“Maaf Fren, ini aku sambil nyuci mukena dan sajadah kantor. Soalnya tadi malam aku pulang kerja terlalu malam”, begitu bunyi pesan WhatsApp dari RR Ratih, panggilan akrab saya untuk Ratih Kusumaningrum, seorang teman nun jauh di sana. Saya terkesima dengan isi chat RR Ratih itu. Membaca pesan itu saya bagaikan dibasahi air hujan di musim kemarau. Sebab, sepengetahuan saya ia masih keturunan ningrat. Ibunya masih trah ke-3 keturunan raja dan ia masih mau mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencuci, meskipun barang yang ia cuci itu miliknya sendiri.
Secara ekonomi, keluarga RR Ratih termasuk berada. Bapaknya dahulu adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan ibunya memiliki bisnis otomotif yang begitu maju pada era tahun 80-an. Dengan kekayaan kedua orang tuanya itulah seorang Ratih remaja hidup berkecukupan.
RR Ratih adalah teman saya semasa sekolah menengah atas (SMA) di sebuah daerah di Pulau Jawa. Dulu kami seringkali berada dalam satu kelompok ekstrakurikuler penelitian. Selepas tamat SMA, saya mendengar bahwa RR Ratih mengambil kuliah pada jurusan teknik, jurusan yang jauh berbeda dengan saya. Kampus kami pun berbeda. Semenjak itu komunikasi kami terputus.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya setelah 20 tahun putus kontak, saya menemukan jejaknya dengan searching melalui media sosial. Selanjutnya, tak butuh waktu lama bagi kami untuk ngobrol seperti halnya kawan yang lama tak berjumpa.
Saya tertarik dengan cerita-cerita darinya. Salah satunya tentang pengalamannya ketika ia dilamar oleh salah satu partai politik (parpol) untuk diusung jadi wakil walikota. Ratih menolak dengan alasan tidak tertarik pada jabatan. “Lagian nggak bakalan ada orang yang mau nyoblos saya, musuh saya terlalu banyak,”begitu cerita RR Ratih mengulang kata-katanya dahulu.
Padahal, parpol tersebut mencalonkan Ratih bukan tanpa alasan. Di kalangan para punggawa pemerintah daerah tempat ia mengabdi saat ini, RR Ratih terkenal sebagai seseorang yang bersikap bagaikan sahabat Rasul “Umar Bin Khatab”. Ia berani berkata “tidak” untuk yang semestinya tidak diiyakan.
Misalnya, tentang pengesahan anggaran yang memboroskan uang negara, Ratih dengan tegas menolaknya. Berbagai permasalahan modus korupsi uang negara ia temui dalam birokrasi. Hal itu bukan membuatnya lari atau malah terlibat korupsi dan mengambil keuntungan, tetapi RR Ratih justru memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan dalam pemerintahan.
RR Ratih juga mempunyai kompetensi sebagai pengusaha, mewarisi jiwa bisnis ibunya. Di samping mengabdi sebagai PNS, ia pun nyambi menjalankan bisnis di bidang properti. Pada hari kerja ia bekerja sebagai abdi negara, sementara pada hari Sabtu-Minggu ia mengurusi bisnisnya.
RR Ratih bercerita, “Kalau saya kerja murni mengurusi usaha properti, sakjane hasilnya jauh lebih besar. Saya pasti juga terhindar dari penipuan-penipuan mandor. Tapi, niat kerja saya sebagai PNS hanya untuk mencegah semakin banyaknya pelaku korupsi. Itulah, meski saya jualan rumah sudah cukup menghidupi, tapi saya tetap mempertahankan jadi PNS di sini. Setidak-tidaknya untuk ngerem kegilaan sistem yang dibuat agar tindakan menyimpang itu seolah-olah menjadi legal”.
Sepak terjang RR Ratih menjadi semakin nyata ketika ia diangkat menjadi Eselon 4 perencanaan teknis di pemdanya. Tugas RR Ratih mengharuskannya mensupervisi semua desain. RR Ratih selalu mencoret gambar perencanaan yang dibuat dengan asal-asalan atau dibuat dengan titipan volume.
Menghindari “ketegasan” itu, atasannya membuat kebijakan bahwa desain perencanaan teknis tidak perlu diperiksa dan ditandatangani supervisor. Jelas, tindakan penuh integritas RR Ratih ini dibenci di organisasinya sendiri.
Sewaktu Ratih ditempatkan di organisasi perangkat daerah (OPD) perencanaan, ia semakin lincah mencoret rencana kerja anggaran (RKA). Ia memverifikasi banyak hal, misalnya tentang anggaran belanja modal alat berat yang begitu besar diajukan, tetapi pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dari sewa alat berat sangat minim. Ternyata pembelian alat berat itu dimanfaatkan untuk kontraktor yang dipunyai oleh salah satu oknum PNS.
Belanja modal mobil double cabin juga dia coret. Sebab, sudah ada data yang dia dapatkan tentang kondisi jalan-jalan di kotanya yang sudah bagus. Menurutnya, pembelian mobil double cabin itu tidak perlu dan hanya sekedar untuk memuaskan gengsi dengan memakai duit negara.
Siang ini, perjuangan RR Ratih menumpas mafia di OPD tidak berhasil. Ia menceritakannya dengan sedih pada saya. Reviu OPD atas bidang Sarana-Prasarana (Sarpras) tidak bisa dia lakukan karena bukan wewenangnya, meskipun dia tahu bahwa ada kesalahan di dalam pengajuannya.
