Penyelesaian Sengketa Pelayanan Kesehatan

by | Oct 9, 2021 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Kantor, Bos, Marah, Karyawan, Pekerja

Hampir dua tahun lamanya pandemi melanda semua daerah di Indonesia. Tidak hanya memunculkan masalah yang langsung berkaitan dengan infeksi COVID-19, daya tahan fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan pun mendapat ujian yang berat dan panjang. Termasuk di dalamnya ujian terhadap moral dan ketaatan tenaga kesehatan terhadap berbagai aturan.

Ketaatan yang dimaksud ialah terhadap sumpah dan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasi, juga terhadap panduan praktik yang baik. Tindakan tidak sesuai standar yang bersinggungan dengan hukum positif yang berlaku telah menyeret tenaga kesehatan (nakes) untuk bertanggung jawab, baik secara hukum maupun etik profesi.

Nakes dan Malpraktik Medik

Fakta menunjukkan bahwa ada tenaga kesehatan yang terlibat dalam tindakan malpraktik medik, seperti pemalsuan surat keterangan hasil pemeriksaan, penggunaan bahan medis bekas untuk pasien, bertindak di luar kewenangan/kompetensi yang dimiliki, bertindak tanpa pelimpahan kewenangan, hingga berkontribusi pada beredarnya kit limbah skrining COVID-19 di masyarakat.

Tindakan ini tidak hanya merugikan pasien/masyarakat secara material, tetapi juga berdampak pada semakin sulitnya pengendalian laju penularan COVID-19 di masyarakat.

Tindakan malpraktik medik yang biasanya diadukan pasien/keluarga pasien yang mengalami cedera/luka akibat layanan yang diberikan oleh tenaga medis/tenaga kesehatan di rumah sakit, pada situasi kedaruratan kesmas, membuat peristiwa konkrit malpraktik medik terjadi dalam pengertian yang lebih luas dan pada area pelayanan yang sangat dasar, yaitu fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas maupun jejaringnya).

Tanpa mengurangi sikap hormat dan respek kita terhadap mayoritas tenaga kesehatan, yang seperti tidak mengenal lagi kosa kata ‘lelah’ dalam kamus penanganan pandemi, dugaan tindakan malpraktik medik yang sudah terjadi pada fasilitas pelayanan dasar menuntut adanya penegakan hukum (pembinaan dan pengawasan yang ketat) dari pemerintah daerah. Merekalah pengampu penyelenggaraan urusan wajib konkuren bidang kesehatan.

Dalam pemberian layanan kesehatan kepada pasien atau masyarakat, terdapat dua tindakan hukum yang secara bergantian mengikat para pihak, yaitu tindakan hukum publik dan tindakan hukum perdata. Hal ini yang menjadi keunikan pelayanan kesehatan sebagai pelayanan publik dibandingkan dengan sektor pelayanan publik yang lain.

Malpraktik Medik dan Maladministrasi

Setelah memenuhi persyaratan secara adminisitrasi negara melalui registrasi dan izin praktik, tenaga medis/tenaga kesehatan kemudian mendapatkan kewenangan untuk melakukan tindakan kedokteran maupun tindakan kesehatan lainnya kepada pasien dan masyarakat, baik itu melalui puskesmas dan klinik, maupun praktik mandiri.

Kewenangan klinis yang lahir itu kemudian membuka hubungan hukum keperdataan dalam pelayanan kesehatan antara tenaga medis dan pasien. Tenaga medis meminta persetujuan pasien untuk diberi tindakan medis, yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

Mengingat perikatan dalam pemberian layanan kesehatan merupakan perikatan upaya, maka, tindakan yang diberikan oleh tenaga medis/tenaga kesehatan kepada pasien menuntut sikap profesional, kepatuhan terhadap standar profesi maupun standar prosedur operasi, dan tidak menyimpang dari nilai-nilai disiplin etika profesi.

Penyimpangan terhadap standar dan regulasi yang mengatur setiap profesi kesehatan merupakan tindakan malpraktik medik yang didefinisikan dengan unsur-unsur berikut:

  1. Setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter atau orang-orang yang di bawah pengawasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya,
  2. Dalam hal diagnosis, terapeutik, dan manajemen penyakit yang dilakukan dengan melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan, dan prinsip-prinsip profesional,
  3. Dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati yang menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian, dan kerugian lainnya,
  4. Yang menyebabkan dokter dan perawat harus bertanggung jawab baik secara administratif, perdata, maupun pidana.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat juga istilah maladministrasi yang didefinisikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Perbuatan ini dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, menimbulkan kerugian materil dan immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Crossman (2012) menotifikasi tindakan maladministrasi sebagai tindakan berprasangka, kelalaian, kurang peduli, keterlambatan, bukan kewenangan, tindakan tidak layak, jahat, kejam, dan semena-mena.

Baik malpraktik medik maupun maladministrasi punya karakteristik yang sama. Sunaryati dkk (2012) membagi tindakan maladministrasi dalam beberapa kelompok, di antaranya tidak menangani kewajiban, pemalsuan/pelanggaran UU/perbuatan melawan hukum, tindakan di luar kompetensi/tidak kompeten/penyimpangan prosedur, dan kelompok yang melakukan penyalahgunaan wewenang/bertindak tidak layak.

