Profesi ASN dalam Karya Pramoedya Ananta Toer

by Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer | Mar 8, 2025 | Refleksi Birokrasi, Sosok | 0 comments

Pramoedya Ananta Toer, Sang Genius nan Kontroversial Asal Blora ...

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis yang lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Kemampuannya dalam menulis sudah diakui dunia internasional melalui berbagai penghargaan dan namanya beberapa kali dicalonkan sebagai penerima Nobel bidang sastra.

Birokrat Menulis bahkan mengutip tulisan Pram melalui tokoh Minke pada novel Bumi Manusia di situsnya, yakni, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah.”

Pram lahir ketika Indonesia berada dalam nuansa kolonial
yang membentuk dirinya menjadi seorang nasionalis kiri penentang segala bentuk penindasan. Ayahnya pernah bekerja sebagai guru di sekolah pemerintah kolonial bernama Hollands-Indische School (HIS) atau setingkat Sekolah Dasar (SD).

Hal itu membuat Pram melek dengan watak pegawai pemerintahan. Bahkan Pram sendiri pernah bekerja di kantor pemerintah Jepang, tepatnya untuk kantor berita Djepang Domei.

Melalui tulisan-tulisannya, Pram bicara tentang kondisi sosial, politik, bahkan sejarah bangsa. Dari ratusan karyanya, lahir banyak tokoh dengan latar belakang dan profesi yang beragam. Pram kerap menyinggung profesi jurnalis, tentara, dan aparatur sipil negara (ASN). 

Menarik bagaimana Pram menggambarkan profesi ASN melalui karya-karyanya. Setidaknya dalam novel Korupsi (1954), Gadis Pantai (1962), dan Jejak Langkah (1985), Pram menunjukkan kepada pembaca sosok ASN yang koruptif, berkarakter feodal, dan takut mengambil risiko.

Tulisan ini coba mengambil sudut pandang Pram terhadap profesi ASN dan tentu saja menjadi refleksi serta otokritik bagi kita.

#1 Koruptif

Barangkali kecewa terhadap Indonesia yang baru seumur jagung, Pram tergoda untuk menulis sebuah novel berjudul Korupsi pada tahun 1954. Novel itu bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang tinggal di Jakarta bersama seorang istri dan ketiga anaknya.

Bakir sudah mengabdi selama dua puluh tahun, namun keadaan ekonomi keluarganya tidak kunjung membaik. Justru rekan-rekan sejawat Bakir yang korup dan culas mampu hidup mewah dengan mengendarai mobil besar, membeli vila, dan punya gundik. 

Bakir sadar menjadi jujur dan profesional dalam bekerja hanya memberikannya sepeda tua dan kemiskinan yang terhormat. Dalam rangka mengubah nasibya, Bakir memutuskan untuk bergabung dengan para ASN yang jiwanya telah teracuni oleh mental korupsi.

Keputusan itu memang membuat keadaan ekonomi Bakir membaik, namun kehidupan rumah tangga malah memburuk bahkan hancur. Ternyata istrinya seorang idealis yang sangat menentang perilaku koruptif.

Bakir merasa istrinya tidak tahu terima kasih sehingga dia tinggalkan istrinya demi seorang gundik bernama Sutijah yang jauh lebih muda dari usia Bakir. Oleh karena usia mereka terpaut jauh, Bakir tidak sanggup mengikuti gaya hidup Sutijah yang sering berpergian ke luar kota bersama anak-anak muda lainnya.

Suatu hari Sutijah sedang berlibur di Bali dan kehabisan bekal. Dia meminta Bakir agar mengirim sejumlah uang. Ketika Bakir berada di kantor pos untuk melaksanakan permintaan tersebut, salah seorang pegawai kantor pos menaruh curiga karena uang yang dibawa Bakir diduga uang palsu. Bakir kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Dari balik jeruji Bakir berkontemplasi. Walaupun hartanya melimpah, ternyata ia tidak pernah betul-betul merasa bahagia. Perasaan takut akan terbongkar rahasianya telah membuat kejiwaan Bakir terganggu. Setelah menjadi koruptor, Bakir tidak lagi merasa bebas dan merdeka sebab menjalani keseharian seolah berada di dalam penjara.

Dengan cara yang cermat, Pram menciptakan tokoh Bakir, seorang Kepala Bagian (Kabag) pada kantor pemerintahan, sebagai tokoh yang koruptif. Bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia memiliki pola hubungan antara ASN dengan pengusaha yang saling menguntungkan secara ekonomi. Bakir yang berprofesi sebagai ASN dinilai punya kesempatan untuk menjadi koruptor. 

Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai Kabag, ia menjual kertas-kertas milik kantor ke pengusaha percetakan di Pasar Senen. Bakir juga berani meminta komisi untuk pengadaan barang di kantornya. Seiring berjalannya waktu, kebiasaan tersebut telah mengikis mental Bakir, menjauhkan dia dari keluarganya, dan membahayakan karier yang telah dirintis selama puluhan tahun.

Melalui tokoh lain yang menarik kesimpulan atas peristiwa yang menimpa Bakir, Pram menulis sebagai berikut: “Kami adalah angkatan pengecut. Kami juga yang telah membiarkan penjajahan lebih lama bernapas. Dan apabila mereka tidak datang, kami pun masih tetap memanjangkan umur penjajahan.”

Sungguh menarik bagaimana Pram melukiskan
bahwa hanya dengan memikirkan kemungkinan untuk korupsi, Bakir dapat menilai lingkungannya secara berbeda. Pram berani menghakimi perbuatan koruptor yang sama kejamnya dengan perbuatan penjajah.

