Pendidikan, Propaganda, dan Tekanan Ekonomi: Trio Penghancur Kecerdasan dalam Pandangan Bertrand Russell

by Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer | Mar 17, 2025 | Refleksi Birokrasi, Sosok | 0 comments

Bertrand Arthur William Russell, yang lahir di Inggris pada 1872 dan wafat pada 1970, dikenal sebagai filsuf yang selalu diliputi keraguan akan berbagai pemikiran. 

Bagi Russell, memiliki kehendak untuk ragu (will of doubt) lebih baik daripada kehendak untuk percaya (will of belief). Sebab yang pertama dapat membuat seseorang melangkah jauh dari satu titik ke titik yang lain, sedangkan yang kedua hanya akan membuat seseorang berjalan di tempat. 

Kok bisa?

Russell menganggap orang yang diliputi keraguan berpotensi menemukan banyak hal di luar apa yang telah ia ketahui sebelumnya. 

Mengasah keraguan berarti memaksa hadirnya pergolakan penuh kesangsian secara terus menerus untuk mencari kebenaran. Sebelum kebenaran dapat ditemukan, maka pertama-tama diperlukan adanya kebebasan berpikir.

Meskipun lahir dan tumbuh besar di negara liberal, Russell tidak menampik adanya kekuatan di belahan bumi lain yang berupaya melemahkan kebebasan berpikir. Russell sangat menyayangkan sikap itu karena hanya akan menghambat kecerdasan dan mengubur suatu kebenaran. 

Bagi Russell, kecerdasan dan kebenaran adalah output, sementara kebebasan berpikir merupakan alat (tools) atau metode untuk mewujudkan itu. Setidaknya terdapat tiga hal penghambat kecerdasan menurut Bertrand Russell; pendidikan, propaganda, dan tekanan ekonomi.

#1. Pendidikan

Russell menganggap para pejabat yang berwenang di bidang pendidikan tidak berhasrat untuk menjadikan anak-anak sebagai orang-orang yang berpendidikan. Justu mereka hanya ingin memberikan informasi tanpa memberikan kecerdasan. Contohnya adalah pendidikan sejarah di sekolah-sekolah.

Negara dianggap institusi yang paling berhasil dalam memberikan informasi tanpa kecerdasan. Buku-buku pelajaran di Amerika Serikat pernah sangat anti Inggris, tapi sejak Perang Dunia II, mereka berganti haluan menjadi pro Inggris. 

Russell pernah dipecat dari jabatannya sebagai dosen di Cambridge pada 1916
karena pihak universitas tidak menyukai gagasan Russell tentang peperangan. Di Indonesia sendiri, selama puluhan tahun anak-anak hidup dalam ketakutan akan paham komunis, tanpa diberikan informasi yang utuh tentang apa itu komunisme.

Menurut Russell, pendidikan harus mempunyai dua sasaran.

  • Pertama, memberikan pengetahuan yang pasti seperti pelajaran baca tulis, bahasa, matematika dan seterusnya. 
  • Kedua, menciptakan kebiasaan berpikir yang memungkinkan orang memperoleh pengetahuan-pengetahuan serta menarik penilaian-penilaian sendiri secara bertanggung jawab. 

Sasaran pertama bisa disebut sebagai informasi dan sasaran kedua disebut kebebasan. Tanpa adanya kebebasan berpikir, pendidikan hanyalah omong kosong.

Sistem pendidikan tanpa kebebasan berpikir menghasilkan anak-anak yang pandai membaca tapi tidak sanggup menimbang bukti-bukti atau membuat pendapat sendiri. 

Akhirnya mereka terpaksa harus mempercayai segala macam proposisi absurd yang sesungguhnya masih bisa ditelusuri dan diteliti kebenarannya. Umumnya, mereka tidak menyadari adanya paksaan itu karena terlalu lama hidup tanpa kebebasan berpikir.

#2. Propaganda

Seni propaganda yang diterapkan pemerintah di zaman modern, diambil dari seni periklanan. Dalam beriklan, siapa yang paling sering tampil di publik akan mendapat keuntungan. 

