Rantai Logika: Dari Presensi Menjadi Prestasi

by | Dec 5, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Setiap pagi, terlihat lelah pada wajah pegawai pemerintah, ketika sidik jari bertemu mesin presensi dalam ritual memulai hari. Seolah di situlah nilai seorang pegawai ditentukan, termasuk bagaimana tunjangan kinerja diperhitungkan.

Tulisan-tulisan di Birokrat Menulis sudah lama menyuarakan keresahan ini. Tentang presensi yang menjadi berhala masa kini. Tentang aplikasi yang mengawasi hingga ke ruang pribadi. Dan tentang kinerja yang hanya dinilai baik atau baik sekali, tanpa memperhitungkan prestasi.

Padahal, presensi hanyalah awal. Fungsinya memastikan satu hal sederhana: bahwa waktu kerja tersedia, bahwa aparatur sipil negara hadir secara fisik, siap melaksanakan perintah di balik meja.

Pada akhir bulan tunjangan dibayarkan,
dihitung dari ketepatan waktu datang dan pulang. Seolah yang datang pasti bekerja, dan
yang bekerja pasti berkinerja. Padahal, bisa saja dalam keseharian mereka
hanya berkutat dengan Zuma.

Terlihat rantai logika mulai retak. Input diukur kelewat teliti, terlambat lima menit dipotong tanpa hati, sementara lagu Bagimu Negeri berkumandang ketika berharap tambahan kesejahteraan jika harus rela pulang larut malam.

Di awal tahun, Sasaran Kinerja Pegawai disusun, direvisi, ditandatangani. Namun di akhir, penilaian selalu aman — semua baik, semua sesuai. Karena tak ada indikator proses yang kuat, tak ada narasi yang jujur tentang perjalanan menuju hasil.

Presensi penuh, nilai SKP memadai, tampak tertib, tapi hampa. Proses di antara seakan tak terlihat: jam-jam berpikir, berkolaborasi, pengambilan keputusan yang menuntut kebijaksanaan.

Semua itu lenyap di balik sistem yang hanya mengenali sidik jari. Kehadiran tercatat, tapi kerja tak terpantau. Aktivitas berjalan seperti kebiasaan, minim arahan yang jelas.

Pegawai yang lalu lalang dianggap produktif. Yang reflektif dianggap lamban. Padahal proses yang baik tidak selalu tampak bising. Dan kerja dalam kesunyian kadang lebih mengena.

Mengapa Ini Terjadi?

Masalahnya bukan pada mesin. Bukan pada sidik jari, GPS, atau aplikasi presensi. Masalahnya ada pada cara kita memaknai kerja. Negara ini hidup dalam warisan budaya kepatuhan. Selama hadir, dianggap bekerja. Selama ada tanda tangan terlihat di fisik laporan, output dianggap tercapai.

Repotnya, sistem kita menyukai yang bisa diaudit. Waktu bisa diukur. Jam bisa dicatat. Keterlambatan bisa dikejar dan dikenakan potongan. Tapi kualitas berpikir, empati melayani, dan keberanian berinovasi—semuanya sulit disimpan dalam tabel dan narasi.

Fenomena kerja fleksibel yang menjadi primadona kala COVID-19 melanda seharusnya menjadi momentum bagi birokrasi untuk meninjau ulang makna hadir bermanfaat. WFO, WFH, atau WFA bukan soal lokasi, tetapi tentang bagaimana kerja menghasilkan nilai tambah.

Namun, karena sistem kita masih bertumpu pada logika kehadiran fisik, fleksibilitas justru sering dilihat sebagai ancaman disiplin. Padahal, pola semacam itu bisa jadi peluang untuk meningkatkan produktivitas.

Di kantor, yang tampak sibuk rapat ke sana kemari dianggap rajin, sementara yang bekerja dari rumah sering dicurigai. Belum lagi menilik preferensi pimpinan yang lebih suka menggebrak meja untuk meluapkan isi hati. Seakan tak nyaman apabila bawahan tak terpantau lewat lirikan.

Lalu muncullah paradoks. Presensi menjadi ukuran utama karena paling mudah dibuktikan ketika sasaran kinerja yang harusnya menjadi simbol keseriusan malah sering kehilangan jiwa.

Pegawai belajar menulis target yang dapat dicapai dengan aman, karena yang berisiko bisa berujung pada memburuknya citra. Orang seakan tutup mata kalau sidik jari cuma berfungsi mengubah indikator input berupa uang dan SDM menjadi indikator input derivatif berupa waktu produktif yang tersedia.

Belum ada mekanisme yang mengukur apakah waktu itu didistribusikan untuk mencapai tujuan bernegara. Maka bila masih ada pegawai yang menganggur dan bermain Zuma, sebetulnya bukan oknum yang gagal bekerja, melainkan pimpinan yang gagal memanfaatkan waktu produktif yang telah dibayar negara.

Roadmap Reformasi: Menyatukan Rantai Kinerja

Jika birokrasi ingin keluar dari jebakan presensi dan formalitas, maka perlu memiliki peta jalan yang menyambungkan antara niat, sistem, dan hasil.

Langkah teknokratik perlu dituangkan dalam kerangka logis untuk menenun kembali rantai kinerja yang selama ini terputus—antara waktu yang dihabiskan, proses yang dijalankan, hasil yang dicapai, dan makna yang dirasakan.

