Oleh: Tim Editor
————————
Prolog
Pada tahun 2017, rezim Jokowi memasuki tahun ketiga pemerintahannya. Bisa dibilang, inilah pemerintahan murni sipil pertama yang dipilih melalui proses demokrasi Indonesia. Sebab, rakyat memilihnya secara langsung.
Kemudian, berbeda dengan SBY, Jokowi tidak memiliki latar belakang militer. Ia berlatar belakang tukang kayu dan pengusaha mebel. Karenanya, keberhasilannya memimpin Indonesia akan menjadi batu loncatan (milestone) apakah kepemimpinan murni sipil ini akan berlangsung terus (sustainable) atau rakyat akan merindukan kembali kepemimpinan militer di Pemilu 2019.
Sayangnya, di tengah keberhasilan Jokowi membangun infrastruktur fisik, kita masih memiliki banyak kekecewaan atas kinerjanya. Yang paling mengemuka adalah ketidakmampuan Jokowi dalam memimpin birokrasi mengatasi kriminal jalanan yang begitu masifnya di Indonesia.
Tindakan kriminal ini dilakukan tidak saja oleh aparat yang berseragam, tetapi juga oleh masyarakat sipil. Sebagai contoh, dalam skala Jakarta, birokrasi sepertinya ‘impoten’ dalam mengatasi kriminal terorganisasi (organised crimes), yaitu para preman yang mengendalikan trotoar yang digunakan untuk berjualan secara liar di Tanah Abang.
Kemudian, dalam skala nasional, kita bisa melihat para preman ternyata masih mendominasi pemerasan terhadap sopir truk di lintas darat Sumatera. Aparat kepolisian pun ikut-ikutan memeras para sopir tersebut. Terdapat dugaan, para preman juga berbagi hasil dengan para aparat kepolisian. Padahal, kepala kepolisian kita kini adalah seorang jenderal yang dikenal intelek dan sangat mendorong birokrasi yang bersih di kepolisian.
Tindakan kriminal yang endemik itu sepertinya memiliki imunitas walaupun Jokowi telah membentuk tim sapu bersih pungutan liar. Artinya, harapan menciptakan birokrasi yang bersih dan berdaya masihlah sekedar jargon. Birokrasi belum terlepas dari tindakan kriminal dan tidak berdaya mengatasi tindakan kriminal itu sendiri.
Menjadi pertanyaan penting, memasuki satu abad Indonesia merdeka pada tahun 2045 nanti, apakah bangsa kita mampu melepaskan diri dari cap sebagai bangsa primitif? Setelah tiga per empat abad Indonesia merdeka, ternyata kita masih dikenal sebagai bangsa primitif oleh bangsa di negara maju.
Sebagai contoh, jika kita bandingkan dengan negara maju, kita masih sangat tertinggal jauh dari segi pelayanan publik. Pelayanan publik kita masih berbelit dan tidak jelas. Kemudian, masih banyak pelayanan publik yang meminta rakyat untuk datang langsung secara fisik. Kalaupun ada yang sudah online, ternyata pelayanan itu masih juga memiliki tambahan proses birokrasi yang rumit.
Lihatlah contoh pelayanan Imigrasi. Walaupun sudah online, tetap saja kita mesti mengikuti antrian untuk difoto dan diwawancarai. Belum lagi pelayanan eKTP. Setelah skandal korupsi yang melibatkan begitu banyaknya politisi itu, Jokowi sepertinya tidak berdaya bagaimana menuntaskan persoalan eKTP ini.
Saat ini, begitu banyak rakyat yang tidak memiliki eKTP. Mereka sekarang mengandalkan surat keterangan, yang di jaman Orde Baru dikenal sebagai resi. Artinya, dalam urusan identitas kependudukan ini kita sedang mengalami kemunduran total.
Sementara itu, profesional birokrasi pun semakin dimarginalisasi. Di tengah euforia demokrasi, ‘profesi’ politisi di Indonesia kini begitu mendominasi. Sayangnya, tanpa kompetensi yang cukup, mereka sering mengintervensi proses birokrasi dan merendahkan peran birokrat.
