Pesantren Ramah Lingkungan dan Upaya Transformasi Ekologis

by | Aug 31, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Pada saat krisis lingkungan global seperti perubahan iklim, polusi, dan deforestasi tengah terjadi di berbagai belahan dunia, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dan penjaga kelestarian alam.

Pesantren memiliki landasan teologis tentang lingkungan hidup yang terinternalisasi dan mendorong keseharian peserta didik (santri) dalam mengembangkan diri.  

Pesantren, dengan sejarah panjangnya sebagai elemen
yang mengembangkan pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat memiliki peran strategis dalam membentuk kesadaran lingkungan. Oleh karenanya, keberadaan pesantren ramah lingkungan bukan sekadar tren, melainkan keharusan untuk menjawab tantangan ekologis sambil mempertahankan nilai-nilai Islam. 

Konsep pesantren ramah lingkungan ini mengintegrasikan praktik ramah lingkungan dalam kehidupan pesantren, mulai dari kurikulum, pengelolaan sumber daya, hingga aktivitas sehari-hari.

Santri diajarkan untuk memahami hubungan antara ajaran Islam dan kelestarian alam, seperti pentingnya menjaga kebersihan (dari hadis “kebersihan adalah sebagian dari iman”) dan larangan merusak lingkungan. 

Menyadari hal tersebut, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, melangkah lebih jauh melalui program terkait. Pesantren Ramah Lingkungan menjadi perhatian penting yang akan dikuatkan dan dimasifkan. Upaya ini dapat dikatakan langkah transformatif dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup. 

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tahun 2024 memberikan indikator penunjang tentang bagaimana pesantren menerapkan konsep ini dan tantangan yang dihadapi.

Setidaknya terdapat tiga praktik baik yang menjadi inti konsep ramah lingkungan sehingga dapat dijalankan. Ketiganya adalah sedekah sampah, sedekah oksigen (menanam pohon), dan wakaf mata air di mana kesemuanya merupakan konsep keseharian yang sangat dekat dengan kehidupan para santri. 

Ketiga praktik baik ini disokong oleh pengembangan pertanian organik dan konservasi energi (pemanfaatan panel surya) di banyak pesantren.   

Tiga praktik baik

Sedekah sampah secara umum diwujudkan dalam praktik menyumbangkan sampah yang dapat didaur ulang, seperti plastik, kertas bekas ngaji, kardus, botol kaca, kaleng, atau minyak jelantah dan sejenisnya. “Sumbangan” ini selanjutnya dikelola secara produktif untuk mewujudkan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan. 

  • Sedekah sampah terinspirasi dari ajaran Islam tentang sedekah yang mendorong pemberian sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dengan niat ikhlas untuk meraih ridha Allah. 
  • Sementara itu, sedekah oksigen merujuk pada kegiatan menanam pohon yang menghasilkan oksigen sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, hewan, dan lingkungan. Sedekah oksigen pada dasarnya sejalan dengan prinsip sedekah jariyah. 

Jenis sedekah ini diyakini menempatkan pahala yang terus mengalir meski pelaku telah meninggal. Bagi kalangan pesantren, menanam pohon diyakini sebagai sedekah jariyah karena pohon memberikan oksigen, menyerap karbon, dan mendukung ekosistem secara berkelanjutan.

  • Konsep terakhir adalah wakaf mata air yang diwujudkan dalam bentuk sedekah jariyah berupa penyediaan sumber air bersih, seperti sumur, pompa air, atau infrastruktur air lainnya. Wakaf diarahkan untuk membantu berbagai kepentingan umum. 

Berbeda dengan sedekah biasa, wakaf melibatkan pemberian aset yang dikelola secara berkelanjutan untuk memberikan manfaat jangka panjang tanpa mengurangi nilai aset itu sendiri. 

Potensi Pesantren

Salah satu kekuatan pesantren adalah inisiatif mandiri yang menempatkan mereka sebagai pihak yang tidak hanya menunggu instruksi dari atas.

Ide tentang pesantren ramah lingkungan telah dikembangkan sedemikian rupa di tingkat tapak jauh sebelum ide tentang green Islam, ekoteologi, spiritualitas lingkungan, green-deen, dan beragam ide serupa lainnya muncul ke permukaan. 

Pada satu sisi, hal ini menunjukkan kerja reflektif yang mendalam. Kesediaan untuk turut peduli pada kerusakan alam, selain merupakan amanah dasar ajaran Islam, adalah juga kesediaan untuk membuka diri terhadap perkembangan sosial-budaya, bahkan ekonomi-politik.

Hari ini, beragam perkembangan tersebut menempatkan lingkungan hidup dalam posisi kritis dan semua pihak harus bersegera mengambil sikap untuk mengatasi. 

Menurut data International Panel on Climate Change (IPCC) 2023, krisis iklim menyebabkan gangguan siklus hidrologi, meningkatkan risiko kekeringan (misalnya, di Jawa Timur) dan banjir (misalnya, di Jakarta) yang telah memengaruhi ketersediaan air bersih. 

