Perizinan Pemanfaatan Ruang Laut: Tantangan Integrasi Pusat-Daerah dan Pengembangan Riset Kemaritiman

by | Aug 11, 2023 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, kewenangan pengelolaan perairan laut yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut (di luar minyak dan gas bumi); pengaturan administratif; serta pengaturan tata ruangnya diatur dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Perizinan pemanfaatan ruang sebagai implementasi pengaturan tata ruang laut tersebut juga telah membagi kewenangan pemberian izin pemanfaatan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang ringkasnya sbb.:

  • Pertama, Izin lokasi di laut (UU 1 Tahun 2014). Kewenangan pemerintah pusat melalui Menteri Kelautan dan Perikanan meliputi WP3K lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi Nasional; sedangkan kewenangan Gubernur meliputi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kurang dari 12 mil laut selain yang menjadi kewenangan Menteri; tidak ada kewenangan kabupaten/kota.
  • Kedua, Izin lokasi di darat (UU 26 Tahun 2007). Kewenangan pemerintah pusat melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang meliputi lahan daratan lintas daerah propinsi, kewenangan Gubernur meliputi lintas kab/kota dalam 1 provinsi, dan kewenangan Bupati/Waliota meliputi lahan dalam 1 kab/kota.

Problem perizinan pemanfaatan ruang 

Perizinan pemanfaatan ruang baik di darat maupun di laut, menjadi permasalahan utama dalam investasi untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memperoleh ruang untuk mendirikan usaha.

Stigma bahwa mengurus perizinan itu berbelit-belit, prosedurnya rumit, tidak ada kepastian waktu, sulit diakses atau tidak ada transparansi biaya yang harus dikeluarkan, membuat minat investor untuk berinvestasi menjadi terhambat (Rusmanto, 2017).

Pembagian kewenangan perizinan yang melibatkan instansi yang bertingkat-tingkat dan tidak terintegrasi menyisakan beberapa permasalahan, di antaranya

  • proses verifikasi belum sepenuhnya berbasis spatial, sehingga rawan tumpang tindih dan pergeseran lokasi tidak sesuai lokasi yang dimohonkan;
  • pencatatan perizinan tidak terintegrasi antara yang dikeluarkan daerah dan pusat, dan belum dicatat dalam kadaster darat/kadaster laut, sehingga ada kekhawatiran izin ganda pada lokasi yang sama atau tumpang tindih pemberian izin pada lokasi yang dampingan;
  • petugas pelayanan kadang memberikan prosedur yang rumit dan cenderung berbelit-belit, sehingga msyarakat menjadi malas dan enggan dalam mengurus perizinan;
  • batas pantai atau 0 mil antara laut dan darat belum ditetapkan secara pasti atau berbeda pada peta spatial antara peraturan zonasi laut dan peraturan tata ruang darat, sehingga kepastian kewenangan perizinan bisa berubah atau salah; dan
  • belum dapat ditarik PNBP atau retribusi secara legal.

Integrasi perizinan dalam sistem OSS

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya alam yang besar, baik dari perikanan tangkap, perikanan budidaya, mineral energi, dan jasa kelautan, baik sektor pariwisata, perhubungan, farmakologi, dan industri jasa lainnya.

Dalam rangka meningkatkan dan mempercepat investasi pemerintah terus mendorong pembangunan infrastruktur dan kemudahan, penyederhanaan serta integrasi perizinan berusaha. Salah satunya dengan penerbitan UU 11 Tahun 2020 jo Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Regulasi ini bertujuan menyelesaikan permasalahan perizinan yang ada dengan berusaha menyederhanakan dan mengintegrasikan perizinan pemanfaatan ruang dan perizinan berusaha sektor lainnya sehingga dapat menumbuhkan minat investasi.

Selain itu melalui PP 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, pemerintah berusaha mengintegrasikan secara spatial peta ruang laut dan ruang darat, sehingga hambatan terkait harmonisasi dan sinergi pemanfaatan dan batas spatial antara perairan dan daratan di atasnya dapat terlaksana.