Jika saja kita mau memberdayakan kembali profesional birokrasi dan menempatkan mereka sejajar dengan posisi politisi, kemungkinan Indonesia akan semakin baik dan dapat menuju masyarakat modern. Pemberdayaan profesional birokrasi dapat dimulai dengan membiasakan mereka menulis.
Kebiasaan menulis ini akan semakin mencerdaskan para birokrat. Kemudian, mereka tidak mudah besar kepala dengan ide-idenya. Sebab, setiap pemikirannya akan diuji oleh publik dari tulisannya yang dipublikasi secara terbuka. Dengan demikian, implementasi ide-idenya itu telah melalui proses ‘validasi’ yang matang.
Itulah sebabnya, kami membentuk Pergerakan Birokrat Menulis ini. Tidak terasa Pergerakan ini telah berusia satu tahun. Untuk sebuah pergerakan yang bercita-cita memberi andil bagi terwujudnya perubahan birokrasi menjadi lebih humanis dan bernilai bagi publik, setahun merupakan usia yang masih sangat muda.
Meskipun demikian, Pergerakan Birokrat Menulis yang beranggotakan para profesional dan pemerhati birokrasi ini telah berhasil menggandeng paling tidak 41 penulis serta mampu menghasilkan minimal 137 karya tulisan, atau rata-rata 11 – 12 tulisan per bulannya.
Data tersebut tentu sangat menggembirakan. Ini menunjukkan pada dasarnya ada keinginan dan potensi menulis para birokrat. Menariknya lagi, tulisan tersebut banyak lahir setelah terinspirasi dari debat di sebuah grup WhatsApp Pergerakan Birokrat Menulis.
Memasuki tahun 2018, kami, Tim Editor, mencoba menyajikan sebuah refleksi atas satu tahun pergerakan ini. Anggaplah tulisan ini sebagai sebuah akuntabilitas kami terhadap publik pembaca.
Kami berharap, artikel ini dapat menjadi bahan renungan dan dasar pijakan atas perjuangan Pergerakan Birokrat Menulis pada masa-masa berikutnya, terutama untuk tulisan yang akan dipublikasi di tahun 2018.
Rekapitulasi Tulisan
Pergerakan Birokrat Menulis memiliki visi “mencetak birokrat cerdas, kritis, dan menginspirasi melalui tulisan demi perbaikan birokrasi yang bersih, efisien, efektif, berdaya, melayani, dan akuntabel”.
Berangkat dari visi tersebut, pada awalnya kami membagi tulisan dalam 5 kategori, yaitu Birokrasi Bersih, Birokrasi Efisien-Efektif, Birokrasi Melayani, Birokrasi Akuntabel, dan Birokrasi Berdaya. Terkecuali Birokrasi Berdaya, sedikit banyak, sebenarnya kategori penulisan itu diinspirasi oleh ide gerakan Reformasi Birokrasi yang digawangi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Seiring berjalannya waktu, kategori tulisan pun kami kembangkan menjadi 12 kategori, yaitu dengan menambah kategori Refleksi Birokrasi, Politik, Pengalaman/Perjalanan, Literasi, Motivasi, Sosok, dan Sastra. Penambahan kategori ini lebih disebabkan adanya pertimbangan bahwa terdapat beberapa penulis yang memang memiliki ketertarikan dalam kategori tersebut.
Sebenarnya, tidak mudah mengelompokkan tulisan yang masuk ke dalam salah satu kategori tersebut. Sebab, tidak semua tulisan dapat dikelompokkan dalam satu kategori. Beberapa tulisan mempunyai kaitan dengan lebih dari satu kategori. Karenanya, pengelompokan tulisan ke dalam berbagai kategori itu kami lakukan lebih berdasarkan fokus utama tulisan. Artinya, pengkategorian ini mesti dilihat secara longgar.
