Pendidikan Kebencanaan dan Ostrich Paradox

by Saiful Maarif ♣️ Expert Writer | Jan 17, 2021 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Hidup di negeri yang sering dilanda bencana menegaskan pentingnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi bencana yang tiap saat bisa datang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama tahun 2020 terdapat 2.925 bencana alam yang terjadi di tanah air.  

Sampai pekan kedua awal tahun ini, BNPB melansir sudah hampir seratus peristiwa bencana alam terjadi. Oleh karenanya, tanpa pemahaman dan pengetahuan yang memadai menghadapi kemungkinan bencana alam, dampak dan eskalasi kebencanaan bisa meluas.    

Pemahaman dan pengetahuan kebencanaan sangat terkait dengan upaya pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan sarana paling tepat untuk menyemai pengetahuan yang akan berdampak pada sikap mereka. 

Dalam hal kebencanaan, pengetahuan tentang hal terkait akan memungkinkan siswa dan pihak lainnya untuk meminimalisir dampak bencana yang terjadi. Lebih jauh, jenis pendidikan ini pada esensinya adalah sebuah dorongan untuk menghargai alam dengan laku dan tindakan yang mampu seiring sejalan dengan kodrat alami kebencanaan itu. 

Seiring sejalan tentu bukan dalam pemahaman untuk menjadi bagian dari bencana atau malah menjadi penyebab bencana itu sendiri. Sikap ini lebih pada bagaimana menumbuhkan insting dan sikap diri untuk menghindari risiko kebencanaan yang tumbuh dan dikembangkan dari lembaga pendidikan. 

Namun, pemerintah terkesan terlambat dalam menjalankan kebijakan yang khusus berfokus dalam bidang pendidikan kebencanaan. Pendidikan kebencanaan baru terasa menjadi perhatian tersendiri saat Presiden Joko Widodo mengangkatnya pada Rakornas Penanggulangan Bencana pada tahun 2019.

Disampaikan oleh presiden, mulai tahun itu edukasi kebencanaan pada masyarakat dan lembaga pendidikan akan dimulai. Sebagai bangsa yang begitu akrab dengan bencana alam selama ini, memulai pendidikan kebencanaan baru pada dua tahun terakhir rasanya cukup aneh. 

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”, ungkapan ini, meski pahit terasa, nampaknya tepat mewakili kebijakan pendidikan kebencanaan di negeri kita.

SPAB dan Paradoks Burung Unta

Respons pemerintah terhadap pendidikan kebencanaan di antaranya mewujud pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). 

Diundangkan pada penghujung 2019, Permendikbud ini menandai upaya pendidikan kebencanaan secara lebih definitif dan rinci. Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional SPAB menyajikan berbagai petunjuk teknis bagi siswa dan pedoman bagi para pelatihnya dalam menghadapi situasi kebencanaan.

Pedoman dan acuan teknis dalam menghadapi situasi katastropik sangat diperlukan agar respons kebencanaan didasarkan pada sikap yang prosedural. Di berbagai belahan negara, langkah antisipatif menghadapi bencana alam bahkan sudah diperkuat dengan behavioral risk audit (BRA). BRA dijalankan untuk memastikan pelatihan manajemen resiko bencana berjalan secara rutin dan menjadi kesadaran bersama oleh semua pihak.         

Digulirkannya konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menjadi warna baru menyusul berbagai kritik dan masukan terkait perlunya pendidikan kebencanaan. Dalam konsep ini, layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal  pada setiap jenjang dan jenis layanan menjadi garda terdepan dalam konteks membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana.

Pendidikan kebencanaan diharapkan menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola fase sebelum, pada saat, dan setelah bencana terjadi. Di samping itu, diharapkan berkembang adanya pemahaman yang antisipatif terhadap bencana. 

Namun demikian, gaung dan kampanye pendidikan kebencanaan ini terasa sayup-sayup terdengar. Masih belum terlihat upaya masif dan bersama-sama dalam mengembangkan dan menekankan pentingnya pendidikan kebencanaan. 

Salah satu penyakit umum yang patut dihindari dalam urusan pekerjaan bersama adalah koordinasi yang tidak maksimal. SPAB yang melibatkan banyak pihak di dalamnya berpotensi menjadi program yang dijalankan sendiri-sendiri tanpa adanya kesatuan langkah. 

Pandemi Covid-19 menjadi kendala tambahan dalam upaya persebaran informasi dan pelaksanaan dan pelatihan di lembaga pendidikan. Tentu sangat disayangkan, namun tidak bisa dihindari. Ide dan rancangan baik dalam SPAB dan berbagai petunjuk teknis turunannya terhambat oleh datangnya bencana pandemik yang datang lebih cepat. 

Meski terlambat, SPAB sebagai rumusan penting pendidikan kebencanaan tetap harus didukung oleh berbagai pihak. Dukungan dan kolaborasi semua pihak dalam mengantisipasi bencana alam menjadi penting sebagaimana paradoks burung unta. 

Dalam The Ostrich Paradox, Why We Are Under Prepare for Disasters (2017), Robert Meyer dan Howard Kunreuther menjelaskan bahwa burung unta adalah simbolisasi yang pas tentang keterbatasan kemampuan manusia dan bencana yang harus dihadapi.

Meskipun burung unta sering dicirikan sebagai burung malang yang mengubur kepalanya di pasir setiap kali ada bahaya, mereka sebenarnya adalah seniman pelarian yang sangat cerdik. Burung unta menggunakan kecepatan tinggi dalam berlari dalam mengatasi ketidakmampuan mereka untuk terbang.

Kita tidak akan bisa membendung datangnya gempa bumi dan tsunami, misalnya.  Kita juga selalu berkesulitan menghindari banjir bandang yang sering ditengarai sebagai bagian dari kelalaian kita dalam mengelola alam dan lingkungan. Namun demikian, belajar dari kecerdikan burung unta dalam berlari cepat menghindari bahaya,  kita tetap berkesempatan. 

Beberapa kearifan lokal semacam “Smong” dikenal di nusantara. Menjadikannya lebih konstruktif sebagai pemahaman, praktik baik, dan inspirasi bersama serta langkah edukatif sesuai kebutuhan sekitar menjadi tantangan bersama.  

Epilog

Kita sangat mungkin dapat merancang dan menyusun rangkaian pilihan lingkungan, insentif, dan metode komunikasi yang memungkinkan semua pihak untuk mengatasi tantangan dan risiko  ketika menghadapi bahaya di masa depan.

SPAB adalah semacam cara berlari cepat menghindari bencana alam yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mengarusutamakan pendidikan kebencanaan melampaui pemahaman, dan mungkin perdebatan —penempatan jenis pendidikan ini sebagai bagian kurikulum atau praktik baik yang dijalankan. Penguatan dan diseminasi pemahaman lebih penting dan mendesak untuk dijalankan. 

Image source : Designed by rawpixel.com / Freepik


2
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post