Presensi: Berhala Masa Kini

by Ditya Permana ◆ Active Writer | Aug 1, 2024 | Refleksi Birokrasi | 4 comments

Senja itu, terlihat seorang lelaki berdiri tanpa ekspresi dalam gerbong besi moda transportasi antar provinsi. Dia menghela napas menguatkan hati setelah berhasil melewati bulan Juli. 

Maklum, sebagai pendatang baru hasil mutasi, anaknya gagal masuk sekolah negeri karena masalah zonasi. Namun, seakan belum cukup beban yang datang bertubi, tadi pagi dia mendapati namanya masuk dalam surat atensi karena masalah presensi.

Ya, presensi.

Perjuangan setiap pagi menembus lautan manusia seakan sirna ketika lupa meletakkan jari pada mesin perekam eksistensi kehadiran demi keutuhan tunjangan kinerja. Bak berhala baru yang wajib dipuja setiap hari kerja, ritual fingerprint menahbiskan bahwa dia adalah hamba. 

Yang membuat lebih merana,
kolega yang dijuluki pegawai delapan kosong lima—pukul delapan datang,
jam lima pulang, di tengah-tengah entah kemana—malah utuh tunjangannya.
Apa mau dikata, memang negara ini belum punya tolok ukur
yang jelas, nyata, dan mencerminkan effort pegawainya
selain memaksa mereka datang dan duduk
di bangku kerja.

Dari kacamata tata kelola, manajemen risiko, dan pengendalian intern, fenomena ini memiliki penjelasan tersendiri. Di tengah hiruk-pikuk upaya modernisasi birokrasi, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menjadi jangkar yang menahan laju kebocoran dan ketidakteraturan.

Didefinisikan sebagai suatu proses integral pada tindakan dan kegiatan, SPIP bukan sekadar alat, tetapi roh yang menggerakkan tubuh birokrasi untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi.

Melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan, SPIP berusaha merajut benang-benang kepercayaan di antara labirin kompleksitas administrasi negara.

Namun, dalam perwujudannya, teknologi fingerprint muncul sebagai salah satu elemen yang mengklaim mampu menjadi penjaga pintu kehadiran.

  • Di satu sisi, ia berdiri sebagai simbol kemajuan, menawarkan kemudahan dan akurasi dalam mencatat waktu.
  • Di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar: Berapa tingkat keyakinan kita bahwa fingerprint mampu membantu organisasi mencapai tujuan dengan efektif dan efisien?
  • Apakah kita benar-benar percaya bahwa alat ini bisa menjadi penentu nasib jutaan aparatur yang setiap harinya bergulat dengan tugas dan tanggung jawab?

Jika kita memberi nilai sempurna seratus persen, maka kita menyerahkan sepenuhnya takdir kinerja kepada mesin yang tidak pernah tidur, yang tak kenal lelah mencipta data.

Namun, apakah alat ini memang layak mendapat keyakinan penuh, sementara masih ada kemungkinan manipulasi dan celah yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang lihai?

Barangkali lima puluh persen lebih realistis, di mana kita tetap menaruh sebagian besar kepercayaan kepada manusia, kepada mereka yang bekerja bukan hanya untuk angka, tetapi demi misi dan pengabdian.

Dalam praktiknya, sistem fingerprint yang diharapkan sebagai pengendalian internal pemerintah tampak seperti pisau bermata dua. Dalam kilasan peradaban modern, ia dirayakan sebagai penjaga kedisiplinan dan akuntabilitas.

Namun, di sudut-sudut yang jarang tersentuh, muncul cerita lain, kisah-kisah yang tak terekam dalam jejak sidik jari. Bayangkanlah, teknologi yang seharusnya menjadi saksi kesungguhan, ternyata alpa dalam membaca niat.

Ia hanya mengenal angka dan waktu,
tapi tak dapat menyelami dedikasi yang kadang tak terukur
oleh datang-pulang semata.
Apakah alat ini telah mengurangi risiko ketidakdisiplinan?
Atau malah menciptakan celah-celah baru di mana keadilan
hanya jadi impian?

Sebuah ironi ketika alat canggih ini tak mampu menghalau manipulasi; sidik jari bisa dipalsukan, kehadiran bisa direkayasa. Kerumitan sistem terkadang menghalangi manusiawi, membuat mereka lebih peduli pada angka di layar daripada karya yang nyata.