  • Langkah pertama bisa dimulai dengan mendefinisikan ulang “kinerja unit kerja” sebagai hasil kolektif yang mengubah keadaan publik. Barangkali, negara ini perlu membangun sebuah rantai logika nasional.

Sebuah peta yang menyambungkan input, proses, output, outcome, hingga impact. Pemerintah perlu menanamkan logika tunggal yang menghubungkan seluruh siklus itu, sehingga setiap program memiliki jejak nilai.

Agar setiap titik dalam birokrasi tahu perannya dalam arus besar perubahan. Waktu harus diperlakukan sebagai modal produktif yang nilainya bergantung pada arah dan penggunaan. Agar setiap jam kehadiran dapat dilacak sampai dengan hasil kinerja yang publik rasakan.

  • Langkah kedua menyentuh jantung birokrasi: integrasi antara perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Selama ini ketiganya berdiri di ruang berbeda—disusun oleh pihak berbeda, dengan bahasa yang tak saling memahami.

Akibatnya, rantai terputus di tengah jalan. Reformasi SKP, seharusnya menjadi pintu masuk untuk menyatukan semuanya. SKP tidak boleh lagi berdiri sebagai dokumen administratif tahunan.

Ke depannya SKP harus berfungsi sebagai turunan logis dari rencana strategis organisasi dan dasar bagi evaluasi kinerja dan tentu saja, tunjangan kinerja.

  • Langkah ketiga adalah menggeser peran pimpinan dari pengawas menjadi komando berbasis nilai tambah. Mungkin hal ini adalah investasi terbesar dan tersulit.

Pimpinan harus dibekali kemampuan membaca pola kontribusi, mengidentifikasi pekerjaan yang tidak memberi nilai tambah, dan menciptakan mekanisme kerja lintas bidang. Terkait kualitas, peran atasan akan lebih nyata dalam menilai dampak dari hadirnya pegawai.

Tentu, dengan catatan sang atasan paham bagaimana cara mengarahkan dan membagi beban dengan wajar, serta menuangkannya dalam target kinerja sebagai janji bersama.

  • Langkah keempat adalah membangun sistem data yang hidup—yang bukan sekadar alat kontrol, tetapi cermin bagi organisasi. Setiap unit harus bisa melihat gambaran real-time tentang bagaimana waktu, sumber daya, dan hasil saling berinteraksi.

Bisalah kita meniru sistem rating ala ojek online, bintang lima untuk setiap arahan pimpinan atau penugasan yang terselesaikan dengan memuaskan. Dengan begitu, refleksi menjadi bagian dari ritme kerja, bukan acara raker tahunan menjelang penilaian kinerja.

Data yang terbuka, sederhana, dan bisa dibaca oleh pegawai sendiri akan melahirkan kejujuran untuk menemukan di mana energi organisasi bocor.

  • Langkah kelima adalah merancang ulang sistem tunjangan kinerja agar sejalan dengan nilai produktif yang baru. Selama ini, tunjangan kinerja hanya memindahkan indikator input dari uang ke waktu: seolah kehadiran fisik sudah cukup untuk menjustifikasi insentif.

Padahal, tunjangan seharusnya menjadi katalis motivasi. Nilainya mesti mencerminkan kontribusi terhadap hasil kolektif. Untuk mencapainya, sistem remunerasi perlu menautkan kinerja individu ke hasil tim dan organisasi, dengan tetap menjaga keadilan melalui data aktivitas yang terukur.

Misal terasa berat bagi sistem anggaran inkremental berbasis kas, bisa dimulai dengan perlahan mengurangi porsi keabsahan presensi dalam perhitungan gaji. Katakanlah:

  1. 80% kehadiran,
  2. 20% capaian sasaran,
  3. kemudian dibuat lini masa penyesuaian sampai 100% berbasis kinerja.

  • Langkah keenam adalah memastikan setiap perubahan memiliki tempat belajar. Reformasi kinerja tidak akan bertahan tanpa ekosistem pembelajar—forum lintas instansi, laboratorium kebijakan, dan ruang eksperimen yang aman dari hukuman birokrasi.

Di sana, ide-ide baru tentang cara bekerja, menilai, dan melayani diuji dalam skala kecil, diukur dampaknya, lalu replikasi masif jika berhasil. Inilah bentuk nyata investasi jangka panjang: bukan hanya pada teknologi, tetapi pada cara berpikir (mindset) aparatur. 

Memaknai Perubahan Birokrasi yang Sebenarnya

Dan terakhir, semua ini membutuhkan komitmen simbolik yang kuat tentang perubahan narasi nasional dalam memaknai “kinerja sektor publik.”

Ketika logika ini tertanam di setiap jenjang birokrasi, presensi akan kembali ke maknanya semula: tanda kesiapan untuk bekerja. Kesiapan untuk menerima tugas dari pimpinan yang telah paham arti pengabdian.

Birokrasi tidak akan berubah hanya karena mesin presensi diganti atau aplikasi diperbarui. Birokrasi akan berubah ketika makna hadir kembali menemukan jiwanya—ketika setiap jam kerja melahirkan energi perubahan.

Saat itu tiba, tunjangan akan berubah dari tali kekang menjadi penghargaan atas gemilang prestasi. Kantor bukan lagi tempat bermain dan bercanda menunggu jam pulang, kantor akan menjadi ruang belajar bersama untuk memperbaiki negeri.

Tentu saja, mesin pencatat waktu akan bertransformasi menjadi mesin perubahan.

0
0
Ditya Permana ◆ Professional Writer

Ditya Permana ◆ Professional Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post