Penyederhanaan perizinan dimulai dengan membagi dua antara persyaratan dasar perizinan berusaha dengan perizinan berusaha berbasis risiko di masing-masing sektor melalui PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Perizinan pemanfaatan ruang baik di darat maupun di laut yang di dalam PP 5/2021 disebut sebagai Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sebagai pengganti Izin Lokasi, dijadikan sebagai persyaratan dasar untuk memulai usaha, selain persetujuan lingkungan.

Setelah kedua persyaratan dasar ini diperoleh pelaku usaha baru kemudian mengurus perizin berusahanya ke intansi sektoral masing-masing sesuai bidang usahanya.

Pembagian bidang usaha kepada masing-masing sektor juga sudah dilampirkan dalam PP 5/2021 ini, yang diwujudkan dalam bentuk KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), sehingga menjadi jelas kewenangan sektor untuk mengurus ke depannya. 

Kesemua proses ini, baik pemenuhan persyaratan dasar dan berizinan berusaha saat ini dilakukan secara terintegrasi melalui sistem OSS (One Single Submission) melalui portal https://oss.go.id yang dikelola oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kewenangan Perizinan Pemanfaatan Ruang setelah UU Cipta Kerja 

Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sendiri terdiri dari KKPR darat (KKPR) dan KKPR laut (KKPRL). Kewenangan penerbitan KKPR dalam sistem OSS secara terintegrasi ditarik semuanya ke pusat melalui Kementerian Investasi/BKPM.

Apabila dibutuhkan, dalam prosesnya kemudian dilakukan otorisasi perizinan oleh instansi terkait misalnya Kementerian ATR atau Kementerian Kelautan Perikanan. Tentunya tetap melalui satu sistem terintegrasi tersebut. Lebih efisien secara biaya, waktu, dan tenaga.  

Sebagai contoh, tahapan pemberian Persetujuan KKPRL meliputi tahapan: a) pendaftaran oleh pemohon melalui secara elektronik OSS, b) penilaian dokumen permohonan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan c) penerbitan KKPRL melalui secara elektronik OSS.

Gambar 2. Tahapan Pemberian Persetujuan KKPRL melalui system OSS

Gambar 3. Proses bisnis perizinan pemanfaatan ruang laut

Tantangan Sinergi Pusat-Daerah

Penilaian permohonan PKKPRL didasarkan pada kesesuaian ruang bersumber pada dokumen tata ruang yang sah. Artinya, dalam menilai permohonan PKKPRL sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintah daerah atau pemerintah pusat menyusun dokumen tata ruangnya.

Artinya dalam pengelolaan wilayah pesisir laut tidak hanya berhenti atau fokus hanya pada penerbitan izin pemanfaatan ruang (PPKRPL) saja, yang saat ini tersentral di pemerintah pusat, karena ini adalah proses tengah/intermediate dalam pengelolaan ruang laut yang lebih luas. 

Dengan sinergi, instansi yang terkait tidak hanya berebut kue perizinan ruang laut dan mengabaikan perizinan berusaha sektor kelautan yang sedemikian terbuka luas. Terlebih, karena potensi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan mayoritas berada di perairan pesisir 0-12 mil yang pengelolaannya menjadi wewenang pemerintah provinsi.

Misalnya wisata bahari, budidaya laut, reklamasi, biofarmakologi, pemanfaatan/pengerukan sedimen laut, serta pemanfaatan air laut selain energi (ekstraksi garam, desalinasi, air baku industri, tambak dan aquarium ikan laut).

Oleh karena itu diperlukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, tidak hanya yang memiliki kewenangan dalam mengelola ruang laut (pusat dan provinsi) namun juga dengan kabupaten/kota, karena masyarakat di sanalah yang akan merasakan dampak dari pemanfaatan ruang laut.