Maladministrasi dalam pelayanan kesehatan sebagai bagian dari tindakan malpraktik medik menuntut adanya penyelesaian kerugian maupun penegakan hukum, baik secara litigasi maupun pendekatan penegakan hukum nonperadilan, yang bisa dilakukan oleh penyelenggara layanan pada berbagai tingkat ataupun praktik mandiri tenaga medis/tenaga kesehatan.

Pelayanan Kesehatan sebagai Tindakan Hukum Publik

R.J.H.M. Huijsman (2009) mendefinisikan tindakan hukum sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, atau tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Tindakan hukum publik menurut J.B.J.M. ten Berge (2009) adalah tindakan hukum yang didasarkan pada hukum publik.

Secara norma, sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa salah satu ruang lingkup dari pelayanan publik yaitu sektor kesehatan. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 14 ayat (1):

Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Ayat selanjutnya kemudian menyebutkan bahwa tanggung jawab pemerintah dikhususkan pada pelayanan publik.

Tulisan ini ingin menyorot  beberapa bentuk/prasyarat pengorganisasian penyelenggaraan pelayanan publik yang tertuang dalam undang-undang pelayanan publik, yaitu pengelolaan pengaduan masyarakat, pengawasan internal dan pelayanan konsultasi. Ketiga prasyarat ini sangat erat kaitannya dengan tanggung jawab penyelenggara setiap tindakan atau kondisi ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan yang terjadi.

1) Pengelolaan Pengaduan

Undang-undang tentang Pelayanan Publik pada pasal selanjutnya yaitu pada Pasal 36 menyebutkan bahwa penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan.

Penyelenggara juga berkewajiban mengelola pengaduan yang di antaranya berasal dari penerima pelayanan dan wajib ditindaklanjuti setiap hasil pengelolaan pengaduan yang masuk.

Dalam praktiknya, ruang pengaduan sudah jamak disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik di daerah. Metode penyampaian pengaduan juga sudah banyak pilihan, sehingga ruang komunikasi dua arah antara penerima layanan dan penyelenggara/pelaksana layanan semakin terbuka.

2) Pengawasan Internal dan Pelayanan Konsultasi

Hal ini merupakan bagian dari komponen standar pelayanan yang harus dipublikasikan secara luas kepada masyarakat. Pasal 35 ayat (2) Undang-undang tentang Pelayanan Publik menyatakan bahwa pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui pengawasan oleh atasan langsung dan pengawasan oleh pengawas fungsional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Masuknya komplain/pengaduan/laporan ketidaksesuaian dari pasien/masyarakat kepada pengelola pengaduan harus diidentifikasi dan diselesaikan hingga menemukan akar masalah dan pilihan penyelesaian masalah yang beragam.

Pengaduan pasien/masyarakat yang tidak dikelola secara bijak akan meningkatkan status konflik/ketidakpuasan menjadi sengketa pelayanan. Hal inilah yang harus diantisipasi melalui pengawasan internal baik itu secara hirarkis maupun yang sifatnya ad hoc.

3) Pengawasan sebagai Bagian dari Penegakan Hukum

Secara teori dalam konsep hukum administrasi, penegakan hukum meliputi dua hal, yaitu pengawasan dan penerapan sanksi. Pasal 36 ayat (1) Undang-undang tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

Jaminan atas upaya kesehatan yang paripurna ini salah satunya dikongkritkan melalui upaya pembinaan dan pengawasan. Pasal 182 ayat (3) Undang-undang tentang Kesehatan menyebutkan bahwa menteri dalam melaksanakan pengawasan dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non-kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.

Epilog

Saat ini regulasi yang diterbitkan melalui peraturan menteri kesehatan selalu menuangkan bab pembinaan dan pengawasan yang ditujukan kepada peran dinas kesehatan di daerah. Peran pengawasan ini yang banyak dijalankan oleh dinas kesehatan di daerah yang dapat dikembangkan/dimodifikasi secara luas bentuk pengawasannya.

Jika melihat potensi dugaan malpraktik medik, bahkan fraud klaim pembiayaan bisa terjadi di level fasilitas kesehatan tingkat pertama, instrumen layanan pengaduan yang sudah ada saat ini, serta pengawasan internal yang sudah berjalan.

Layanannya dapat diperluas dengan tugas baru yaitu penyelesaian pengaduan dan sengketa kesehatan yang mengedepankan prinsip win-win solution, menjaga kerahasiaan data dan informasi, dan nir-biaya.

0
0
Ade Saktiawan ♥ Associate Writer

Ade Saktiawan ♥ Associate Writer

Author

Penulis ini lahir di Ujung Pandang 01 Oktober 1985. Pendidikan terakhirnya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 2019 sampai saat ini menjalankan tugas sebagai ASN di Dinas Kesehatan Kota Tarakan sebagai Kepala Seksi Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post