“Bidang Sarpras tidak membolehin proyek-proyek siluman itu dipangkas. Karena semua pekerjaan itu sudah ada yang punya, alias sudah ada pesanan pihak lain yang kerja sama dengan oknum orang dalam,” begitu RR Ratih berkisah.
“Hari ini saya survei ke beberapa gedung sekolah dasar (SD) rusak yang diajukan anggarannya ke kami. Sungguh memprihatinkan keadaannya. Teringat dengan proyek pengadaan di bidang Sarpras, rasanya semakin menyesakkan dada. Ada ketidakadilan karena pengajuan anggaran OPD Sapras itu jor-joran. Mestinya yang jor-joran itu bisa dialokasikan untuk perbaikan banyak SD di pinggiran yang udah rusak parah.”
“Hanya disetujui dana 20 juta rupiah untuk setiap SD yang rusak itu. Sungguh ironis. Apakah karena proyek di sekolah-sekolah itu tidak memberikan setoran pada para pejabat atau tidak ada deal-deal untuk mark up sehingga mereka harus mengalah dengan proyek-proyek yang sudah terkondisikan?”, sambung RR Ratih lagi. Rasanya saya pun turut murka mendengarnya.
Selanjutnya Ratih menceritakan bahwa baginya uang negara itu harus diperlakukan seperti uang di dompet sendiri. Dengan prinsip itu, ia akan eman-eman (berhemat) dalam membelanjakan uang negara. Itu adalah prinsipnya sejak masih berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
RR Ratih bercerita bahwa ia suka ngeprint di atas kertas bolak balik, selain juga memilih mode econo fast. Jika tidak perlu, ia tak mau melakukan perjalanan dinas. Snack rapat juga disesuaikan dengan tingkat kedatangan peserta pada rapat sebelumnya, biar tidak mubazir. Semua itu biar hemat.
Ironinya di lain pihak, ada yang memperlakukan uang negara dengan menghambur-hamburkan sesuka hati. Mereka lupa, kalau uang sendiri menjadi kikir, tetapi kalau uang negara diperlakukan seperti aji mumpung. Innalillaahi…Ke mana perginya hati nurani?
RR Ratih pun juga menceritakan empatinya terhadap kerusakan di lingkungan sekitar.
“Gara-gara tindakan nakal oknum, saya jadi sering memperbaiki jembatan yang dekat rumah dengan uang pribadi. Saya suruh tukang, saya foto, sampai tukang saya masuk nggrowong di bawah jembatan. Lha kalau tidak segera saya perbaiki, khan kasian masyarakat yang lewat ruas jalan di depan saya, bisa-bisa muter. Mungkin banyak orang yang heran, saya PNS, orang dalem, tapi kok mau-maunya nduitin pakai uang pribadi. Bukankah mudah dengan memakai APBD? Tapi pemikiran saya tidak seperti itu. Mengapa? Karena jika ditangani dengan APBD, pasti nanti rusak-rusak terus. Jadi saya mantap pakai uang sendiri dengan suruhan tukang saya. Semakin banyak yang lewat jembatan yang saya perbaiki, Alhamdulillah menjadi amal jariyah”, ungkap RR Ratih pada kesempatan yang lain lagi.
Luar biasa RR Ratih, begitu ucap saya dalam hati, sesaat sebelum mencoba menggali lebih lanjut lagi apa motivasinya berbuat sosial yang demikian.
“Itulah rahasia ilahi. Pengeluaran saya sedikit, karena saya nggak neko-neko. Saya hidup sederhana dan rejeki yang saya dapat dari jualan properti biaya saya pakai lagi untuk membiayai kegiatan sosial. Tanah yang awalnya saya beli hanya Rp150 juta aja, di tangan saya bisa terjual lagi hingga laku Rp900 juta. Tentunya dengan proses pengolahan dulu.”
RR Ratih juga mengungkapkan bahwa gaya hidup keseharian orang-orang pada jaman sekarang banyak yang makan gengsi. Demi pengen naik mobil tetapi nggak punya duit, mereka rela sampai korupsi. Padahal, kondisi jalanan macet di mana-mana.
Saya tahu benar maksud RR Ratih tentang gengsi itu. Meskipun di rumahnya tersedia banyak mobil pribadi, ia tetap berangkat ke kantor naik sepeda. Nyatanya ia baik-baik saja. Baginya, lebih banyak benefit–nya naik sepeda. Ia bisa mengalokasikan waktu untuk olah raga dan ia juga bisa mempunyai waktu lebih bagi keluarga.
Sungguh membanggakan punya sahabat yang telah lama tidak bertemu tapi tetap baik hati, bahkan menjadi semakin hebat, seperti RR Ratih. Di manapun RR Ratih berada, ia selalu memberikan hal-hal baik untuk organisasi dan orang-orang di sekitarnya.
Sosok RR Ratih bagi saya adalah potret birokrat tajir, berdedikasi, dan mengabdi pada negara.
Semoga kita bisa seperti itu juga. Amiiin…
Kepala Bagian Tata Usaha di Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan
Tulisan yang bagus, pak. Senang sekali jika RR Ratih menjadi contoh bagi seluruh ASN di Indonesia.
Sehat terus, pak.