Sementara itu, dalam penilaian World Resources Institute (WRI) 2024,
Indonesia terhitung dalam 25 negara dengan risiko krisis air akibat krisis iklim.
Kondisi ini ditambah dengan perubahan pola hujan dan kenaikan permukaan laut yang memperburuk intrusi air asin ke air tanah. Hal ini jelas membutuhkan
perhatian serius dan sikap yang responsif.  

Data-data tersebut relevan dengan apa yang tengah menjadi perhatian pemerintah. Data Badan Pusat Statistik (statistical yearbook of Indonesia 2025) menyebutkan bahwa  Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Indonesia pada 2023 menunjukkan penurunan di beberapa daerah akibat polusi air dan udara, dengan skor rata-rata 70,22 (skala 0–100). 

Kondisi ini ditandai dengan adanya krisis air bersih dan sampah. Disebutkan bahwa 29% rumah tangga di Indonesia masih kesulitan mengakses air bersih pada 2023 dan 16 juta ton sampah berpotensi masuk ke laut melalui sungai, pemukiman pesisir, dan pelabuhan, mengancam keberlanjutan ekosistem laut.  

Kontribusi nyata dari pesantren melalui sedekah air, sampah, serta wakaf mata air adalah mengurangi emisi sektor kehutanan dan mendukung capaian Sustainable Development (SDGs) tahun 2025. 

Emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan atau Forestry and Other Land Uses (FOLU) masih mencapai sekitar 1 GtCO₂e per tahun. Melalui program sedekah  oksigen, pesantren turut mendukung capaian target net sink -140 MtCO₂e pada 2030.  

Sementara itu, Indonesia memiliki SDG Index Score 70,22 (peringkat 77 dari 167 negara), dengan tantangan besar pada SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 13 (penanganan perubahan iklim). Program seperti wakaf mata air di pesantren jelas turut menambah optimisme dalam upaya mencapai target SDG tersebut. 

Dengan sekitar 42.000 pesantren dan 4,6 juta santri (data EMIS Kemenag), pesantren jelas sebuah potensi dan daya gerak yang besar dalam merespons problem lingkungan.  

Melalui sedekah sampah, misalnya, pesantren dapat secara aktif berkontribusi dalam Program Sebasah (Clean and Healthy Waste-Free Sea) yang diluncurkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bertujuan mengurangi sampah laut hingga 40% pada 2027 dan 70% pada 2029. 

Tradisionalitas yang modern 

Pesantren secara historis dikenal sebagai lembaga yang berakar pada tradisi keislaman yang fokus pada pengajaran Al-Qur’an, hadis, dan fiqih, ushul fiqih, serta pembentukan akhlak mulia.

Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersihan, dan tanggung jawab sebagai khalifah fil-ardh (pemimpin di bumi) untuk menjaga alam telah lama menjadi bagian dari kerja institusional dan eksistensi pesantren. 

Tradisionalitas ini memberikan landasan kuat untuk mengintegrasikan kepedulian lingkungan karena pada dasarnya Islam menekankan urgensi menjaga keseimbangan alam (konsep mizan sebagaimana terdapat pada QS. Ar-Rahman: 7-9).  

Meski demikian, tradisionalitas pesantren tidak berarti membuat pesantren ketinggalan zaman. Sebaliknya, eksistensi pesantren ramah lingkungan menunjukkan kemampuan beradaptasi pesantren dengan tantangan modern seperti krisis iklim dan keterbatasan sumber daya. 

Hal tersebut diperoleh melalui praktik inovatif yang tetap berpijak pada nilai-nilai Islam. Inilah yang membuat pesantren menjadi model “tradisionalitas yang modern”, hal ini merupakan sebuah perpaduan antara kearifan lokal dan solusi kontemporer.

Tentu saja, berbagai langkah inovatif dan keajegan yang dimiliki pesantren memiliki tantangan yang dihadapi.  Pemerintah, masyarakat, dan pesantren sendiri harus bekerja sama untuk memperluas skala dampak ini, memastikan bahwa tradisi keislaman terus relevan dalam menjawab tantangan zaman, dan diikuti banyak pesantren lainnya.

Sebuah kerja positif dan lanskap kemajuan telah dibuat dalam wujud pesantren ramah lingkungan. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa tradisionalitas dan modernitas dapat berjalan seiring. 

Melalui integrasi nilai-nilai Islam seperti sedekah dan wakaf di satu sisi dengan praktik modern seperti pengelolaan sampah dan konservasi air di sisi lain, pesantren tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga agen perubahan lingkungan berdasar praktik di lapangan.

Praktik baik ini dapat menjadikan pesantren sebagai mercusuar keberlanjutan, menawarkan model yang relevan dan adaptif bagi masyarakat.

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post