Dari 12 kategori itu, di tahun 2017 tulisan yang dipublikasi paling banyak pada kategori Birokrasi Efisien-Efektif, yaitu sebanyak 31 tulisan. Secara rinci, jumlah tulisan yang terpublikasi menurut kategorisasi penulisan adalah sebagai berikut:
No. | Kategori | Jumlah |
---|---|---|
1. | Birokrasi Efisien-Efektif | 31 |
2. | Refleksi Birokrasi | 24 |
3. | Birokrasi Bersih | 15 |
4. | Motivasi | 14 |
5. | Birokrasi Berdaya | 13 |
6. | Literasi | 8 |
7. | Perjalanan/Pengalaman | 8 |
8. | Birokrasi Melayani | 6 |
9. | Politik | 6 |
10. | Birokrasi Akuntabel | 4 |
11. | Sosok | 4 |
12. | Sastra | 4 |
Selanjutnya, kami akan mengulas beberapa tulisan yang terpublikasi terkait dengan berbagai kategori tersebut.
Birokrasi Efisien-Efektif
Tidaklah mengejutkan jika tulisan yang mendominasi masih terkait birokrasi efisien-efektif mengingat isu efisiensi dan efektivitas dalam organisasi publik di Indonesia, sebagaimana juga di negara berkembang lainnya, masih menjadi isu utama. Kita masih memiliki tantangan besar atas birokrasi yang buruk, yaitu tidak efisien dan tidak efektif.
Sebanyak 31 tulisan pada kategori ini membahas berbagai persoalan sistem manajemen (management systems) birokrasi dengan cakupan spektrum yang luas. Beberapa tulisan yang membahas ketidakefisienan bisa kita temukan pada “post-Soeharto: praktik delusi matematika efisiensi sektor publik” (Marudut Napitupulu), “inefisiensi adalah korupsi legal” (Moch. Soedarno), dan “konsekuensi ketidakefisienan ritual pelantikan pejabat fungsional” (Aniska Utama).
Tulisan lainnya mempertanyakan ketidakefektifan yang terjadi dalam mengelola pemerintahan, seperti “mempertanyakan peran auditor internal dalam mengelola risiko korupsi di lingkungan pemerintah daerah” (Setya Nugraha), “refleksi kekalahan KPK: bertindaklah cepat senyap dan tepat” (Atas Yudha Kandita), serta “kegagalan pembangunan Indonesia yang berbasis rasionalitas daripada altruistik” (Darnoto).
Tidak sedikit penulis yang berusaha memberikan masukan perbaikan agar para pemimpin birokrasi sektor publik dapat lebih efisien dan efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya, seperti tulisan “terobosan dalam upaya fleksibilitas pengadaan BLUD bidang kesehatan” (Atas Yudha Kandita), “integrasi sistem: solusi atas ketidakhematan berbagai pelaporan keuangan pemerintah daerah” (Massaputro Delly), dan “berbagi target kinerja dan insentif dalam mencapai target penerimaan pajak” (Khusnaini), serta “memerankan kembali auditor sektor publik dalam memberantas korupsi di Indonesia dengan menemukan kembali (reinventing) audit kinerja” (Iwan Novarian Sutawijaya).
Tema senada juga dijumpai pada tulisan “mengintegrasikan sistem perpajakan, sistem sosial, dan sistem ketenagakerjaan di Indonesia” (Rudy M. Harahap) yang juga dipublikasi di detik.com dan “lelang cepat sebagai inovasi pengadaan” (Mudjisantosa).
Kemudian, “bagaimana idealnya kepemimpinan Jokowi mengubah budaya organisasi sektor publik Indonesia” (Ardeno Kurniawan), “gerakan efisiensi, disiplin nilai, dan budaya organisasi kementerian keuangan” (Lucky Akbar), “menjalankan pemerintahan, di mana pengungkitnya?” (Sri Budi Santoso), serta “konvergensi dan reformasi public procurement laws di negara-negara Uni Eropa” (Murwantoro Soecipto).
Untuk memperkaya tulisan bertemakan birokrasi efisien-efektif ini, kami melihat pembahasan dan penelaahan secara mendalam dan lebih spesifik perlu dilakukan. Misalnya, kita belum mengetahui sejauh mana sebenarnya efektivitas program pengentasan kemiskinan dan manfaatnya bagi masyarakat, serta kendala yang dihadapi.