Atau mungkin hanya sepuluh persen, menyisakan ruang besar bagi skeptisisme yang sehat. Karena teknologi, sehebat apa pun, tetaplah alat yang tidak bisa menggantikan naluri, intuisi, dan kejujuran manusia.

Dalam struktur pengendalian yang baik, fingerprint adalah elemen kecil dari gambaran besar yang seharusnya lebih menekankan pada aspek manusiawi daripada mekanis.

Merujuk pada kerangka Common Assessment Framework (CAF), suatu pengendalian dapat dikatakan efektif apabila berhasil menurunkan level risiko residual dan tidak menimbulkan risiko baru.

Fingerprint, meski telah berusaha keras menjadi garis pertahanan pertama, sering kali gagal memenuhi kedua syarat ini. Tanpa disadari, ia telah menambah daftar panjang risiko baru—mulai dari isu privasi hingga kesalahan teknis yang dapat memengaruhi data kehadiran.

Sehingga, alih-alih menjadi solusi, fingerprint bisa saja menjadi beban tambahan dalam pencapaian tujuan organisasi yang seharusnya terfokus pada pelayanan publik yang lebih baik.

Sementara itu, di balik bilik senyap, para pekerja yang berdedikasi tinggi merasa terjebak dalam siklus yang melelahkan. Bagi mereka, data biometrik yang terkumpul tak lebih dari bayang-bayang, bukan cermin dari nilai sesungguhnya.

Dan, ketika sistem ini salah membaca atau gagal berfungsi, akankah mereka harus menanggung beban dari kesalahan yang tak pernah mereka buat?

Risiko baru pun datang mengintai. Dalam hiruk-pikuk teknologi, privasi menjadi barang mahal. Data sidik jari, yang seharusnya terlindungi, rentan bocor, terancam disalahgunakan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.

Siapa yang berani menjamin bahwa jejak-jejak digital ini tidak akan jatuh ke tangan yang salah?

Jangan lupakan pula penurunan motivasi intrinsik
akibat rasa keadilan yang terusik.
Saat jiwa pengabdian terluka sebab fenomena pintar bodoh penghasilan sama,
dilarang kaget kalau potensi talenta mumpuni
banyak menyeberang ke lain hati. 

Sudahkah kalian lupa saat pandemi? Saat kerja dari mana saja dianjurkan bahkan diapresiasi? Mengapa setelah dua tahun berlalu, kita kembali mendewakan sidik jari?

Inilah potret kehidupan pengabdi negara di bawah pengendalian yang belum sepenuhnya mengerti esensi dari pengabdian. Berhala kami ambil sebagai kiasan, karena tidak berguna, lagi menyesatkan.

Barangkali, sudah saatnya kita mengubah sudut pandang, merancang sistem yang tidak hanya mengukur kehadiran fisik, tetapi juga menghargai usaha dan hasil.

Karena pada akhirnya, kehadiran sejati bukanlah tentang waktu yang tercatat, melainkan dedikasi yang tak tergantikan. Ingat, kesempurnaan desain menentukan tingkat efektivitas kebijakan.

48
0
Ditya Permana ◆ Active Writer

Ditya Permana ◆ Active Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

4 Comments

  1. Avatar

    Setuju… sudah terwakilkan dg tulisan ini..

    Reply
  2. Avatar

    Two wrongs don’t make one right. Tipikal pegawai 8-0-5 itu jelas salah, tetapi terlambat datang ke kantor juga salah. Apalagi sampai titip absen ke orang lain atau manipulasi GPS pakai aplikasi third party.

    Reply
    • Avatar

      Jika pegawai datang terlambat dan tunjangan kena pemotongan ya legowo saja, sambil berusaha agar tidak terlambat lagi ke depannya. Kalau memang pegawai harus datang terlambat karena keadaan mendesak, kan bisa minta izin ke atasan langsung di kantor via WhatsApp/Telegram/Line atau telepon.. Tidak perlu bersikap nyolot mendefleksikan kesalahan ke orang lain.

      Reply
  3. Avatar

    “Karena pada akhirnya, kehadiran sejati bukanlah tentang waktu yang tercatat, melainkan dedikasi yang tak tergantikan. Ingat, kesempurnaan desain menentukan tingkat efektivitas kebijakan”

    Nice qoutes Bro…..👍

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post