Quo Vadis Data Kependudukan Berbayar

by | Apr 17, 2022 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

“Pemerintah terus mendorong aktivitas ekonomi dan pelayanan publik berbasis data kependudukan yang sudah tunggal dengan akses NIK sebagai single identity number dan data biometrik”.

Beberapa hari terakhir ini, publik dihebohkan dengan headline media cetak dan media elektronik terkait terancam hilangnya data kependudukan, di antaranya oleh JPNN.com, Liputan6.com, medcom.id, Media Indonesia, dan berbagai berita dengan narasi headline serupa lainnya.

Data Kependudukan yang Terancam Musnah

Luqman Hakim, Wakil Ketua Komisi II DPR RI mengungkapkan, 200 juta data kependudukan di Kemendagri terancam hilang. Penyebabnya, perangkat keras ratusan server yang dikelola data center Dukcapil telah berusia terlalu tua.

“Saya berharap masalah ini tidak dianggap sepele. Saya mengetuk hati Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, jika perlu Presiden, untuk turun tangan terhadap masalah data kependudukan yang terancam musnah,” kata Luqman sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, 13 April 2022.

Professor Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri juga membenarkan, perangkat keras tersebut rerata usianya sudah melebihi 10 tahun, sudah habis masa garansi, dan spare part perangkat tersebut juga sudah tidak diproduksi lagi.

Artinya, server perlu diremajakan agar pelayanan publik terkait penggunaan data kependudukan akan lebih baik. Peremajaan juga dibutuhkan guna menjaga Pemilu dan Pilkada serentak Tahun 2024 bisa berjalan baik dari sisi penyediaan daftar pemilih.

Pelayanan Administrasi Kependudukan (Adminduk) di Ditjen Dukcapil Kemendagri difasilitasi oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Pelayanan Adminduk ini menghasilkan output berupa 24 dokumen penduduk dan database kependudukan.

Database hasil operasionalisasi SIAK Terpusat ini dikelola oleh Ditjen Dukcapil dan telah dimanfaatkan oleh lebih dari 5 ribu lembaga pengguna yang telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pemanfaatan Data Kependudukan dengan Dukcapil.

Semua ini membutuhkan dukungan perangkat keras yang terdiri dari server, storage, dan perangkat pendukung lainnya, yang memadai dalam mendukung public service.

Pemanfaatan Data Kependudukan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 beserta Peraturan Pelaksanaannya menjadi dasar dan kebijakan serta memuat pengaturan dan pembentukan sistem yang mencerminkan adanya reformasi di bidang kependudukan dan pencatatan sipil.

Pasal 58 UU 24 Tahun 2013 mengamanatkan bahwa data kependudukan yang dihimpun dari pelayanan regular di Instansi Pelaksana melalui pendaftaran penduduk (dafduk) dan pencatatan sipil (capil) menjadi data agregat penduduk yang meliputi himpunan data perseorangan berupa data kuantitatif dan data kualitatif.

Data Kependudukan tersebut digunakan untuk semua keperluan di antaranya:

(1) Pelayanan publik, seperti penerbitan SIM (Surat Izin Mengemudi), izin usaha, wajib pajak, perbankan, penerbitan sertifikat tanah, asuransi, jaminan kesehatan masyarakat, dan jaminan sosial tenaga kerja;

(2) Perencanaan pembangunan nasional, meliputi ****perencanaan pendidikan, kesehatan dan tenaga kerja, serta pengentasan masyarakat dari kemiskinan;

(3) Alokasi anggaran, meliputi penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) dan perhitungan potensi perpajakan;

(4) Pembangunan demokrasi, berupa penyiapan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) dan penyiapan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4); dan

(5) Pemanfaatan untuk penegakan hukum dan pencegahan kriminal.

Urgensi Akses Data Kependudukan

Pemanfaatan data kependudukan diatur secara khusus melalui Permendagri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. Pemanfaatan data kependudukan oleh lembaga pengguna berlandaskan pada pelayanan Adminduk dari Dinas Dukcapil kabupaten/Kota yang terkoneksi ke pusat melalui Database SIAK Terpusat.

