Refleksi Diri: Mengokohkan Integritas ASN (Mesti Kolektif, Tidak Bisa Sendiri)

by | May 1, 2022 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Kadangkala manusia memang butuh merenung dalam kesendirian. Kesendirian yang menghadirkan ketenangan, kesendirian yang bisa menggali inspirasi, kesendirian untuk melakukan refleksi diri, mengumpulkan kembali semangat yang mungkin melemah, menyatukan kembali asa yang sedang tercerai berai, mengokohkan kembali kekuatan hati untuk kemudian bangkit kembali, dan berlari mengejar mimpi.

Namun, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengemban amanah untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam kehidupan bernegara, kita tidak bisa berlari sendiri. Banyak batu kerikil yang bisa membuat kita tergelincir.

Uluran Tangan

Takkan sedikit hempasan badai yang akan menghambat laju lari kita. Banyak tantangan yang akan datang bertubi-tubi melemahkan semangat kita. Banyak rintangan yang akan menguras energi dan emosi kita. Saat itulah, kita butuh uluran tangan orang lain.

Uluran tangan yang akan menghibur hati kita. Uluran tangan yang akan menyirami tunas asa kita yang mulai layu. Uluran tangan yang akan menegakkan kembali tatapan mata kita. Uluran tangan yang akan mentransfer energi kebangkitan dalam saraf, urat dan otot kaki kita.

Uluran tangan yang akan menguatkan langkah kaki kita, untuk bangun dan melangkah kembali menyusuri setiap episode dalam mengemban fungsi ASN sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Bayangkan jika kita terus nyaman dalam kesendirian. Adakah tangan yang akan terulur tatkala kita dalam kesulitan? Adakah senyuman tulus yang akan mengisi relung hati kita yang kesepian? Adakah rangkulan tangan yang akan membakar semangat juang yang kian memudar?

Siapakah yang akan peduli akan kegagalan kita. Siapakah yang akan berempati dengan pedihnya langkah perjuangan kita? Siapakah yang akan menuntun kita untuk bangkit dari keterpurukan?

Kegagalan Menjemput Asa

Bayangkan lebih dalam lagi. Tidakkah kesendirian kita saat itu akan mendekatkan kita pada kegagalan yang nyata? Kegagalan untuk menjemput asa kita. Kegagalan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita. Kegagalan untuk menegakkan idealisme kita.

Masih beruntung jika kegagalan-kegagalan itu kemudian terbang lenyap seiring hilangnya harapan kita. Namun, bukan tidak mungkin lemahnya raga kita, rapuhnya idealisme kita, serta lumpuhnya semangat kita akan dipantau oleh serigala pemburu, yang siap menerkam sewaktu-waktu.

Menyeret kita dalam kerumunan kemaksiatan. Mendorong kita ke dalam lembah-lembah kedurhakaan. Meracuni nalar kita dengan candu duniawi. Membutakan mata kita dari cahaya illahi. Saat itulah kita sejatinya sudah masuk dalam kegagalan yang hakiki.

Semakin banyak orang-orang yang akan meneteskan air mata karena ketidakberdayaan kita. Semakin banyak orang yang menderita akibat kegagalan kita.

Renungkan, saat itu penyesalanpun tiada berarti. Harga diri sudah tiada lagi, tabungan kebaikan kita akan sirna diterpa hujan badai, semua orang mencaci maki kita. Teman-teman mulai menjauh dari kita. Keluarga kitapun tidak berdaya, terbelenggu dengan vonis orang sekitar akibat kecerobohan kita.

Serigala dan Nestapa

Saat itu, kita akan merasakan nestapa tiada terkira. Kesendirian yang membawa kita pada keterpurukan. Tinggallah kita sendiri, yang akan dihadapkan dalam persidangan. Persidangan yang akan menuntut pertanggungjawaban akibat kesombongan diri kita. Air mata tiada lagi berarti, sementara kita tetap harus meniti hari demi hari dalam luka kepedihan.

Tidakkah serigala-serigala itu nyata di sekeliling kita. Mereka akan tersenyum lebar tatkala satu demi satu “korban kesendirian” itu dijemput paksa dan dikenakan baju rompi oranye warnanya. Tidakkah kepedihan itu jelas terlukis dari wajah mereka.

Pernahkan mencoba membayangkan kita berada di posisi mereka? Apa yang kita rasakan jika kita sebagai istri mereka? Kepiluan seperti apa yang akan kita rasakan jika kita jadi anak-anak mereka? Gunung setinggi apa yang bisa menutupi rasa malu jika kita menjadi keluarganya?

Jikapun kita terlepas dari jerat hukuman di dunia, yakinkah kita akan bisa terlepas dari hisab malaikat-malaikat-Nya. Sungguh berat azab Sang Pencipta tatkala kita yang notabene sebagai “pengelola harta negara”, justru turut serta dalam menggerogotinya.

Kita yang berjanji untuk mengamankan aset negara namun justru kita pula yang menyelewengkannya. Kita yang dididik dan dibekali ilmu pengelolaan keuangan negara, namun justru dengan ilmu itu kita gunakan untuk mendholimi saudara kita.

Tidakkah ciut nyali kita, jika kita akan diseret dan dilemparkan ke bara api yang menyala-nyala. Saat itulah kita dihinakan sehina-hinanya.

