Satu:
Perbincangan dengan Ellie
Pada sebuah senja yang tak utuh karena awan yang tak mau berteman, aku menemui gundahmu di sebuah pojok pantai.
“Sampai kapan kau akan membutuhkanku?”, tanyamu
Matahari surut makin menghilang
Burung camar bergegas pergi menjauh dan pertanyaanmu tetap saja di sini
Pada gundahmu, seribu jawaban tak akan cukup untuk satu pertanyaan.
Jika soal kapan, maka jawabannya adalah sepanjang musim masih terjadi,
apapun itu.
Jika soal waktu, maka semasa bintang masih bersinar di atas kita,
yakinlah itu waktuku padamu
Maka jangan palingkan wajahmu
“Lalu sampai kapan engkau mencintaiku?”, kejarmu.
Mari ke bibir pantai. Biar laut menjawabmu.
Cinta bukan mantra tak terukur.
Cinta dan waktu yang ingin kau buktikan adalah sebangsa debur ombak
yang tak pernah bosan dan lupa menyapu pasir di pantai
Selalu begitu
Selalu ada buatmu
Pada Ellie, kita belajar tentang waktu
Juga rencana yang tak menentu
Pun gundahmu
Bahwa yang fana adalah waktu
tapi gundahmu abadi
(Inspired by Ellie Goulding’s how long will I love you – slow grenade)
Dua:
Menerka Makna Nasionalisme
Dalam sebuah perjalanan reportase tentang pelestarian alam dan lingkungan di Condet baru-baru ini, seorang anak muda menuangkan renungannya tentang tanah air dan upaya menjaganya. Suaranya tidak membahana dalam meneriakkan sanjungan atau malah serapah. Tapi sikapnya juga bukan dengan menangisi alam dan Indonesia, di mana cinta kepada mereka berdua seolah imaji patung Dewi Kwan Im yang disembunyikan Rahwana.
Mungkin ini tentang hal yang absurd, sangat yakin anak muda itu tengah dilanda gulana. Dia menulis tentang makna nasionalisme, hasil amatannya pada daya tahan dan keikhlasan warga Condet dalam menjaga lingkungan hidup.
“Mencintai tanah air…,” katanya dengan tenang dan lirih,
“Tak pernah berupa kesanggupan meneriakkan slogan tentang persatuan, kamajuan, nilai-nilai luhur bangsa atau apalah. Ia bukan pula tentang seberapa giat orang membela atau membantah penguasa.”
Lanjutnya, “Mencintai tanah air adalah kesediaan untuk terus menerus menjaga dan memelihara, untuk memastikan bahwa di masa depan tanah dan air yang sama tetap ada.”
Lalu dia pungkasi dengan kecemasan yang menggetarkan, “Cinta ini mungkin selamanya akan jadi cinta yang menyakitkan dan tak patut dijalani. Tapi, bagi sebagian orang, ia terus memanggil dan menggerakkan… bahkan ketika mereka menolak untuk memikirkannya.”
Di Condet, di bibir sungai dan sudut-sudut sempit tanahnya, kerelaan untuk menjaga tanah dan air itu tetap dirawat. Kepada para tetua dan habaib, harapan untuk menyuarakan yang benar dan lestari itu bersandar. Saat mana gelimang uang dan godaan untuk memiliki menjadi hantu dan selisih dalam kebersamaan mereka.
Di Condet, banyak hal yang belum usai..
Serpong – Tenabang
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.
0 Comments