Menjelang Ramadhan tahun ini, Indonesia geger kembali dengan pemberitaan operasi tangkap tangan oleh KPK dengan melibatkan tokoh anti korupsi. Selain itu, juga ada berita besar terkait suap. Jelas, masalah korupsi masih menghantui negeri ini.
Di sisi lain, tinggal menghitung hari bulan Ramadhan akan tiba. Kehadiran bulan puasa ini tentunya disambut gembira oleh sebagian besar birokrat yang muslim. Sayangnya, para birokrat muslim seringkali kurang menyadari bahwa ada misi besar yang diemban oleh ibadah puasa Ramadhan. Misi besarnya adalah pencegahan korupsi.
Mengapa misi besar ini kurang disadari? Sebab kurangnya literasi Al Qur’an pada para birokrat muslim dan itu bermula dari kurangnya literasi Al Qur’an pada sebagian besar para pendakwah Islam, khususnya para pendakwah yang bermunculan di musim Ramadhan. Padahal, misi pencegahan korupsi ini begitu terang benderang ada di rangkaian ayat-ayat terkait ibadah puasa dan Ramadhan.
Literasi Al Qur’an yang Dilupakan
Literasi Al Qur’an terkait ibadah puasa dan Ramadhan yang terpopuler adalah Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 183. Saya yakin sebagian pembaca Birokrat Menulis hafal bunyi atau makna ayat tersebut karena seringnya diulang-ulang diperdengarkan. Ayat ini hampir selalu menjadi bahan konten siaran berbagai stasiun televisi pada bulan puasa.
Melanjutkan ayat 183 tersebut, bagi yang tertarik mendalami ibadah Ramadhan akan melanjutkan pemahaman literasi Al Qur’annya hingga surat Al Baqarah ayat 186. Di sini dijelaskan mengenai hubungan doa yang makbul dengan bulan Ramadhan. Ramadhan menjadi waktu dikabulkannya doa-doa.
Kemudian, bagi yang tertarik lagi akan sampai pada surat Al Baqarah ayat 187. Pada literasi ini pemahaman kita akan sampai pada adanya ibadah i’tikaf yang disunnahkan dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Ibadah i’tikaf ini belakangan semakin digemari karena banyak muslim yang literasinya telah sampai pada ayat 187 tersebut.
Sebagai kenangan, tulisan penulis tentang i’tikaf pernah dimuat pada harian Suara Karya pada sekitar tahun 1994-1995. Saat itu ibadah i’tikaf belum terkenal di negeri kita.
Meskipun penulis bukan seorang ustadz, redaksi Suara Karya pada saat itu mau memuat tulisan penulis karena melihat topik i’tikaf adalah topik yang “fresh”. Masih jarang media yang menulisnya, setidak-tidaknya menurut pantauan penulis saat itu. Jadi, literasi ayat 187 juga baru terkenal pada tahun 2000-an.
Pernah pada tahun 90-an penulis ingin melaksanakan i’tikaf di Masjid Jami di sebuah kota di Jawa Tengah dan akhirnya batal karena masjidnya ditutup ketika memasuki tengah malam. Sehingga, penulis tidak bisa melaksanakan i’tikaf karena tidak bisa bermalam di masjid tersebut hingga waktu sahur.
Jadi, menurut pengamatan penulis, literasi Al Qur’an terkait ibadah puasa dan Ramadhan sampai saat ini cenderung berfokusi pada surat Al Baqarah ayat 183 hingga 187 saja. Dengan demikian, masih ada literasi terkait ibadah puasa dan Ramadhan yang masih terlupakan karena sangat jarang ada pendakwah yang menyampaikannya.
Konsep maqra’ dalam literasi Al Qur’an
Literasi Al Qurán mengenal struktur yang mengagumkan. Pertama, Al Qur’an dibagi menjadi 30 Juz, ke dalam 114 surat, dan yang sering tidak disadari adalah dibagi dalam maqra’ (beberapa cetakan Al Qur’an menggunakan pembagian hizb, bukan maqra’).
Apa itu maqra? Maqra’ adalah topik pembahasan. Maqra’ ini menjadi penting pada surat-surat dalam Al Qur’an yang panjang, semisal Al Baqarah dan Ali Imran. Maqra’ menunjukkan sempurnanya suatu topik pembahasan biasanya ditandai dengan huruf ‘ain yang mendahului ayat pertamanya dan ditandai dengan huruf ‘ain yang mengakhiri ayat terakhir dalam maqra’ tersebut.
Sekarang mari kita coba membedah maqra’ terkait perintah ibadah puasa dan Ramadhan. Kita akan jumpai tanda huruf ‘ain pada sebelum Al Baqarah ayat 183. Itu artinya, awal dari maqra’ tentang ibadah puasa dan Ramadhan. Lalu kita akan jumpai tanda huruf ‘ain yaitu setelah ayat ke-188, bukan setelah ayat ke-187.
Apa artinya? Ayat ke-187 bukanlah akhir dari maqra’ terkait ibadah puasa dan Ramadhan. Akhir dari maqra’ terkait ibadah puasa dan Ramadhan adalah Al Baqarah ayat ke-188.