Mengokohkan Integritas: Perjuangan dalam Kebersamaan

Saudaraku, ternyata mengokohkan nilai integritas tidaklah cukup sendirian. Perjuangan mempertahankan integritas butuh kebersamaan, butuh kolektivitas. Ia juga tidak cukup ditanamkan di awal pendidikan dan pelatihan dasar sebagai ASN, namun harus secara kontinyu dirawat dan dipelihara bersama-sama.

Kebersamaan itu yang akan menyemaikan butir-butir kekuatan. Kolektivitas yang akan menghasilkan sinergi kebaikan, memancarkan aura penangkal dari ancaman kejahatan.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kolektivitas adalah keadaan kolektif/kekolektifan. Kolektivitas juga diartikan sebagai suatu sikap yang senantiasa memelihara kebersamaan, sebuah bentuk kerja bersama dalam mencapai tujuan bersama.

Kolektivitas sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam perjuangan sebenarnya bukan formula baru. Kita bisa lihat, bagaimana vitalnya kolektivitas ini sampai kemudian disarikan dalam sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia.

Kita juga sangat mengenal semangat kolektivitas yang berhasil dibangun dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Jurus kolektivitas telah terbukti ampuh untuk menghadapi berbagai ancaman kehidupan bernegara, mulai dari ancaman penjajahan hingga ancaman pemberontakan.

Tentunya, jurus ini tidak bisa kita sepelekan, namun seyogyanya bisa kita internalisasi dan praktikkan untuk mengokohkan nilai integritas di dalam diri Aparatur Sipil Negara.

Menyepakati Musuh Bersama

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana kita bisa menguasai jurus kolektivitas itu? Di manakah kita bisa mencari guru untuk mengajarkannya? Modal apa yang kita butuhkan untuk menguasai jurus-jurus itu hingga paripurna? Tentu jawabannya tidak sesederhana membalik telapak tangan.

Hal pertama yang rumit adalah karena kolektivitas melibatkan banyak orang, dengan pemikiran, ide, bahkan kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi, jika kepentingan itu dikuasai oleh tendensi egoistik dari masing-masing pelaku, akan semakin pelik untuk membangun kebersamaan untuk membangun kesuksesan kolektif itu.

Belajar dari best practice yang diterapkan para pendiri negeri ini, kolektivitas bisa dibangun dengan persepsi adanya musuh bersama. Penjajahan di negara Indonesia telah menghadirkan kesengsaraan rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Meskipun penjajahan adalah sebuah bentuk kejahatan dan kezaliman, tapi di sisi lain penjajahan yang terjadi pasti melahirkan semangat perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Penjajahan telah memupuk jiwa patriotisme yang membara. Ia juga melahirkan militansi dalam dada segenap generasi di seluruh penjuru negeri.

Tak jauh berbeda, saat ini korupsi benar-benar telah menyengsarakan bangsa Indonesia. Ia sangat layak untuk kita nobatkan sebagai musuh bersama.

Menengok laporan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi semester I 2021 yang dikeluarkan Indonesia Corruption Watch, tren korupsi selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, baik dari jumlah kasus maupun dari jumlah nilai kerugian negara.

Gambar: Tren Penindakan Korupsi 5 Tahun Terakhir
(Sumber : Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi. ICW 2021)

Jumlah kasus korupsi yang sudah dilakukan penindakan oleh Aparat Penegak Hukum Semester I tahun 2019 sebanyak 122 kasus. Jumlah kasus meningkat 38,5% pada periode yang sama Tahun 2020 yaitu sejumlah 169 kasus.

Selanjutnya, pada Semester I Tahun 2021 kasus penindakan korupsi meningkat 23,7% menjadi 209 kasus. Sementara itu, jika dilihat dari nilai kerugian negara, pada periode semester I 2021 nilai kerugian negara tercatat senilai 26,83 Triliun. Artinya, nilai itu meningkat 287,4% dari nilai kerugian negara tahun 2019.

Sudah Saatnya Bersatu

Melihat data tersebut, pasti kita semua prihatin. Hati kita pasti teriris-iris, bukan saja karena banyak kekayaan negara yang dirampok untuk memperkaya diri oknum penyelenggara negeri. Namun, mau berapa banyak lagi generasi negeri ini akan menjadi korban keganasan korupsi.

Sampai kapan saluran TV kita akan terus dihiasi berita operasi tangkap tangan (OTT) pelayan birokrasi. Mau berapa level generasi yang akan terkontaminasi praktek korupsi yang terus tersaji setiap hari.

Sudah waktunya kita satukan kepalan tangan kita. Kita kobarkan semangat perjuangan untuk melawan bahaya laten korupsi. Siapapun kita, di manapun posisi kita, mari kita runcingkan kewaspadaan akan ancaman korupsi di sekitar kita. Kita teriakkan bersama-sama:

“Merdeka… Merdeka… Merdeka!!!”

Bersatu padu kita pasti bisa membebaskan Indonesia dari korupsi yang semakin merajalela.

6
0
Nurochman ◆ Active Writer

Nurochman ◆ Active Writer

Author

ASN alumni Program D-IV Akuntansi STAN dan Magister CIO ITB ini tertarik dengan berbagai program character building SDM baik di internal organisasi maupun di masyarakat. Sebagai pemegang LCCC, ia juga banyak terlibat dalam program pengembangan SDM melalui coaching dan mentoring. Ia juga aktif menginisiasi komunitas olahraga panahan diantaranya Bepeka Archery Indonesia, BAI Academy, Barebow Jakarta Selatan, serta MPRO Archery.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post