Hal itu ada benarnya, mengingat korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri dengan cara merugikan negara. Sehingga para koruptor sejatinya adalah penjajah yang menindas bangsanya sendiri.

#2 Feodal

Dalam novel Gadis Pantai, Pram menyuguhkan tokoh antagonis yang disebut Bendoro. Pria ini merupakan seorang priyayi Jawa yang bekerja di bawah administrasi Hindia Belanda. Pram menggambarkan tokoh ini sering berpergian ke luar kota untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya.

Maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Bendoro adalah seorang pribumi yang berprofesi sebagai ASN. Pada zaman kolonial, orang-orang seperti Bendoro kerap dijuluki “antek-antek Belanda”.

Pram tidak menjelaskan bagaimana cara Bendoro memperoleh kedudukan dalam pekerjaannya. Namun dalam sebuah wawancara dengan Kees Snoek, seorang Guru Besar sastra Belanda pada 26 Juli 1991, Pram mengaku kalau Belanda datang ke Indonesia untuk menguasai, tetapi mereka kekurangan tenaga. Sehingga mereka menggunakan sistem feodal dalam menjalankan pemerintahan Indonesia dan mereka berhasil. 

Melalui tokoh serta karakter Bendoro, Pram menyindir kaum bangsawan Jawa yang menjadi kolaborator dengan berperan sebagai aparat pemerintahan. Mereka bertugas menjadi juru ketik, pengacara pemerintah, bahkan penarik pajak yang tidak jarang menindas dan menekan rakyat demi hidup nyaman dan akhirnya melanggengkan status quo.

Karakter feodal ASN sialnya masih bertahan meski Indonesia sudah merdeka. Adanya istilah “orang dalam” yang bekerja di sektor pemerintahan masih terasa hingga kini. Seorang eselon tinggi melalui kekuasaannya, seringkali menitipkan seorang atau lebih kerabat untuk bekerja di kantor yang sama dengannya.

Terlepas dari kualitas orang tersebut, penilaian kita terhadap si “orang dalam” tadi pasti mengalami bias. Hal itu diperparah dengan mental “asal bapak senang (ABS)” yang masih menjamur di beberapa kantor pemerintahan. 

Sikap ABS adalah ciri lain dari ASN yang berkarakter feodal. Demi mempertahankan kenyamanan dan melanggengkan status quo, tidak jarang ASN menyenangkan atasan dengan sikap atau sesuatu yang tidak perlu.

Mental seperti itu bukan tidak mungkin akan mengubah seorang ASN menjadi tokoh Bendoro dalam novel Gadis Pantai karya Pram; menjadi raja kecil yang menindas masyakarat kelas bawah karena merasa punya kekuasaan.

#3 Takut mengambil risiko

Melalui tokoh Minke, Pram mengeluhkan sikap ASN kala itu yang dianggap takut mengambil risiko. Dalam novel Jejak Langkah, bagian ketiga dari tetralogi Pulau Buru, Minke mulai memelopori sejumlah organisasi bagi kepentingan pribumi. Organisasi pertama yang didirikannya adalah Sjarikat Prijaji, yang terdiri dari kaum amtenar atau sebutan bagi pegawai pemerintahan di masa kolonial.

Para amtenar dipilih Minke
karena dianggap mumpuni secara intelektual. Mereka diharapkan menjadi penjembatan antara penguasa dengan pribumi yang mayoritas masih tertindas.
Namun gagasan itu tidak dapat terwujud karena kaum amtenar berkepentingan terhadap status quo dan takut mengambil risiko.

Jauh setelah novel Jejak Langkah terbit, beberapa ASN masih mengalami keraguan yang sama. Perasaan takut mengambil risiko masih menghantui para ASN. Ancaman seperti dimutasi ke daerah terpencil dan diberhentikan dari jabatan, memaksa para ASN cenderung bermain aman.

Sebagaimana impian Minke, beberapa ASN juga mendambakan adanya organisasi yang terdiri dari pegawai pemerintah yang kuat dan mumpuni. Minke mungkin melihat organisasi itu berpotensi menguntungkan pribumi. Namun sepertinya Minke lupa, organisasi tadi juga berguna bagi para amtenar itu sendiri. 

Dengan berserikat dan berorganisasi, kaum amtenar tidak akan dianggap remeh oleh pemerintah kolonial. Organisasi itu bisa berfungsi sebagai pengoreksi awal kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpotensi menindas masyarakat secara umum. Andai kaum amtenar berani mengambil risiko. Mungkin Minke masih hidup ketika melihat negerinya merdeka lebih cepat.

Melalui karya-karyanya, Pram menampilkan ASN dalam berbagai wajah—koruptif, feodal, dan enggan mengambil risiko. Gambaran tersebut bukan sekadar kritik sosial, tetapi juga refleksi bagi ASN masa kini. Meski zaman telah berubah, tantangan yang dihadapi tetap serupa: bagaimana membangun birokrasi yang bersih, berintegritas, dan berani bertindak demi kepentingan bangsa.

Mungkin inilah saatnya bagi ASN untuk membuktikan bahwa mereka tidak lagi menjadi “angkatan pengecut,” sebagaimana yang dikatakan Pram melalui tokohnya. Sebab di tangan merekalah, wajah birokrasi Indonesia akan terus ditulis—apakah menjadi lebih baik, atau justru mengulang sejarah yang sama.

8
0
Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer

Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer

Author

Seorang fungsional penata kehakiman ahli pertama di Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Saya memperoleh gelar S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post