Jadi, literasi Al Qurán yang terlupakan terkait ibadah puasa dan Ramadhan adalah ayat ke-188. Lagi-lagi, saya yakin banyak pembaca Birokrat Menulis yang baru kali ini menyadari tidak pernah mengaitkan ayat ke-188 dengan pembahasan terkait ibadah puasa dan Ramadhan.
Sebagai catatan: pada Al Qurán yang penulis dapatkan sewaktu haji tahun 2015 (terbitan luar negeri) ternyata tidak terdapat maqra’. Al Qurán tersebut membagi strukturnya bagiannya dengan hizb. Meskipun demikian, baik ayat 183 tentang puasa maupun ayat 188 Al Baqarah tetap berada dalam satu hizb (bagian) yang sama.
Bahkan, ayat 188 Al Baqarah juga merupakan akhir dari hizb tersebut. Oleh karena itu, ayat 188 Al Baqarah ini tidak boleh dipisahkan pembahasannya dengan ayat puasa 183 Al Baqarah, baik dipandang dari Al Qurán yang menggunakan maqra’ ataupun Al Qur’an yang menggunakan hizb.
Literasi Al Baqarah 188 dan Pencegahan Korupsi
Mungkin ada yang berkata, ”Ah, bukankah tidak memahami satu literasi ayat saja? Tidak ada yang perlu kita risaukan”. Tapi saya berpendapat lain. Sebab, satu literasi ayat yang dilupakan ini justru mengungkapkan misi besar ibadah puasa Ramadhan. Apa itu? Perhatikan bunyi ayat 188 surat Al Baqarah:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Membaca Al Baqarah ayat 188 tersebut dan mengaitkannya dengan perintah ibadah puasa Ramadhan pada ayat 183 sebagai bagian dari satu maqra’ yang sama, kita mendapatkan pemahaman misi besar ibadah puasa Ramadhan.
Ibadah puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga saja, tapi mendidik kita untuk tidak memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil, yang dalam konteks modern kita beri istilah dengan korupsi.
Ayat 188 ini menarik karena mengungkapkan bahwa terkadang perbuatan memakan harta dengan jalan yang bathil (korupsi) itu bisa dibungkus dengan kemasan sah secara hukum.
Perhatikan kalimat “Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa”. Perlu diingat, jangankan yang melanggar hukum, yang benar secara hukum tetapi pada dasarnya memakan harta dengan jalan yang bathil pun kita dilarang.
Misi besar ibadah puasa Ramadhan ini dapat kita renungkan dari pembedaan ibadah puasa Ramadhan ini dari ibadah-ibadah lainnya. Dalam literasi hadits sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim r.a.: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Perhatikan, ibadah-ibadah lain seperti shalat dan lain-lain diberi atribut “untuk manusia itu sendiri”, sedangkan khusus puasa saja yang diberi atribut “untuk Allah SWT”. Mengapa demikian? Karena begitu besarnya misi yang diemban oleh ibadah puasa Ramadhan ini yang tidak bisa diembah oleh ibadah-ibadah lainnya.
Bahkan, begitu istimewanya ibadah puasa, Allah SWT memberikan pintu khusus masuk surga bagi mereka yang berpuasa dengan kualitas istimewa hingga berbuah self control. Allah SWT memberi nama pintu khusus masuk surga itu dengan nama pintu Ar-Rayyan.
Epilog
Allah SWT, pencipta manusia, telah memahami adanya risiko korupsi dilakukan oleh makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan mitigasinya dengan memerintahkan ibadah puasa Ramadhan. Ibadah puasa Ramadhan ini diharapkan bisa menciptakan self control dalam diri manusia sehingga bisa mencegah manusia dari melakukan korupsi.
Sayangnya, banyak orang yang berpuasa Ramadhan tetapi tidak mendapatkan buah puasa berupa selfcontrol dalam diri mereka. Mengapa? Karena puasa yang dilakukan tidak berkualitas, sebagaimana disitir dalam literasi hadits sahih Nabi Muhammad SAW yaitu: “…kecuali mendapatkan lapar dan dahaga saja”.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita berusaha memopulerkan literasi Al Baqarah 188 ini sebagai bagian dari yang harus dipahami oleh orang-orang yang berpuasa, agar puasa yang dilakukan berkualitas dan menghasilkan self control.
Berkaca pada saat penulis memopulerkan literasi Al Baqarah 187 di sekitar tahun 1994-1995 melalui Suara Karya, di mana akhirnya ibadah i’tikaf semakin populer di kalangan ummat, maka penulis pun sangat yakin bahwa pada akhirnya literasi Al Baqarah 188 akan menjadi pemahaman bersama umat yang akan berkontribusi dalam pencegahan korupsi di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan umat yang lain? Menariknya, ibadah puasa ini adalah ibadah yang diperintahkan bukan saja untuk umat Islam, tetapi juga umat-umat lainnya. Bukankah di agama kristen maupun agama yang lain terdapat juga ibadah puasa dengan segala variasinya?
Sebagai pamungkas, selamat menyambut bulan suci Ramadhan. Mari kita cegah korupsi dengan meningkatkan kualitas ibadah puasa Ramadhan kita, agar negeri ini semakin adil dan makmur.
Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.
0 Comments