Bentuk sinergi pemerintah pusat dan daerah

Sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah tersebut dapat dilakukan pada seluruh proses pengelolaan ruang laut, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, hinggga pengawasan; diwujudkan dengan:

  • Sinergi perencanaan: penyusunan materi teknis RTRL, RZWP-3-K, dan RZ KSN untuk diintegrasikan dalam RTRWN, RTRWP, RTR dan KSN; dan penyusunan dan penetapan RZ KAW dan RZ KSNT.
  • Sinergi pemanfaatan: penerbitan persetujuan KKPRL; pendelegasian kewenangan penerbitan persetujuan KKPRL; dan penerbitan perizinan berusaha sektor kelautan dan perikanan.
  • Sinergi pengendalian pemanfataan RK: penilaian KKPRL; penilaian perizinan berusaha sektor kelautan dan perikanan; pemberian insentif atau disindentif; pengenaan sanksi; dan penyelesaian sengketa penataan ruang laut.
  • Sinergi dalam pengawasan: pemenuhan dokumen persetujuan KKPRL; dan pemanfaatan sumberdaya di laut berdasarkan standar.

Tantangan Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan

Setelah melihat keseluruhan proses pengelolaan ruang laut di atas, serta mengacu pada standar kegiatan usaha dan produk pada penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko pada sektor kelautan dan perikanan, sejatinya masih banyak pekerjaan rumah, yang menjadi tantangan bersama bagi pemerintah, pemerintah, dunia usaha, perguruan tinggi, masyarakat dan LSM. 

Perguruan tinggi sebagai basis dalam rangka menjawab pekerjaan rumah tersebut, karena dibutuhkan kehatian-hatian dan analisis teknis dan risiko yang cermat dan objektif dalam setiap aspek pengelolaan ruang laut.

Terkait persetujuan KKPRL misalnya, perlu dikaji suatu wilayah setelah sesuai ruangnya,

  • apakah masih dimungkinkan untuk melakukan kegiatan/usaha tersebut,
  • apakah mampu daya dukung atau daya tampungnya
  • sudah jenuh atau over kapasitas,
  • ataukah dampaknya lingkungan (misalnya pendangkalaan, banjir rob) lebih buruk dari potensi bangkitan ekonominya (misalnya serapan tenaga kerja, PNPB, retribusi, dll).

Untuk menjawab ini tentunya dibutuhkan kajian yang mendalam dari semua aspek, tidak hanya tantangan dalam pemodelan dan perhitungan teknis, tapi juga tantangan pengumpulan data atau sampel hidrooseanografi, ekosistem, sumberdaya perikanan, profil dasar laut, dan sosial ekonomi masyarakat.

Hal lain, pembangunan infrastruktur laut misalnya, apakah harus selalu dengan metode reklamasi, yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi pola arus, dan sedimen transport yang berdampak pada abrasi/erosi di satu sisi, dan pendangkalan pada sisi lain.

Atau adakah teknologi baru yang dapat diaplikasikan sehingga mengurangi dampak pendangkalan tersebut, sehingga pemelihaaraan rutin berupa pengerukan bisa diminimalkan.

Hal ini juga dikarenakan kegiatan pengerukan juga dapat membahayakan ekosistem setempat. Karena kawasan pesisir atau pantai adalah kawasan yang subur, dimana lokasi ini adalah area terjadinya proses produksi bentik penting dalam mendukung produksi ikan demersal.

Terkait pengawasan dan monitoring misalnya, bagaimana melakukan pengawasan yang efektif terhadap perubahan kualitas lingkungan atau perubahan bentang alam laut yang dapat memberikan dampak negatif bagi kawasan pesisir, eksosistem dan sumber daya perikanan.

Adakah teknologi mitigasinya, terutama pada kegiatan yang dapat menimbulkan dampak penting dan luas, seperti pipa gas/minyak bawah laut, kabel bawah laut, pipa tailing/limbah, pengangkatan sedimen laut atau pasir laut, serta reklamasi.

Kajian-kajian spesifik terkait topik di atas, sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan manfaat dari ruang laut Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

0
0
Suwardi ♥ Associate Writer

Suwardi ♥ Associate Writer

Author

Mahasiswa Doktoral Teknik Kelautan FTK ITS, PELP Ahli Muda BPSP Denpasar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post