Ide-ide terkait tema ini dapat juga mengacu pada program-program yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Hal ini menurut kami perlu ditulis sebagai sarana untuk melihat capaian pemerintahan Jokowi dalam memenuhi janji pelayanan publiknya.
Refleksi Birokrasi
Beberapa tulisan di kategori ini banyak mengajak pembaca untuk melakukan perenungan kembali atas permasalahan dalam birokrasi, seperti “menggugat mitos opini WTP audit BPK” (Mutia Rizal) yang juga dipublikasi di KataData dan “menggugat kembali hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan” (Beny Amran), serta “bergeming, flegmatis, dan mangkus dalam birokrasi kita” (Hananto Widhiatmoko).
Kemudian, “orang baik kenapa koq korupsi, sebuah proposisi tujuh faktor penyebabnya” (Haryono Umar), “antara cinta dan karir: Refleksi Film La La Land” (Rudy M. Harahap), “pembangunan untuk siapa: Pelajaran dari kisah perjuangan petani Kendeng” (Ryan Agatha), “APIP dalam pusaran kriminalisasi” (Eko Hery Winarno), dan “proyek perubahan, quo vadis?” (Eko Hery Winarno).
Terdapat beberapa tulisan reflektif terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) dan perbaikan institusi KPK serta kelembagaan pemberantasan korupsi, seperti “obat mujarab OTT KPK: Mengembalikan nilai-nilai dan keteladanan pendiri bangsa” (Mariman Darto) dan “kontemplasi peran KPK: Future OTT vs visi KPK” (Syaiful Hifni).
Juga, “adaptasi kompetensi dan profesionalisme KPK sebagai antisipasi keniscayaan perubahan lingkungan” (Syaiful Hifni) dan “maraknya operasi tangkap tangan KPK, sebuah indikasi kesemuan beragama masyarakat Indonesia” (Moch. Soedarno).
Tulisan dalam kategori ini juga memuat ‘gugatan’ atas kemapanan birokrasi yang sangat Weberian dan melestarikan kultur paternalistik, yang keduanya telah mengakar kuat selama ratusan tahun di Indonesia.
Tulisan-tulisan seperti ini telah dinikmati pembaca lewat karya-karya Mutia Rizal, yang berjudul “birokrasi ala La La Land”, “instrumen itu bernama fingerprint”, “menetralisasi rasionalitas birokrasi” dan “wasiat atasan kepada anak buah menghadapi budaya birokrasi kita yang sungguh hebat”.
Birokrasi Bersih
Beberapa tulisan bertemakan Birokrasi Bersih mengupas berbagai persoalan integritas dan kejadian korupsi di negeri ini, yaitu “bisakah kita berintegritas” (Jalu Wredo), “parodi THR penutup Ramadhan” (Moch. Soedarno), “fairness, transparansi, dan profesionalisme dalam pengadaan barang jasa, dahulu dan kini” (Moch. Soedarno), dan “tercelanya perilaku suap” (Moch. Soedarno).
Juga tulisan “the e-KTP scandal: have we learned anything about corruption?” (Kanti Pertiwi) yang juga dipublikasi di blog Indonesia at Melbourne, “maraknya operasi tangkap tangan KPK, memperdebatkan kembali makna integritas dan etika” (Mutia Rizal), “merdeka itu adalah ketika tidak ada korupsi lagi” (Joko Pitono), serta “Dilematika whistleblower birokrat, pahlawan atau pengkhianat” (Ilham Nurhidayat).
Tulisan lain yang mencoba menawarkan perspektif berbeda dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah “rahasia lonjakan peringkat indeks persepsi korupsi Grenada, dapatkah kita belajar darinya” (Betrika Oktaresa) dan “peran profesi audit dan akuntansi dalam mendeteksi kecurangan manajemen laba” (Haryono Umar).
Selain itu, terdapat tulisan “penegakan hukum yang korup dan kompleksitas sistem pengadaan barang dan jasa publik di Indonesia, gagasan sederhana penanganannya” (Rudy M. Harahap), “tone of the top, atmosfer etis dari pimpinan instansi” (Evan Evianto), “mencegah korupsi dengan transparansi” (Darnoto), dan “whistleblower dari dimensi etika dan budaya organisasi” (Ardeno Kurniawan).
