- Sejak tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri telah melakukan kajian atas peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), terutama peran inspektorat daerah di pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota. Kajian ini mencakup penguatan kelembagaan inspektorat daerah, yaitu agar inspektorat daerah dapat lebih berkinerja, independen, dan berintegritas. Dengan penguatan ini, diharapkan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagai tersangka dapat menurun di daerah.
- Kemudian, Kementerian Dalam Negeri bersama Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kantor Staf Kepresidenan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Revisi Peraturan Pemerintah ini telah disampaikan ke Presiden dan sampai dengan saat ini masih dalam proses
- Terdapat lima aspek strategis terkait revisi Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu:
- Pelaporan hasil pengawasan inspektorat daerah akan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk kepentingan supervisi pengawasan, khususnya atas hasil pengawasan yang memuat informasi indikasi tindak pidana korupsi;
- Penguatan peran inspektorat daerah dalam pencegahan korupsi, termasuk korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah;
- Penambahan unit kerja di inspektorat daerah yang akan bertugas melakukan pemeriksaan investigatif;
- Pengangkatan dan pemberhentian inspektur daerah atas izin pemerintah pusat; dan
- Penyetaraan eselon inspektur daerah menjadi setingkat sekretaris daerah.
- Oleh beberapa pihak, beberapa aspek strategis di atas dipandang dapat memperkuat posisi inspektorat daerah sehingga hasil-hasil pengawasan mereka secara nasional nantinya dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap perbaikan tata kelola pemerintahan, khususnya pemerintahan Sebagai contoh, penyetaraan eselon inspektur daerah menjadi setingkat sekretaris daerah akan menjadikan inspektorat daerah bekerja lebih profesional, independen, dan berintegritas ketika mengawasi sebuah organisasi perangkat daerah (OPD).
- Namun demikian, oleh beberapa pihak, argumentasi bahwa peningkatan eselon inspektur daerah setara dengan sekretaris daerah dapat meningkatkan profesionalitas, independensi, dan integritas inspektorat daerah masih dapat dipertanyakan. Hal ini mengingat hasil penilaian atas kapabilitas APIP yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan rendahnya jumlah inspektorat daerah yang memiliki kapabilitas level 3.
- Rendahnya kapabilitas inspektorat daerah tersebut mengindikasikan terdapat persoalan kompetensi dan profesionalitas inspektorat daerah dalam melaksanakan tugas pengawasan. Hingga saat, ini secara umum, inspektorat baru mampu melaksanakan tugas-tugas terkait dengan kepatuhan OPD terhadap peraturan (compliance-oriented) daripada melaksanakan pengawasan yang dapat meningkatkan tata kelola pemerintahan (governance) dan pencapaian tujuan strategis pemerintahan daerah (governance-and performance-oriented).
- Selain itu, narasi besar peningkataan eselonisasi inspektorat untuk mencegah korupsi politik (di tingkat kepala daerah) dapat menjadi bumerang bagi inspektorat sendiri. Saat inspektorat telah diberi kewenangan lebih, kemudian masih saja terjadi korupsi politik yang notabene berada di luar jangkauan sistem, maka inspektorat akan tertuduh menjadi biang kelemahan sistem. Inspektorat akan menjadi kambing hitam atas terjadinya korupsi tersebut. Jika yang terjadi demikian, maka usaha pencegahan korupsi politik akan lebih difokuskan lagi untuk perbaikan kelemahan inspektorat, hal itu justru akan semakin menjauh dari substansi akar masalah kenapa korupsi politik masih saja terjadi.
- Beberapa kasus tindak pidana korupsi juga telah membuktikan bahwa peningkatan eselon di daerah tidak menunjukkan semakin independen dan berintegritasnya seorang pejabat Sebagai contoh, sekretaris daerah sering tidak berkutik jika berhadapan dengan kepala daerah, yang dipilih melaiui proses politik, yang melakukan tindakan tidak benar. Selain itu, masih terdapat juga sekretaris daerah yang justru menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi walaupun eselonnya adalah tertinggi di pemerintahan daerah.
