaya sebagai salah satu faktor keberhasilan pembangunan daerah. Masyarakat, legislator, LSM serta media memiliki peran yang besar dalam mendorong pemerintah daerah dalam meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Untuk itu, membangun hubungan yang kuat dengan para pemangku kepentingan, termasuk dalam lingkup internal, menjadi hal yang tak bisa dinafikan. Ulasan tentang pentingnya membangun modal sosial internal, modal sosial masyarakat, serta modal sosial dalam keluarga yang sangat berpengaruh terhadap kinerja akan Anda dapatkan pada bagian ini.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang modal sosial, contoh nyata juga akan dipaparkan dalam bagian ini. Menurut Coleman (1988) hubungan antara orang tua dan anak sangat menentukan prestasi anak di sekolah. Coleman mengambil contoh John Stuart Mill yang dididik oleh ayahnya secara langsung untuk menggambarkan bagaimana modal sosial yang terbangun mampu membentuk kapasitas intelektual anak.
Dalam konteks SAKIP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menyadari pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak. Hal ini terlihat dari salah satu target kinerja yang ingin dicapai, yaitu meningkatkan jumlah keluarga yang terlibat dalam pendidikan anak. Semakin kuat modal sosial yang terbangun dari aktivitas interaksi orang tua dan anak akan semakin besar kontribusinya terhadap pencapaian kinerja Kemendikbud.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia salah satunya juga disebabkan karena masih minimnya infrastruktur dan fasilitas yang mendukung pembelajaran. Target Standar Pelayanan Minimal (SPM) masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang cukup berat bagi banyak pemda. Mobilisasi modal sosial masyarakat dapat menjadi salah satu strategi percepatan pencapaian SPM. Penjelasan akan hal ini dapat Anda dapatkan pada tulisan yang berjudul Modal Sosial Keluarga dan Peran Masyarakat dalam Peningkatan Kinerja. Mengintegrasikan modal sosial dalam implementasi SAKIP dapat turut berkontribusi dalam mengatasi problematika kids zaman now sebagaimanan disinggung pada paragraf awal dalam tulisan ini.
Pada bagian keempat, Anda akan mendapati bagaimana membangun kesadaran birokrat dengan mendayagunakan SAKIP. Tulisan pertama pada bagian ini menegaskan pentingnya menetapkan IKU yang tepat dalam meningkatkan kapasitas birokrat. Hasil riset terkait pemanfaatan intangible asset, i.e. sumberdaya manusia, sering mengabaikan peran pegawai dalam penyusunan strategi. Bahkan, aspek SDM ini sering terlewatkan dalam penetapan indikator kinerja. Padahal, menetapkan indikator kinerja yang tepat terkait kapabilitas SDM memberikan landasan yang kuat dalam perbaikan kualitas layanan.
Tulisan kedua dalam bagian dua ini akan memberikan contoh nyata, berdasarkan pengalaman saya, bagaimana indikator kinerja dapat berpengaruh terhadap kapabilitas pegawai hingga kemudian berdampak pada kualitas layanan yang diberikan. Dalam hal ini, penetapan IKU yang tepat harus dibarengi dengan strategi penetapan kegiatan yang relevan agar dapat memberikan dampak terhadap kualitas layanan.
Teknologi Informasi ternyata juga memegang peranan penting dalam upaya peningkatan kinerja. Dalam implementasi SAKIP, teknologi informasi juga dibutuhkan agar memberikan manfaat yang maksimal. Pada bagian ke lima, Anda akan mendapati bagaimana mesin pengukur kinerja digunakan dalam manajemen toilet di Bandara Changi, Singapura. Anda juga akan mendapatkan bagaimana database yang dibangun oleh salah satu community health center atau puskesmas di Australia dapat memonitor kesehatan gigi anak-anak.
Di bagian terakhir, buku ini menawarkan strategi pemanfaatan informasi kinerja dengan menetapkan indikator kinerja yang tepat. Literatur tentang manajemen kinerja menunjukkan bahwa dalam banyak hal informasi kinerja tidak memberikan dampak terhadap perbaikan pelayanan publik karena kualitas indikator kinerja yang kurang memadai.
Pada bagian keenam, tips dan trik menetapkan indikator kinerja akan dipaparkan. Salah satu kriteria indikator yang tepat ini adalah relevansi indikator kinerja dengan apa yang diukur. Agar dapat memotivasi para penyedia layanan publik, indikator kinerja juga harus memenuhi kriteria ownership atau kepemilikan. Pemenuhan atas kriteria ini dapat mendorong para sekretaris atau kepala bidang agar lebih bertanggung-jawab terhadap target kinerja yang dicapai. Hasil penelitian pada tiga OPD di Indonesia menunjukkan bahwa kriteria ini belum dipenuhi.
Indikator kinerja juga akan lebih dapat menarik perhatian jika dalam penetapannya turut memerhatikan suara masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam penetapan indikator kinerja dapat mendorong instansi pemerintah untuk berfokus pada hal-hal yang menjadi permasalahan bersama. Selain itu, teknik semacam ini juga akan meningkatkan legitimasi pemerintah dihadapan masyarakat.
Dalam tulisan terakhir pada bagian ini diuraikan pentingnya menggunakan indikator proses sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kinerja. Memang benar, indikator outcome dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas kinerja. Hanya saja, mengandalkan pada outcome tanpa memerhatikan proses hanya akan menyebabkan instansi dan SDM abai terhadap kualitas layanan publik yang diberikan.***
ASN Instansi Pemerintah Pusat alumni Program PhD of Accounting di Victoria University, Melbourne-Australia. Penulis yang satu ini memiliki gaya yang khas pada tulisannya yaitu “bersemangat” dan menginspirasi. Ana, panggilan khas sang penulis yang aktif ini, merupakan salah satu penggagas gerakan Birokrat Menulis.
membaca resesnsi buku ini sangat bagus dan saya tertarik untuk mempelajarinya dan saya sudah memesannya
Saya senang baca ringkasannya .. Dimana bisa beli buku ini
Bagus untuk dibaca. Dimana saya bisa beli bukunya?
Silakan Mbak Desi memesan lewat email [email protected]. Terimakasih.
Minat beli bukunya dan brp hrg bukunya
[email protected]