Tulisan yang berusaha mengajak para birokrat menjadi semakin bersih ini masih sangat dibutuhkan. Sebab, untuk mendorong efisiensi dan efektivitas birokrasi, kita membutuhkan birokrat yang bersih, yang tentunya berintegritas.
Motivasi
Tulisan yang dapat memotivasi profesional birokrasi ternyata cukup banyak. Beberapa artikel yang mencoba mengisi tema ini adalah seperti yang ditulis oleh Adrinal Tanjung (menulis adalah menyembuhkan diri sendiri, perhatikan kata-katamu, saat memetik telah tiba, serta refleksi tahun 2017, anything is possible) dan Herman Suryatman (gambaru dan teu honcewang).
Demikian juga tulisan oleh Andi P. Rukka (diklat itu bernama puasa), Atas Yudha Kandita (taubatan nasuha para birokrat akan bermakna kemenangan), dan Muhammad Kasman (menjadi profesional birokrasi yang proaktif).
Tulisan bertema motivasi tersebut sangat menggugah para profesional birokrasi untuk terus menulis dan kritis terhadap lingkungannya. Tulisan motivasi mampu menjadi oase yang memberikan kesejukan di tengah lelah dan terik birokrasi yang terkadang membuat kita pesimis.
Bagi birokrat, tulisan motivasi dapat membakar kembali semangat mereka untuk tetap menancapkan keinginan dan harapan agar dapat terus bergerak dan membuat perubahan untuk negeri ini.
Ke depan, tulisan-tulisan bertema motivasi ini perlu diperbanyak, terlebih lagi terkait bagaimana menjaga semangat juang birokrat agar tidak padam ditelan kelelahan melihat kondisi yang ada.
Birokrasi Berdaya
Kategori yang satu ini berusaha menampung gagasan cerdas untuk memberdayakan para profesional birokrasi melawan dominasi politisi, seperti “menempatkan kembali birokrasi profesional sebagai penyeimbang politisi” (Rudy M. Harahap) yang juga dipublikasi di detik.com, “bebaskan birokrasi dari politisi” (Andi P. Rukka), dan “ketunanetraan politik warga, sumber permasalahan bangsa” (Andi P. Rukka).
Beberapa tulisan mempersoalkan ketidakberdayaan para profesional birokrasi menghadapi “kriminalisasi” atas birokrasi itu sendiri, khususnya pada kriminalisasi pengadaan barang dan jasa yang mendera mereka. Beberapa tulisan tersebut ditulis oleh Aisyah Mun’im (surat terbuka untuk jaksa dan hakim yang menjeruji kawan kami Palupi), Atas Yudha Kandita (menolak kriminalisasi PBJ), dan Rahmad Daulay (paradigma statis dan intervensi yang dapat berujung pada kriminalisasi).
Ternyata, ketidakberdayaan birokrasi juga disebabkan lemahnya kompetensi profesional birokrasi. Hal ini digambarkan oleh Joko Pitono dalam tulisan ”menyelamatkan lembaga keagamaan dari pragmatisme oligarki”, “superioritas uang melalui reformasi manajemen pengadaan barang dan jasa” dan “kekacauan birokrasi yang tidak kompeten”, serta oleh Aisyah Mun’im dalam tulisan “nasib fungsional pengelola PBJ, siapa peduli?”
Beberapa penulis juga mengangkat soal keberanian “bersuara” birokrat atas berbagai ketidakberesan di lingkungan birokrasi. Misalnya, tulisan ini diangkat oleh Ilham Nurhidayat (birokrat penyeru kebenaran, kenapa harus takut?), Bergman Siahaan (menumbuhkan birokrat yang kritis dan membangun), dan Andi P. Rukka yang menggugat organisasi serikat pekerja birokrasi dalam “memberdayakan birokrasi, apa kabar KORPRI-ku?”
Literasi
Tulisan bertema literasi mencoba untuk membuka wawasan literasi para profesional birokrasi. Meskipun tulisan-tulisan tersebut tidak menyajikan teknik menulis beserta teori-teori yang melandasinya, tetapi mereka mampu memperluas cakrawala kita mengenai dunia literasi.