Lembaga pengguna akan dapat mengakses data setelah melakukan Perjanjian Kerjasama (PKS). Sebagai bentuk pengamanan informasi, akses yang dilakukan lembaga pengguna diwajibkan melalui jaringan tertutup (Virtual Private Network) alias bukan jalur internet biasa.

Lembaga pengguna memberikan data balikan sesuai karakteristik data lembaga pengguna yang kemudian dikembangkan Ditjen Dukcapil Kemendagri sebagai Big Data Kependudukan.

Ada 8 (delapan) metode layanan pemanfaatan data kependudukan, yaitu melalui pemanfaatan perangkat pembaca KTP-el (card reader), web service, web portal, pemadanan data, cetak buku, personalisasi kartu Secure Access Module (SAM), koneksitas kartu SAM, dan prepersonalisasi KTP-el.

Hingga saat ini sebanyak 54 lembaga/kementerian yang telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memanfaatkan data kependudukan.

Selain itu, sebanyak 5.010 instansi pemerintah dan swasta telah menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) pemanfaatan NIK dan data KTP-el. Jumlah NIK yang diakses hingga akhir bulan Maret 2022 ini telah mencapai 8,169 miliar kali atau lebih tepatnya 8.169.207.510 kali.

Pemanfaatan data kependudukan ini bertujuan untuk memudahkan verifikasi data dan memeriksa kebenaran dan keabsahan data dalam rangka melindungi para pengguna layanan ini (dari identitas palsu) dan juga mendorong layanan publik menuju digital.

Melalui akses data, tak perlu lagi mengisi formulir atau cukup dengan meng-entry NIK yang bisa dilakukan secara online dengan tetap menjaga perlindungan data pribadi.

Pemberian hak akses ini diharapkan mampu mencegah fraud (penipuan), kejahatan pemalsuan data dan dokumen, serta jika dilakukan secara konsisten, pelayanan publik di Indonesia akan menjadi lebih maju dan berkualitas.

Pemberian hak akses ini diapresiasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dengan memberikan penghargaan Inovasi Top 99 dari 3.156 peserta kompetisi dalam hal pemanfaatan data kependudukan.

Pertimbangan Penerapan PNBP

Banyaknya lembaga pengguna yang memanfaatkan data kependudukan dalam mendukung pelayanannya, jumlah penduduk yang terus meningkat, dan alokasi anggaran dalam pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan, merupakan pertimbangan rencana pengimplementasian kebijakan penerapan PNBP.

Menilik data 8 tahun terakhir, terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 255.615.478 jiwa menjadi 273.879.750 jiwa pada tahun 2022. Dalam hal pengguna data, dari hanya 68 lembaga di tahun 2015 telah meningkat sangat signifikan menjadi 5.010 lembaga pengguna pada tahun 2022.

Sementara di sisi lain, pertumbuhan yang luar biasa pesat ini berbanding terbalik dengan alokasi anggaran pelayanan administrasi kependudukan yang mengalami penurunan, di mana tahun 2017 alokasi anggaran mencapai 969 miliar, turun hampir 400 miliar menjadi hanya 575 miliar pada tahun 2022.

Padahal, jajaran Dukcapil dituntut meningkatkan akurasi data, harus menjaga sistem tetap hidup, dan meningkatkan pelayanan. Artinya, beban pelayanan bertambah, tetapi alokasi anggaran terus mengalami penurunan.

Memang, disadari bahwa beberapa tahun terakhir ini alokasi anggaran negara lebih difokuskan dalam penanganan kemiskinan, penurunan stunting, dan termasuk 2 tahun terakhir ini untuk penanganan pandemi Covid-19 dan program-program pemerintah yang bersifat mendesak lainnya.

Oleh karenanya, dalam rangka membiayai pelayanan administrasi kependudukan, maka rencana implementasi akses data kependudukan berbayar oleh lembaga pengguna menjadi hal yang urgen.

Hanya untuk Lembaga Profit Oriented

Jika sejak tahun 2013 layanan akses NIK ini gratis, nach, rencananya akan segera berbayar. Yang dibebankan tarif adalah lembaganya, bukan individu. Yang perlu diketahui, tidak kepada semua lembaga pengguna akan dibebankan tarif akses data.