- Karena itu, Pergerakan Birokrat Menulis memandang upaya peningkatan eselon inspektur daerah setara dengan sekretaris daerah adalah kontra produktif karena permasalahan mendasar terkait kompetensi dan profesionalitas inspektorat daerah serta penyebab terjadinya korupsi politik kurang diperhatikan. Jika dibiarkan, upaya peningkatan eselon inspektur daerah hanya akan menghasilkan inspektur daerah yang memiliki kewenangan yang besar, tetapi tetap tidak dapat berbuat banyak.
- Pergerakan Birokrat Menulis memandang bahwa yang perlu dilakukan pertama sekali adalah perbaikan sistem rekrutmen inspektur daerah agar dapat menghasilkan inspektur daerah yang kompeten, profesional, dan berintegritas. Dengan perbaikan sistem rekrutmen ini, kita dapat menghasilkan inspektur daerah yang memiliki kemampuan untuk mendorong dan memotivasi OPD menindaklanjuti hasil pengawasan, menegakkan tata kelola pemerintahan di daerah, dan meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam melayani publik.
- Dengan menimbang berbagai hal di atas, Pergerakan Birokrat Menulis menyatakan sikap menolak peningkatan eselon inspektur daerah menjadi setara dengan sekretaris daerah.
- Sebagai alternatifnya, kami menyatakan sikap:
- Mendorong Pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat yang lebih ketat terkait proses rekrutmen inspektur daerah, yaitu dengan mengedepankan aspek kompetensi, profesionalitas, dan integritas. Perlu juga kiranya dilakukannya sertifikasi atas calon inspektur daerah oleh BPKP;
- Mendorong perbaikan sistem rekrutmen inspektur daerah, yaitu dengan proses seleksi secara terpusat yang dikelola oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) agar lebih akuntabel dan transparan serta menghasilkan inspektur daerah yang kompeten, profesional, dan berintegritas; dan
- Mendorong Pemerintah Pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri, untuk mendukung sepenuhnya peningkatan kapabilitas APIP, terutama dari segi peningkatan kompetensi, fasilitas, dan kesejahteraan para personil inspektorat daerah.
16 November 2018
Kontak Person: M. Rizal (0813-4880-7899)
Email: [email protected]
0
0
Satu hal menarik diangkat oleh penulis adalah kapabilitas APIP.
Rendahnya jumlah lnspektorat yg memiliki kapabilitas level 3 menjadi salah satu faktor kurang maksimalnya peran dan kinerja lnspektorat.
Tetapi sayangnya penulis sama sekali tidak menggali (semoga bukan tidak mengetahui) penyebab faktor itu.
Saya mengajukan pertanyaan dan sedikit jawaban untuk membantu menggali hal itu.
1. Siapa yg menentukan penempatan pegawai di lnspektorat? Sekda??
Hmmm…hampir seluruhnya adalah “maunya” kepala daerah. Bahkan dulu ada anggapan bahwa lnspektorat adalah tempat pembuangan pegawai bermasalah dan tak berkompeten.
2. Pembinaan SDM dan profesionalitas lnspektorat tentu harus melalui diklat dan bimtek…dan tentunya membutuhkan anggaran. Sapa yg menentukan besar anggaran lnspektorat? Mendagri? Sekda?
Hmmm…kepala daerah tentunya. Kalau kepala daerah banyak “proyeknya”, jangan harap lnspektorat dipenuhi kebutuhan anggarannya. Bahkan yg namanya bimtek, diklat, apalagi 33 program pengawasan dari pusat tidak akan terakomodir sepenuhnya.
3. Apakah kepala daerah tidak meminta fee proyek ???
Hhaha…cerita lama yang terus menerus terjadi. Di mana lnspektorat? Ada di luar…ga diizinkan “masuk”, berani macam²…non-job, dimutasi dll
Jadi penguatan APIP dari pusat yg hanya berupa “mendorong” ataupun “mendukung” rasanya tetap menjadi hal yg sia-sia, karena kewenangan penuh tetap di tangan kepala daerah.
Beranikah pemerintah pusat menjadikan lnspektorat sebagai instansi vertikal yg bertanggung jawab ke pusat dalam segala hal: tugas, fungsi dan anggaran ???
Terima kasih atas tanggapan Anda. Semoga pengambil kebijakan dapat menindaklanjutinya
Apakah poin 11 dan 12 tidak bisa digabung?
Apakah harus mengorbankan poin 11 untuk mewujudkan poin 12?