Dalam kategori ini Pratiwi Retnaningdyah banyak memberikan sumbangan tulisan, antara lain “torehkan kisah literasimu”, “perlunya penulisan reflektif bagi birokrat”, dan “bagaikan pedang bermata-dua”. Sementara itu, Rudy M. Harahap mengajak kita untuk menulis (para birokrat menulislah!).
Nur Ana Sejati mencoba memberi argumentasi kenapa penting birokrat menulis dengan artikel “mengapa menulis?”, sedangkan Dody Hutabarat mempertanyakan literasi birokrat dengan tulisan “benarkah birokrat jarang menulis?”.
Untuk menjawab berbagai kesulitan para profesional birokrasi dalam menulis, maka ke depan sebaiknya ada penulis yang dapat memberikan pengalaman berupa teknik-teknik menulis kepada para pembaca. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana menulis narasi, deskripsi, eksposisi, atau argumentasi. Sebuah tulisan yang barangkali berbentuk panduan menulis akan sangat bermanfaat bagi para penulis pemula.
Perjalanan/Pengalaman
Beberapa birokrat yang sedang menjalani tugas belajar di luar negeri maupun sedang melakukan perjalanan dinas ke luar negeri mencoba berbagi pengalaman dengan kita melalui tulisannya. Herman Suryatman mengisahkan pengalamannya menikmati layanan transportasi di negeri Kanguru lewat tulisannya “belajar dari Sydney tentang infrastruktur kota yang ramah dan humanis”.
Demikian juga Betrika Oktaresa dalam tulisan “Nottingham City Transport, sebuah benchmark transportasi kota” dan “sebuah refleksi mengambil pelajaran dari sistem pendidikan dasar di negeri Ratu Elizabeth”. Sementara itu, Nur Ana Sejati mengusung tulisan “interaksi multikultural dengan tari kelinci, tari soyong, dan bakso.”
Tulisan-tulisan serupa akan semakin menarik jika perjalanan atau pengalaman tersebut juga memuat pengalaman hidup penulis tentang bagaimana praktik terbaik di instansinya agar dapat ditiru pada instansi sektor publik lainnya.
Begitu juga tulisan-tulisan tentang gambaran sosial budaya masyarakat di sekitarnya yang dapat mempengaruhi efektivitas birokrasi, tampaknya juga perlu diperbanyak.
Birokrasi Melayani
Meskipun pelayanan publik masih menjadi pekerjaan besar bagi pemerintahan Jokowi, anehnya tidak banyak penulis yang menyoroti aspek ini. Gambaran nyata pelayanan publik yang masih “labil” hanya tampak dari dua penulis, yaitu oleh Jalu Wredo (sepotong potret layanan publik di Indonesia) dan Hananto Widhiatmoko (illogical bureaucrazy: Peraturan kependudukan kita).
Namun, tulisan yang dipublikasi tidak hanya memotret buruknya pelayanan publik kita, tetapi juga memberikan ide perbaikan, seperti pada tulisan “meningkatkan kualitas layanan dengan H.E.A.T strategy” (Nur Ana Sejati) dan “meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui pemetaan proses bisnis” (Adrinal Tanjung).
Penulis lainnya, Setya Nugraha, menyoal tentang siapa yang mengawasi jalannya pelayanan publik kita lewat tulisannya berjudul “pengawasan pelayanan publik tanggung jawab siapa?”.
Penulisan pada tema ini sepertinya harus terus digalakkan, mengingat labilnya pelayanan publik kita. Selain pelayanan publik yang dulunya buruk dan kemudian menjadi baik, seperti layanan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), kita juga menemui pelayanan publik yang di masa lalu cukup mudah kini semakin buruk pelayanannya, seperti eKTP dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Karenanya, fokus penulisan akan lebih menarik jika diarahkan pada ulasan tentang penyebab kelabilan pelayanan publik tersebut.
Selain itu, tema Birokrasi Melayani sepertinya perlu diperluas. Tulisan agar tidak hanya berfokus pada pelayanan yang melibatkan ‘seller’ dan ‘buyer’, di mana masyarakat bertindak sebagai pelanggan.