Lembaga yang dibebani sharing cost ini yaitu lembaga swasta yang profit oriented seperti perbankan, perusahaan leasing, perusahaan sekuritas, asuransi, telekomunikasi, dan sejenisnya.

Sementara, pengenaan tarif akan dikecualikan untuk pelayanan publik, bantuan sosial, dan penegakan hukum. Misalnya untuk BPJS Kesehatan, kementerian, lembaga, pemerintah daerah, sekolah, dan universitas, semuanya tetap gratis.

Dari sekitar 5.010 lembaga pengguna, diperkirakan rencananya hanya sekitar 1.500-an lembaga pengguna yang dibebani sharing cost melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan tarif sebesar Rp. 1.000 untuk setiap akses NIK.

Berdasarkan data dashboard monitoring Pemanfaatan Data Kependudukan di Ditjen Dukcapil, tercatat lebih dari 8,1 miliar kali NIK di-klik atau di-hit selama 7 tahun terakhir. Jumlah klik itu, jika divaluasi “taruhlah” Rp. 1.000/klik, nilainya bisa mencapai 8,1 triliun.

Itupun belum terhitung nilai manfaat yang lain, seperti mencegah fraud atau penipuan di sektor perbankan serta semakin mudah dan cepatnya tata kelola bisnis sehingga lebih hemat biaya. Dengan penerimaan dari tarif akses ini, diharapkan Ditjen Dukcapil lebih mampu memelihara dan mengembangkan sistem database kependudukan dalam jangka panjang.

Sharing Cost di Negara Lain

Pengenaan tarif akses atau sharing cost data kependudukan juga dilakukan beberapa negara. Tarif sharing cost di beberapa negara berkisar antara Rp. 105 – Rp. 15.000 untuk NIK. Adapun untuk identifikasi biometrik berupa pengenalan wajah (face recognition) berkisar antara Rp. 1.425 – Rp. 37.500, dan sidik jari berkisar antara Rp. 1.425 – Rp. 5.625.

Di Argentina misalnya, biaya akses data kependudukan untuk NIK sebesar Rp. 1.875, face recognition sebesar Rp. 37.500, dan sidik jari Rp. 5.625. Di negara Chili, untuk akses NIK sebesar Rp. 600, face recognition Rp. 2.025, dan sidik jari Rp. 2.025.

Di Kolombia, akses NIK Rp. 210, face recognition Rp. 1.425, dan sidik jari Rp. 1.425. Di Ekuador, akses NIK sebesar Rp. 2.250, face recognition Rp. 4.500, dan sidik jari Rp. 4.500. Di Malaysia, biaya akses NIK Rp. 1.950, identifikasi face recognition Rp. 3.750, dan sidik jari Rp. 3.750.

Tidak hanya itu, negara India, Pakistan, Panama, Peru dan Tanzania juga memberlakukan sharing cost. Bahkan, di Peru dan Tanzania, bukan hanya sektor swasta, namun kepada sektor publik juga dikenakan tarif akses data kependudukan.

Tekad Insan Dukcapil

Di era serba digital saat ini, data menjadi sebuah aset penting dalam pengambilan keputusan. Presiden Joko Widodo pernah menyebutkan, “Data is new oil”. Data lebih berharga dari minyak. Bahkan, data yang valid menjadi kunci sukses pelaksanaan pembangunan.

Untuk itulah, Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri dan seluruh jajaran Dukcapil Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia bertekad menjadikan data kependudukan sebagai data valid untuk berbagai keperluan pemerintahan dan lembaga swasta menuju public service yang membahagiakan masyarakat.

Dukcapil Go Digital… Dukcapil BISA… Salam GISA…

5
0
Iksan M Saleh ◆ Active Writer

Iksan M Saleh ◆ Active Writer

Author

Kepala Bidang PIAK dan Pemanfaatan Data Dinas Dukcapil Provinsi Maluku Utara. Penulis Buku Potret dan Inovasi Administrasi Kependudukan. Narasumber pada Pertemuan dan Kegiatan tentang Administrasi Kependudukan & Pencatatan Sipil dan Pengadaan Barang/Jasa.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post