Dalam sebuah negeri yang tidak menghendaki adanya kebebasan berpikir, propaganda adalah hidangan istimewa, meski disajikan tanpa kekerasan. Propaganda menjadi semacam benalu yang menghambat kecerdasan atau upaya meraih kebenaran. 

Pasalnya, himbauannya tertuju pada sebab-sebab irasional dari kepercayaan, bukan dari pertukaran pemikiran yang sungguh-sungguh. Dengan kata lain, propaganda sejak awal sudah memblokir adanya pendapat-pendapat yang berlawanan dengan materi atau konten propaganda.

Di lain pihak, propaganda memberikan keuntungan yang tidak fair kepada mereka yang paling mampu memperoleh paling banyak publisitas, entah melalui kekayaan atau kekuasaan. 

Seperti contoh ada dua pengusaha. Yang pertama punya banyak modal untuk membuat iklan di media massa bahkan sanggup membayar sekelompok orang untuk menggunakan produknya. 

Sementara pengusaha kedua tidak memiliki kekayaan sebanyak pengusaha pertama, sehingga produknya tidak laku di pasar karena kalah saing dengan pengusaha pertama. 

Keadaan ini akan semakin tidak berimbang jika salah satu pihak memiliki kekuasaan. Pemerintah punya segala sarana dan prasarana untuk menciptakan propaganda. 

Mereka menguasai sistem komunikasi, sistem transportasi, bahkan sistem pendidikan. Pemerintah yang gemar melakukan propaganda tidak hanya sedang menghambat kecerdasan bangsanya, tetapi sedang menuntun mereka kepada kehancuran daya pikir.

#3. Tekanan Ekonomi

Sudah banyak contoh negara-negara di dunia yang membebankan kelaparan pada orang-orang yang pandangannya tidak disukai. 

Di Amerika Serikat yang secara industrial merupakan negeri yang maju, rakyat biasa jika ingin memperoleh mata pencaharian harus sebisa mungkin menghindari perselisihan dengan para pemodal. 

Seseorang yang terang-terangan menolak agama Kristen atau menentang perusahaan-perusahaan besar akan menganggap Amerika sebagai negara yang sangat tidak menyenangkan. Banyak penerima kerja yang keberatan jika seorang pekerja punya pandangan yang berbanding terbalik dengan perusahaan.

Hal ini juga banyak dijumpai di Indonesia.
Berapa banyak jabatan di birokrasi yang diisi oleh orang-orang inkompeten
hanya karena si pejabat berasal dari golongan tertentu? Jika hal itu belum dianggap ekstrem, berapa banyak ASN yang tidak dikasih pekerjaan alias di-non job kan hanya karena berbeda pandangan dengan atasannya?

Lalu Harus Bagaimana?
Setelah melihat bagaimana pendidikan, propaganda, dan tekanan ekonomi dapat menghancurkan kecerdasan, Russell mengingatkan kita bahwa tanpa kebebasan berpikir, mustahil bagi manusia untuk mencapai kebenaran. 

Sistem pendidikan yang mengekang, propaganda yang membungkam, dan tekanan ekonomi yang menekan individu agar tunduk, semuanya menciptakan masyarakat yang terbelenggu dalam ketidaktahuan.

Namun, solusi tetap ada: membangun sistem pendidikan yang mendorong nalar kritis dan memastikan bahwa jabatan serta pekerjaan diberikan kepada mereka yang benar-benar kompeten. 

Sebab, hanya dengan masyarakat yang berpikir bebas dan cerdas, kita bisa terhindar dari siklus kehancuran intelektual yang berulang kali menjebak peradaban.

Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah pendidikan, propaganda, dan tekanan ekonomi dapat menghancurkan kecerdasan—kita sudah melihat buktinya. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus membiarkannya?

6
0
Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer

Agung Putranto Wibowo ◆ Active Writer

Author

Seorang fungsional penata kehakiman ahli pertama di Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial. Saya memperoleh gelar S1 dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post