Akan tetapi, tema ini juga mestinya mengulas posisi warga negara yang berhak mendapatkan public good berupa pendidikan yang berkualitas, lingkungan yang nyaman dan aman, hubungan yang harmonis antar masyarakat, serta layanan-layanan yang mengharuskan pemerintahan Jokowi melahirkan kebijakan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Politik
Tidaklah aneh jika politik merupakan tema yang belum banyak ditulis, meskipun sebenarnya para profesional birokrasi merasakan aura dan dampak dramatis politisasi birokrasi. Namun demikian, beberapa penulis telah mempersoalkan tentang buruknya proses rekrutmen pemimpin politik (political leaders), seperti Eko Hery Winarno lewat tulisannya “mereformasi proses seleksi pemimpin politik” dan Massaputro Delly dengan tulisannya “kaderisasi partai politik, upaya mengatasi pemimpin instan”.
Penulis yang lain menyoal konsekuensi negatif praktik pilkada yang diadopsi dari sistem demokrasi liberal, seperti tulisan Kamrin Jama (Pilkada lahan subur kapitalisme) dan Dody Hutabarat (memahami perilaku politik di Indonesia).
Mengingat semakin dinamisnya perpolitikan di negeri ini, tampaknya akan semakin menarik ke depannya jika para penulis mampu mengangkat berbagai fakta di lapangan, terutama di daerah, tentang bagaimana peran para politisi mempengaruhi kinerja profesional birokrasi, termasuk tentang netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan juga aparatur militer dan kepolisian. Intervensi politisi ini perlu ditulis sehingga kita memiliki evidence yang cukup dan bukan sekedar anekdot ataupun rumor.
Birokrasi Akuntabel
Sedikit sekali penulis yang menulis tema ini. Namun, Rudy M. Harahap telah mulai menulis dengan judul “the challenge after the Indonesia local elections” yang juga dipublikasi di New Mandala. Ia mengajak kita memberikan perhatian terhadap akuntabilitas para wakil rakyat dan pemimpin politik setelah mereka terpilih, bukan hanya sibuk memberikan perhatian sebelum mereka terpilih.
Kemudian, Betrika Oktaresa mencoba membahas tentang akuntabilitas pengelolaan dana desa melalui tulisannya “meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dana desa melalui optimasi komunikasi risiko oleh Kepolisian Republik Indonesia”.
Ke depan, tema-tema tulisan yang membahas soal akuntabilitas harus diperbanyak lagi mengingat masalah kita hari ini banyak terkait dengan isu akuntabilitas. Tema terkait peningkatan akuntabilitas kinerja yang menjadi bagian dari agenda reformasi birokrasi perlu untuk diulas.
Misalnya, sejauh manakah sistem yang telah dikembangkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah berkontribusi terhadap akuntabilitas kinerja? Dari sisi individu birokrat, tema-tema terkait akuntabilitas bisa menjadi sajian hangat. Di antaranya, kepada siapakah birokrat harus berakuntabilitas? Atasan, publik, atau politisi?
Sosok
Kategori ini merupakan tulisan tentang potret seorang profesional birokrasi yang dianggap telah atau sedang melakukan berbagai perubahan di sektor publik. Nilai-nilai, pandangan, dan aksi sang tokoh telah disajikan dalam beberapa tulisan yang diramu sedemikian apik oleh Adrinal Tanjung (mengenal sosok Rini Widyantini: Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN dan RB) dan Mutia Rizal (selamat jalan sang pencetus pemimpin perubahan: Sebuah catatan kecil mahasiswa bimbingan Prof Agus Dwiyanto).
Selain itu, terdapat juga tulisan Kamrin Jama (mengenal politik populisme Tuan Guru Bajang di Nusa Tenggara Barat) dan Ilham Nurhidayat (nyanyian sendu Murdiyanto, sosok Oemar Bakri yang gigih melawan korupsi).
Sepertinya, penulisan tema Sosok ini mesti juga diperbanyak dengan mengedepankan tokoh-tokoh profesional birokrasi dari berbagai instansi pemerintahan di daerah. Anda tentu ingin membaca kisah seorang birokrat yang bertugas di perbatasan atau nun jauh di pedalaman, bukan?
