Prolog
Awal tahun 2018 ini, rapor birokrasi kita tampaknya masih berwarna merah. KPK menggelandang tak kurang empat kepala daerah karena dugaan suap. Mulai dari Gubernur Jambi, Bupati Jombang, Bupati Kebumen, dan terakhir Bupati Subang. Pada detik ini juga KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian pada tingkat pusat maupun daerah sepertinya juga sedang memproses ratusan dugaan tindak pidana korupsi lainnya.
Sebuah potret buram korupsi di birokrasi kita yang terus saja muncul dari hari ke hari. Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya, apa memang korupsi takkan pernah sirna di negeri ini? Tahun ini, hampir genap 20 tahun sejak reformasi bergulir. Faktanya, ruh reformasi berupa pembenahan pemerintahan dan pemberantasan korupsi tak kunjung membaik.
Pasca reformasi banyak undang-undang baru dibuat, demokrasi dimulai, perbaikan pemerintahan baik dari sisi tata kelola dan pengendalian intern terus dibangun, dan reformasi birokrasi dikoarkan. Perbaikan demi perbaikan agar proses bisnis pemerintah semakin bersih terus digarap di berbagai segi dan lini. Sembilan belas tahun sudah semua perbaikan itu diupayakan, tetapi sampai hari ini korupsi masih menjadi bopeng pada wajah pemerintahan kita.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita tak banyak bergeser dari 1,9 pada tahun 2000 (peringkat 88 dari 91 negara) menjadi 3,7 pada tahun 2017 (peringkat 96 dari 180 negara). Tentu kita semua berharap peningkatan yang lebih lagi.
Apa yang salah sebenarnya dengan negara ini?
Pemberantasan Korupsi adalah Soal Mengubah Manusia dan Budaya.
Beberapa waktu lalu Kanti Pertiwi menulis artikel menarik berjudul “Mengkritisi Logika Anti-Korupsi Global dan Konsekuensinya bagi Indonesia”. Tulisan tersebut menyuguhkan alternatif pemikiran yang cukup menantang nalar. Beliau mengulas bahwa permasalahan korupsi sebenarnya tidak hanya melulu soal tata kelola, pengendalian intern, dan segala tetek bengek lain yang terkait dengan organisasi.
Menurut Kanti, persoalan korupsi tidak berhenti pada urusan struktur dan proses, tetapi menyangkut kultur dan mindset para manusia yang terlibat di dalamnya. Beliau menggarisbawahi perlunya mendefinisikan ulang apa itu korupsi, dari sudut pandang budaya dan kebiasaan masyarakat.
Dalam beberapa hal, saya sependapat dengan pemikiran Kanti. Suka tidak suka, diakui atau tidak, kita sebenarnya masih belum sepenuhnya sepakat dengan apa sesungguhnya definisi korupsi. Meski dari sisi peraturan perundang-undangan korupsi telah didefinisikan secara tegas dan jelas, tetapi persepsi masing-masing diri kita masih berbeda-beda.
Masing-masing individu memiliki definisi, toleransi, dan pembenaran sendiri tentang ‘apa itu korupsi’? Masih banyak kita temui ungkapan semisal ‘uang lelah, tanda terima kasih, uang mahar, upeti,’ dan frasa-frasa lain di masyarakat yang menggambarkan berbagai praktik yang masih dapat diperdebatkan apakah itu perbuatan korupsi atau bukan.
Dalam jagat persilatan auditor, terdapat suatu teori bahwa pengendalian sebaik apapun dan sesempurna apapun tidak akan berguna melawan kolusi atau kongkalikong. Pemisahan fungsi sudah dilakukan, tetapi hal itu tak akan bisa berjalan efektif apabila ada kolusi di antara manusia sebagai para pelakunya.
Semisal dalam pengadaan barang dan jasa, fungsi antara Unit Layanan Pengadaan (ULP), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Panitia Pemeriksa Hasil pekerjaan (PPHP) secara ketentuan terpisah. Namun, seringkali pada perkara korupsi yang terjadi ketiga pihak yang seharusnya independen satu sama lain justru bersekongkol.
Skandal korupsi raksasa semisal Hambalang dan E-KTP baru-baru ini juga menyimpan cerita kolusi tingkat tinggi di dalamnya. Kolusi adalah pendekar terkuat yang mampu menembus segala kebijakan dan prosedur pengendalian yang telah dirancang.
Jika dikaitkan dengan unsur sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP), faktor manusia masuk dalam kategori lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian ibarat fondasi sebuah bangunan. Di atas fondasi tersebut segala struktur bangunan pengendalian didirikan. Pengendalian sebaik apapun ujung-ujungnya akan melempem bila dijalankan oleh orang-orang yang korup.