Sastra
Ternyata, tidak banyak birokrat yang mampu menulis sastra. Tema sastra kami siapkan agar profesional birokrasi memiliki olah rasa (batin) dan tidak hanya sekedar olah pikir semata. Tulisan ini mesti disajikan dalam bentuk puitis, tetapi tetap kritis.
Syukurnya, beberapa penulis telah mengisi ceruk tema penulisan ini, seperti Lucky Akbar (manusia seribu satu rupa, seribu satu jiwa), Andi P. Rukka (rezekiku ada padamu), dan Yudisrizal (lamunan di suatu sore: Mengenang 30 tahun lalu dan 30 tahun lagi).
Sayangnya, belum banyak yang mencoba menulis sastra dalam bentuk lainnya seperti cerpen, komik, atau lainnya. Kami menantikan birokrat yang bisa menyumbang tulisan pada kategori ini.
Epilog
Demikianlah, para pembaca. Selama satu tahun ini para birokrat dan penggiat Pergerakan Birokrat Menulis telah menghasilkan beragam karya. Kami berharap Anda dapat memberikan komentar terhadap refleksi satu tahun Pergerakan Birokrat Menulis ini.
Tentu saja, manfaat karya-karya itu baru bisa dirasakan jika semakin banyak yang membaca tulisan Pergerakan Birokrat Menulis ini, terutama sekali para birokrat dan pengambil kebijakan, termasuk para pemimpin politik.
Pada akhir tahun 2017, terdapat tiga momen penting yang menandai adanya kemajuan berarti bagi pergerakan, yaitu terjalinnya kerjasama dengan Kumparan.com, penyegaran laman birokratmenulis.org., serta penerbitan buku perdana.
Salah satu situs berita online terkemuka di Indonesia, Kumparan.com, bersedia menjalin kerjasama dengan Pergerakan Birokrat Menulis untuk menjadi ‘stasiun relay’ atas tulisan yang ditayangkan di laman birokratmenulis.org.
Kerjasama yang terjalin adalah kerjasama konten dengan fasilitas Really Simple Syndication (RSS), yang berarti, kumparan.com akan memuat secara otomatis setiap tulisan yang di-publish oleh birokratmenulis.org. Dengan demikian, tulisan pada pergerakan ini nantinya dapat dinikmati oleh lebih banyak pembaca.
Laman birokratmenulis.org yang Anda nikmati saat ini, telah mengalami banyak perubahan dari sebelumnya. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah, mempercepat akses, serta memanjakan mata para pembaca.
Selain itu, pergerakan telah berhasil menerbitkan sebuah buku perdana yang berjudul “Bagaimana Saya Menulis?”, sebuah buku yang berisi pengalaman dan perjalanan menulis para penggiat awal pergerakan. Buku yang telah selesai proses cetak ini direncanakan meluncur pada awal tahun 2018. Seluruh hasil penjualan buku akan digunakan seluruhnya untuk menunjang kegiatan pergerakan selanjutnya.
Kami berharap, semoga di masa datang semakin banyak penulis yang bersedia berkontribusi, dan semakin berwarna pula ide yang terungkap lewat rangkaian kata di Pergerakan Birokrat Menulis.
Pada gilirannya nanti, Pergerakan Birokrat Menulis semakin dapat mematangkan posisinya sebagai salah satu elemen bangsa yang keberadaannya bermanfaat bagi publik.
Alhamdulillah, menjadi bagian refleksi akhir tahun BM. Dihiasi dengan warna diskusi tentang kepemimpinan berbasis kearifan lokal, refleksi ini semakin kuat menambah semangat untuk menelaah diri ini, BM akhirnya mencerahkanku.
Rasanya masih berada d titik nol dari capaian2 yang diimpikan, merubah budaya kerja organisasi dimana saya mengabdi, dengan gaji dari uang rakyat.
Kerinduan terhadap birokrasi bersih dari korupsi dan melayani tanpa wacana.
Terima kasih BM Dan Para Suhu, Semoga ditahun 2018 semakin mencerahkan.