Teori Fraud Triangle (Cressey, 1953) yang kemudian berkembang menjadi Diamond Fraud Triangle (Wolfe dan Hermanson, 2004), menjelaskan bahwa penyebab fraud ada empat macam yaitu pressure/incentive (tekanan, niat jahat), rasionalisasi (pembenaran), capability (kemampuan), dan opportunity (kesempatan; pengendalian yang buruk). Dari empat sisi tersebut tekanan (pressure/incentive), rasionalisasi, dan kemampuan (capability) bersumber pada manusia itu sendiri, sedangkan kesempatan bersumber dari organisasi.
Perbaikan pengendalian internal dan tata kelola hanya akan mengurangi risiko korupsi, tetapi tidak menjamin korupsi tidak terjadi. Perbaikan pengendalian internal sebaik apapun tidak akan berdampak besar tanpa disertai dengan perbaikan ‘isi otak’ manusia itu sendiri.
Niat untuk korupsi dapat muncul dari dalam diri sendiri maupun dari luar semisal tekanan ekonomi. Meski faktanya, para pelaku korupsi kebanyakan justru berasal dari kalangan yang telah mapan secara finansial. Hal ini menunjukkan faktor keserakahan (greed) lebih mendominasi niat untuk melakukan korupsi ketimbang tekanan ekonomi.
Di sisi lain, apa yang dijelaskan Kanti dengan ‘korupsi memiliki makna positif’ sebenarnya dari sudut pandang Fraud Triangle adalah rasionalisasi atau pembenaran. Tiap individu dengan ‘konteks sosial’ masing-masing memiliki pembenaran atau rasionalisasi masing-masing. Maka itu pembenahan mindset manusia untuk meminimalkan niat korupsi (pressure/incentive) dan rasionalisasi sama pentingnya dengan pembenahan pengendalian intern untuk memperkecil kesempatan (opportunity) melakukan korupsi.
Sampai di sini tentu akan terlintas beberapa pertanyaan besar. Bagaimana mengubah manusia? Bagaimana mengubah mindset yang kadung korup? Bagaimana mengubah kultur yang cenderung permisif terhadap korupsi? Bagaimana mengubah rasionalisasi yang sudah sejak lama tertanam dalam pikiran?
Pertanyaan-pertanyaan serupa seringkali membawa kita pada sebuah jalan buntu. Menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu seolah kita terbentur dengan sebuah tembok tinggi yang tak tertembus. “Susah, itu tidak mungkin, mustahil” kata-kata semacam itu seringkali kita ucapkan sambil menghela napas panjang. Mengubah pemikiran dan budaya terlihat mustahil hingga kita tak perlu repot-repot memikirkannya.
Di situlah sebenarnya kesalahan kita selama ini. Kita sibuk melakukan pembenahan organisasi, tetapi abai melakukan pembenahan manusia. Salah satu area perubahan dalam reformasi birokrasi adalah SDM. Tujuanya adalah untuk mengubah mindset dan budaya birokrasi. Tidak hanya itu, Presiden Jokowi juga telah mengoarkan ‘Revolusi Mental’.
Pertanyaannya kemudian, sudah sejauh mana reformasi birokrasi dan revolusi mental itu telah berjalan? Apakah keduanya benar-benar digarap secara sungguh-sungguh? Apakah mindset dan budaya birokrasi sudah benar-benar berubah? Atau malah sebenarnya tidak berdampak sama sekali? Doing bussiness as usual?
Pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya kita jawab secara serius. Perkembangan revolusi mental harus benar-benar diukur menggunakan indikator-indikator yang relevan dan metode yang valid. Mengukur perubahan pola pikir memang tidak mudah, tetapi bukan berarti hal itu tidak dapat dilakukan.
Epilog
Pemerintah perlu mengadakan survei atau penelitian berskala nasional untuk mengetahui apakah mindset dan kultur masyarakat, khususnya para birokrat sudah berubah atau sebenarnya tak jauh beda dengan semasa Rezim Orba. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan peneliti-peneliti sosial dan para akademisi yang memiliki kompetensi dan kredibilitas tentang bagaimana mengukur perubahan pemikiran.
Tanpa perubahan yang fundamental pada tataran mindset individu dan kultur masyarakat, pembenahan tata kelola dan pengendalian intern sebaik apapun tidak akan berdampak signifikan. Potret birokrasi kita akan tetap dipenuhi gambar hilir mudik para pejabat digiring aparat ke jeruji besi dan pemberantasan korupsi akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah usai.***
seorang penunggang motor tipe GL Max
0 Comments